8 - RICHARD
"That was good, Richard. We'll stay in touch. Thank you."
"Thank you."
Dengan senyum yang masih terpasang di wajah, Richard membungkukkan sedikit tubuh jangkungnya sebelum berjalan keluar dari audisi. Lega benar-benar merambati jiwa dan raganya. Bukan karena audisinya berjalan lancar, tetapi lebih karena keberhasilannya mengatasi ketakutan dan rasa ragu yang menggunung. Ada bangga yang sulit dia ungkapkan dengan kata-kata. Terlepas dari hasilnya nanti, Richard tahu dia sudah memberikan yang terbaik.
Menyusuri koridor yang sepi—aktor lain yang juga beraudisi ditempatkan di satu ruangan khusus—Richard bersyukur dia mampu meluapkan segala emosi karena pertemuannya dengan Jaz melalui aktingnya di depan casting director. Dia sudah mempersiapkan diri dengan berbagai kejutan mengingat banyak hal tidak terduga yang terjadi saat audisi berlangsung. Dia diminta untuk menunjukkan berbagai macam emosi Brian dan juga dihadapkan dengan beberapa pertanyaan. Richard bahkan tidak ingat terakhir kalinya dia berlumuran gugup seperti itu.
Langkah Richard terhenti saat dari salah satu pintu yang ada di koridor, perempuan yang pagi tadi mengacaukan suasana hatinya, muncul. Dengan sekuat tenaga, Richard menghalau emosinya agar tidak tumpah mengingat masa depannya sedang dipertaruhkan saat ini. Bahkan ketika tatapan mereka bertemu, Richard masih belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ada kebencian yang begitu besar memaksanya untuk mengonfrontasi perempuan yang seperti menganggap tidak ada apa-apa di antara mereka.
Ketika perempuan itu berjalan menghampirinya, Richard membuang muka, tetapi kedua kakinya masih terpancang di titik yang sama. Ketika Jazmine Anjani mendekat, Richard memberikan ruang lebih dengan menggeser sedikit tubuhnya. Dia mengira Jaz akan melewatinya, tapi ternyata, perempuan itu justru memilih berhenti tepat di hadapannya.
"Gue nggak nyangka lo punya nyali juga buat ikutan audisi film yang bukan ranah lo." Kalimat yang diutarakan Jaz tersebut mengandung ejekan di setiap suku katanya. Oh ya, dan juga merendahkan kemampuan Richard. "Kirain lo gengsi main film romantis."
Richard mengingat segala macam mantra demi menenangkannya saat ini. Usaha Richard agar tidak terpancing, rupanya menemui ganjalan yang sangat berat dilalui. Menarik napas panjang, dia menatap lekat wajah perempuan yang dalam situasi normal mampu menumpulkan logikanya. Namun rasa tidak suka itu terlampau kukuh untuk digantikan dengan perasaan lainnya.
Setenang mungkin, Richard melafalkan kalimat yang sudah disusunnya dengan hati-hati. "Gue nggak tahu problem lo apa sama gue—let me finish!" tegas Richard ketika menyadari Jaz ingin memotong ucapannya. "Tapi gue dengan hormat minta supaya lo berhenti ganggu hidup gue. In any way possible. Kalau ini soal Mina, gue nggak mau berdebat, biar hasil DNA nanti yang ngebuktiin gue nggak bersalah. Percuma juga gue ngomong banyak. Lo nggak mikir, betapa malunya lo misalkan nanti anak Mina bukan anak gue? You will have some apologizing to do." Richard mengeluarkan tawa kecil, bukan bermaksud mengejek, melainkan bayangan perempuan di hadapannya ini meminta maaf di depan pers tentang tuduhan yang tidak terbukti. Hal itu cukup membuatnya puas. "Energi gue terlalu berharga buat ngeladenin cewek kayak lo."
"Cewek kayak apa maksud lo, hah?" sahut Jaz cepat. "Cewek yang berani nampar lo di depan publik? Pasti selama ini nggak ada kan cewek yang berani ngelakuin itu ke lo?" Lagi-lagi, tawa mengejek itu terdengar. "Asal lo tahu, kalau bukan karena Mina, lo tetep cowok yang otaknya mesum. Reputasi lo udah terkenal, jadi lo nggak bisa ngelak." Jaz mendekatkan tubuhnya, hingga jarak yang ada di antara mereka hanyalah setipis benang. Dia tidak terintimidasi oleh proporsi tubuh Richard yang tinggi dan penuh otot di mana-mana. "Dan gue akan tetep bikin hidup lo nggak tenang selama bukti itu belum ada. Jadi dengan tegas, gue tolak permintaan lo."
Darah Richard sekarang mungkin sudah mencapai titik didih, tetapi demi banyak alasan, dia menahan diri supaya tidak lepas kendali. Ada begitu banyak yang ingin dikatakannya kepada Jaz, tetapi Richard tahu memuaskan egonya akan memiliki konsekuensi yang jauh lebih berpotensi merusak karir dibanding tuduhan menghamili Mina. Dia hanya harus menebalkan kesabaran menghadapi perempuan seperti Jaz.
"Jangan ngetes kesabaran gue." Richard melontarkan empat kata tersebut dengan sungguh-sungguh, terlihat dari rahangnya yang mengeras. Dia semakin menajamkan tatapannya ke arah Jaz. "You will regret this whole thing. Just you wait."
"Oh, jadi lo ngancem gue?" Jaz menggeleng, rambutnya yang dikuncir kuda ikut bergoyang. "Emang bener penilaian gue. Lo jenis cowok yang modal otot doang, tapi nggak punya manner, apalagi rasa tanggung jawab. Gue kasian sama lo."
Mendengar itu, Richard menggeram pelan. "You don't know me. At all." Jakunnya naik-turun, dan Richard bersumpah dia telah mencoba, tapi saat ini, ada satu hal yang tidak lagi bisa disimpannya sendiri. "Dan gue nggak perlu rasa kasihan dari lo. I don't need that. Either from you, or from anyone else."
"Oh, gue nggak perlu kenal lo, sih. Cowok kayak lo udah bisa ditebak perangainya. Nggak perlu orang pinter buat tahu lo cowok kayak gimana."
"Seenggaknya, gue bukan orang yang suka nge-judge manusa lain cuma dari penampilan. Buat gue, itu nunjukkin kualitas seseorang. Udah abad 21 kok masih judgmental." Richard lantas menjauhkan tubuhnya dari Jaz seraya berdeham pelan. "Andai lo bukan kayak preman, pasti udah gue nanya gimana audisi lo, tapi karena lo nggak beda sama preman," Richard mengedikkan bahu. "Semoga mereka lihat karakter lo yang sesungguhnya di audisi tadi."
Tanpa menunggu respon dari Jaz, dengan santai Richard melanjutkan langkahnya dengan santai. Meskipun ada gemuruh di dadanya yang mendesak agar dilampiaskan, Richard memilih tidak membiarkan perempuan yang sama sekali tidak dikenalnya mengendalikan tombol emosinya. Dia bahkan tidak menoleh sekalipun rasa penasaran menggerogotinya.
Ketika Ruri datang ke kamar hotel selepas Richard mengatakan bertemu Jaz, asistennya tersebut menceramahinya panjang lebar. Dan tentu saja, Ruri melarang keras Richard memotong monolognya.
Ruri mengatakan dia sangat paham ketidaksukaan Richard akan Jazmine Anjani, karena pria mana pun tidak akan terima mendapatkan tuduhan besar seperti yang terjadi pada Richard. Namun Ruri mengingatkan Richard bahwa jika kehamilan Mina bukan karena tindakannya, sudah sewajarnya dia tidak memberikan Jaz ruang sejengkal pun untuk mengacaukan suasana hatinya. Satu kalimat yang terus terngiang dalam benak Richard adalah, "Rick, gue selalu percaya kebenaran selalu nemu jalan, gimana pun caranya," dan kata-kata itulah yang akhirnya menyadarkan Richard tentang reaksinya terhadap Jaz selama ini.
Richard sadar, dia hanyalah manusia biasa yang tetap mampu menyimpan marah. Namun dia tidak akan menunjukkannya di depan Jaz supaya perempuan itu tidak semakin punya kuasa mengacak-acak mood-nya. Sekalipun ada perasaan gagal karena dia tetap saja terpancing dengan ejekan yang dilemparkan Jaz, setidaknya dia tidak menaikkan volume suaranya seperti pertemuan tadi pagi. Bagi Richard, itu adalah sebuah kemajuan kecil yang diyakininya akan membaik seiring berjalannya waktu.
Mengembuskan napas lega, Richard berjalan menuju lift untuk kembali ke kamarnya. Karena Ruri memesan dua malam, itu berarti dia masih akan berada di Ritz-Carlton hingga besok siang. Ada beberapa undangan yang diberikan Ruri pagi tadi, mungkin ada satu yang akan memantik minatnya.
Begitu memencet tombol naik dan pintu lift terbuka, Richard segera masuk. Dia mengembuskan napas lega karena ketakutan dan kekhawatirannya mengenai audisi tidak terbukti. Terlepas dari pertemuan keduanya dengan Jaz, tidak ada satu hal pun yang berhasil mengusik ketenangan Richard karena telah melewati hari besar yang akan berpotensi mengubah karirnya.
And he's clearly looking forward to the result, no matter what happens.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top