63 - RICHARD


"Gila, ya? Gue lupa Bali selalu bisa bikin rileks. Nggak heran lo betah banget di sini, Rick."

Richard Ackles hanya tersenyum simpul menyaksikan Evan membanting tubuhnya ke atas sofa dengan satu botol bir di tangan kirinya. "Kan itu salah lo sendiri nggak pernah ke sini." Komentar itu diutarakannya karena Evan lebih memilih pergi ke Singapura atau Hong Kong tiap kali liburan, bukan ke Bali, atau tempat-tempat yang identik dengan healing untuk alasan yang tidak diketahuinya.

"Jadi ntar malem kita jadi bar hopping?"

"Tergantung," jawab Richard singkat sebelum dia menandaskan birnya sendiri dan meletakkan botol kosong di atas meja. Dia mencondongkan badan sementara tatapannya tidak beranjak dari Evan. "Lo pernah nggak sih bohong ke gue, Van?"

Pertanyaan tersebut rupanya mengagetkan Evan karena detik berikutnya, pria berperawakan tinggi itu menatap Richard curiga. "Ada apa, nih? Kok tiba-tiba lo nanya gitu?"

Richard mengedikkan bahu. "Gue cuma pengen tahu."

"Tapi dari cara lo nanya, kayaknya lo bukan lagi penasaran." Evan ikut mencondongkan badannya. "Lo kenapa? Ada masalah apa?"

Ketika Richard mengatakan kepada Jaz bahwa dia menunggu waktu yang tepat, dia tidak menyangka bahwa kesempatan itu datang lebih lama dari dugaannya. Richard perlu memantapkan diri serta menyiapkan kemungkinan bahwa persahabatannya dengan Evan terancam kandas. Dia menimbang dari segala sisi tentang apa yang akan dilakukannya, dan jawaban yang datang kepadanya selalu berakhir dengan bayangan Mamanya. Bagi Richard, itu adalah pertanda yang cukup jelas. Jika memang Evan adalah sahabatnya, pria itu tidak akan menghancurkan hidupnya dengan menusuknya dari belakang dan menjadikannya kambing hitam. Seperti diucapkannya saat video call bersama Jaz dan Mina, bukan sahabat namanya jika melakukan itu.

"Jawab dulu pertanyaan gue, baru nanti gue cerita."

"Secara nggak sadar mungkin pernah, tapi kita ini udah dewasa, Rick. Gue nggak dapet apa-apa juga bohong ke lo. Kenapa sih emangnya?"

Richard hanya bergumam pelan sebelum dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia mencari nama Jaz, dan begitu menemukannya, dia langsung membuka dan mencari foto yang pernah dikirimkan perempuan itu. Dia lantas menunjukkannya ke Evan.

"Gue tahu ini nomor lo. Dan lo tahu gue dapet foto ini dari siapa? Dari Jaz. Dan dia dapet dari Mina, cewek yang lo anggep terlalu kalem dan ngaku nggak lo kenal pas kita di Red Bamboo." Richard langsung menyingkirkan ponselnya, tapi tatapannya tidak beralih dari Evan. "Kenapa lo bohong ke gue, Van?"

Ada banyak kalimat yang bisa diucapkan Richard untuk menyambung pertanyaan tersebut. Namun dia menahan diri. Tidak mungkin dia menumpahkan seluruh amunisinya dan memberi Evan kesempatan untuk menyerangnya balik. Dia harus melepaskannya pelan-pelan agar semakin banyak informasi yang bisa didapatkan Richard. Dia menatap sahabatnya tersebut yang tampak terkejut dengan foto yang baru dilihatnya.

"Karena gue emang nggak inget, Rick. Gue tidur dengan banyak cewek, dan lo tahu gue gimana. Jadi karena satu cewek, lo terus nganggep gue bohong?" bela Evan. "Don't be ridiculous."

"Yang konyol itu adalah lo lupa, meskipun Mina mabuk, dia nggak pernah lupa cowok mana aja yang dia ajak ngobrol di pesta malam itu." Saat Evan menunjukkan ekspresi tidak paham, Richard menambahkan, "Nomor telepon lo ada di dompet Mina, jadi entah lo lupa pernah ngasih dia nomor telepon, atau lo emang pura-pura lupa." Dengan cepat, Richard mengangkat jari telunjuknya saat mendapati Evan berniat memotong kalimatnya. "Gue belum selesai ngomong," tambahnya dengan tegas. "Apa perlu gue refresh memori lo soal Mina?"

"Gue beneran nggak tahu arah omongan lo ke mana, Rick," balas Evan. "Awalnya lo bilang ini soal gue pernah bohong ke lo atau nggak. Kemudian lo bawa-bawa Mina. Sebenernya lo mau ngomong apa?"

Richard tersenyum tipis, tahu bahwa Evan sudah mulai terpancing karena nada tidak sabar yang ditampilkan Evan. Dia berharap, kemarahan Evan akan begitu besar hingga pria itu akan menumpahkan fakta tanpa disadari, sesuatu yang bisa digunakan Richard untuk menuntut penjelasan Evan mengenai Mina. Juga alasan sahabatnya menjadikan dirinya kambing hitam.

"In case lo lupa, gue dituduh Jaz udah hamilin Mina, dan lo jadi saksi, betapa tuduhan itu hampir ngancurin hidup dan karir yang gue bangun. Lo juga tahu betapa terpukulnya gue dengan kabar yang nggak bener itu. Hidup gue nggak sama lagi, Van. Beruntung tes DNA gue dan Brandon nggak sama, jadi semua tuduhan itu nggak terbukti." Richard menelengkan kepala, tanpa sedikit pun memindahkan pandangan dari Evan yang mulai tampak tidak tenang. "Dan lo tahu atas alasan apa Mina ngira cowok yang tidur dengannya malam itu DAN yang hamilin dia itu gue? Karena nggak ada cowok lain di pesta itu yang secara fisik mirip sama gue selain lo. Apa perlu juga gue ingetin betapa seringnya kita dikira kembar, hmm?"

Hanya satu yang ditangkap Richard saat ini. Evan yang berkali-kali meneguk birnya sebelum meletakkannya di atas meja dan kemudian diam mematung sementara dia bergantian menjalin telapak tangannya. Itu berarti Evan mulai gugup, tapi Richard tidak akan berhenti karena dia memang belum selesai.

"Tapi apa yang lo lakuin? Lo diem aja mirip pengecut begitu tahu tuduhan itu diarahin ke gue. Lo biarin gue jadi kambing hitam karena lo nggak mau bertanggung jawab atas kehamilan Mina. Lo terlalu takut buat ngaku karena lo pikir bisa lari dari konsekuensi atas tindakan lo sendiri." Richard menggeleng tidak percaya bahwa orang yang dia percayai mampu melakukan itu semua. "Tapi lo nggak pernah bisa kabur dari kebenaran, Van. Karena sampai kapan pun juga, rasa bersalah itu bakal ngedatengin lo, cepat atau lambat." Richard menatap tajam Evan. "Gue kemudian inget bahwa pas gue ngundang lo, Beth, dan Ruri ke apartemen buat ngasih tahu bahwa hasil tes DNA itu negatif, lo nggak begitu bersemangat ngasih gue selamat karena percobaan lo buat jadiin gue tumbal nggak berhasil. Makanya lo pelan-pelan tapi pasti kemudian menjauh dari hidup gue. Karena apa? Karena lo takut."

Richard memang berusaha menahan diri untuk tidak terbawa emosi saat menumpahkan semua fakta itu. Meskipun dia punya hak untuk mencaci maki Evan, dia tidak ingin melakukannya karena selain Evan akan jadi semakin defensif, dia enggan membuang energinya untuk sesuatu yang sudah tidak perlu lagi dibuktikan, kecuali melalui tes DNA. Namun pengakuan Evan jauh lebih penting bagi Richard.

"Kenapa lo diem, Van? Lo nggak punya pembelaan lagi?"

Pertanyaan itu ditanggapi Evan dengan senyum mengejek sebelum dia mendengus pelan. "Lo mau tahu alasan gue diem dan ngebiarin lo jadi kambing hitam? Karena buat pertama kalinya, gue bisa ngalahin Richard Ackles. Gue bisa liat dia hancur pelan-pelan." Dia mendengkus. "Gue selalu kalah dari lo sejak dulu, Rick. Sejak kita SMA, semua orang selalu ngidolain lo. Bahkan pas gue di Jerman dan tiap ketemu temen sekolah, yang ditanyain lo. Menurut lo, kenapa gue nggak pernah mau terjun di dunia yang sama kayak lo? Karena gue bakal terus ada di bawah bayang-bayang Richard Ackles." Evan bangkit dari duduknya tanpa rasa bersalah sedikit pun, bahkan Richard tidak pernah melihat sisi Evan yang seperti ini. "Lo nggak bisa bayangin betapa bahagianya gue ketika lo dapet tuduhan itu. Finally! Finallygue bisa lihat lo kalah." Evan mengeluarkan tawa yang di telinga Richard terdengar sangat sumbang karena tujuannya memang untuk menertawakan dirinya. "Sekarang lo mau apa udah dapet pengakuan gue? Lo mau maksa gue tes DNA?" Tawa menyebalkan itu kembali terdengar. "Lo jangan mimpi, Rick. Gue nggak akan pernah mau. Nggak ada buktinya itu anak gue karena tuduhan lo nggak punya dasar yang kuat. Mina bisa aja tidur sama cowok lain dan hamil sama cowok lain. Kenapa gue yang harus repot?"

Yang tidak Evan sadari, Richard sudah menyalakan fitur rekam yang ada di ponselnya. Percakapan mereka terekam dengan jelas. Dia membiarkan Evan menumpahkan semuanya tanpa ada niat untuk menginterupsi.

"Asal lo tahu, Van, Mina nggak butuh tanggung jawab dari lo karena meskipun dia perempuan, dia lebih punya nyali dibanding lo buat gedein Brandon." Richard tahu kalimat itu akan menyinggung ego Evan sebagai pria, tapi Richard tidak peduli. "Gue kasian sama lo, jujur aja. Lo begitu kesepiannya sampai harus gonta-ganti cewek dan begitu terobsesinya sama gue sampai lo jadi cowok yang nggak punya tanggung jawab." Richard menelan ludah karena yang akan diucapkannya seperti tersangkut di tenggorokan. "Dan gue juga nggak butuh orang kayak lo di hidup gue. Jadi gue minta lo angkat kaki sekarang. Jangan pernah ganggu hidup gue lagi, atau orang-orang yang gue peduliin. Itu termasuk Ruri, Beth, dan Jaz. Anggep aja kita nggak pernah kenal."

"Oh, jadi lo lebih milih lawan main lo daripada orang yang udah lo kenal bertahun-tahun? Dangkal banget hidup lo, Rick."

"Gue lebih baik punya hidup dangkal daripada kenal orang macem lo. Lagipula, apa peduli lo gue mau hidup kayak gimana?"

"You're so pathetic!"

Dengan kalimat itu, Evan beranjak dari hadapan Richard. Pandangan Richard masih mengikuti Evan hingga mantan sahabatnya itu menghilang di balik pintu kamar.

Sementara telinganya dengan jelas mendengar Evan berkemas, Richard meraih ponselnya dan mematikan fitur rekam. Dia memang tidak berniat menyeret Evan ke meja hijau karena memang tidak ada tindak pidana atau perdata yang dilakukan pria itu. Richard melakukannya karena ingin menunjukkan kepada Jaz, Mina, Beth, dan Ruri tentang percakapan mereka sebagai bukti. Dia tidak mau dianggap mengada-ada. Dengan adanya rekaman ini, tidak lagi ada keraguan bahwa Evan memang tidur dengan Mina dan kemungkinan besar adalah ayah Brandon. Karena pria itu menolak tes DNA, tidak ada lagi yang bisa dilakukan Richard.

Membuka Whatsapp, Richard mencari kontak Jaz dan berniat mengirimkan pesan singkat. Namun dia mengurungkan niat. Dia kemudian menekan tombol microphone yang ada di sudut kiri bawah aplikasi tersebut dan mengirimkan voice note.

"It's all done, Jaz. Gue bakal kirimin lo sesuatu."

Selepas itu, Richard mengirimkan file rekaman percakapannya dengan Evan agar bisa didengarkan Jaz.

Hati Richard hancur karena pengkhianatan Evan, dan dia tidak tahu apakah mampu sembuh dari luka ini ke depannya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top