58 - JAZMINE
"Jaz, kamu nggak perlu langsung ke sini."
Mendapatkan sambutan itu dari Mina, reaksi Jaz hanyalah memutar bola matanya. "Lo mau gue penasaran terus nggak nyenyak tidur?" balasnya sebelum masuk ke apartemen. "Brandon mana? Tidur?"
Mina mengangguk. "Baru aja. Mungkin sepuluh menitan sebelum kamu sampai."
Mendapatkan telepon dari Mina adalah sebuah kejutan, terlebih berita yang disampaikan sahabatnya itu menurut Jaz merupakan sebuah urgensi. Dia mengabari Richard karena pria itu berhak tahu kabar yang baru didengarnya, terlepas dari kebenaran yang belum terbukti. Berulang kali, Jaz mengingatkan dirinya untuk tidak ceroboh dan ingat pelajaran yang didapatkannya dari menuduh Richard. Kali ini dia berjanji untuk lebih berhati-hati.
Dengan santai, Jaz langsung menuju kamar Brandon dan di ambang pintu, dia menyaksikan bayi itu sedang terlelap. Melihat betapa tanpa dosanya putra sahabatnya tersebut, semakin bulat tekad Jaz untuk menemukan pria yang rela menelantarkan Mina dan Brandon. Namun sekali lagi, Jaz perlu semua informasi, data, dan fakta sebelum bisa melakukan apa pun.
"Dia agak rewel sepagian, tapi beruntung badannya nggak demam."
Jaz menoleh dan mendapati Mina sudah berdiri di sebelahnya. "How are you holding up?"
"Aku baik-baik aja, Jaz. Kerjaan masih bisa aku pegang meski Brandon nggak tidur, jadi nggak ada masalah. Paling capek aja, tapi aku masih bisa manage." Mina tersenyum seolah menjalani dua peran sekaligus bukanlah sesuatu yang berat. "Kamu sendiri gimana?"
Jaz segera beranjak dari pintu dan langsung menuju sofa yang ada di ruang tamu. Setelah duduk, pandangannya terfokus ke Mina yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Gue ke sini karena pengen denger cerita lengkap lo soal Evan, bukan soal gue."
Meskipun ada godaan menceritakan pertemuannya dengan Richard, ada yang jauh lebih mendesak untuk dibahas. Jaz juga tidak ingin pembicaraan mereka justru berpusat pada dirinya ketika yang harus menjadi topik obrolan mereka kali ini adalah Evan.
"Nggak seharusnya aku terobsesi seperti ini, kan?"
Pertanyaan itu mengherankan Jaz. Sebagai perempuan yang seharusnya bisa mendapatkan dukungan, baik moral maupun finansial, dari pria yang meniduri kemudian menghamili tanpa ada tanggung jawab, Jaz bingung dengan ketidakpantasan yang dirasakan Mina. Sahabatnya itu punya hak penuh untuk menuntut tanggung jawab dari pria yang memang harusnya sadar akan konsekuensi tindakannya, terlepas dari apakah pria itu Evan atau bukan.
"Mina, lo punya hak, seratus persen lo punya hak buat ngerasa begitu. Kalau emang Evan adalah cowok yang nidurin lo malam itu, ya seenggaknya kerjaan kita—gue nggak mau lo handle ini sendirian—makin gampang. Tinggal minta tes DNA dan nunggu hasilnya. Gue yakin Richard mau bantu meskipun Evan ini sahabat baiknya dia, at least buat ngomong baik-baik."
Jaz sadar bahwa ucapannya terdengar seperti sesuatu yang dengan gampang bisa dilakukan. Namun dia punya keyakinan bahwa Richard akan menepati janji untuk membantunya dan Mina, seperti yang diutarakan pria itu sehabis mereka makan malam di Casa Ciabattini. Sekalipun Evan tidak mengenal dirinya atau Mina, tapi Richard dekat dengan Evan.
"Aku ketemu dia lagi, secara nggak sengaja pas makan di restoran sama salah satu kolega yang kebetulan tinggal di Jakarta juga. Buat urusan kerjaan, sih. Tapi meja dia nggak jauh dari meja kami." Mina mulai bercerita ketika dia duduk di sofa di seberang Jaz. "Mau nggak mau, aku bisa dengerin suara dia ngomong." Mina membasahi tenggorokannya. "Aku nggak bisa jamin bahwa suara dia adalah suara yang sama yang aku denger malam itu, tapi aku ngerasa nggak asing aja dengernya. Bisa jadi aku ngobrol sama dia malam itu." Mina membuang napas, seolah frustasi karena tidak bisa mengingat dengan jelas malam yang mengubah hidupnya tersebut. "Aku nggak mau kamu nge-judge aku cuma pakai perasaan, tanpa bukti yang konkret, tapi nggak tahu kenapa, aku ngerasa kenal sama Evan."
Mendengar penjelasan itu, sebuah ide melintas di pikiran Jaz. "Gimana misalkan lo gue ketemuin sama Evan? Buat ngeyakinin lo sendiri bahwa ada kemungkinan dia adalah ayah Brandon."
Usulan itu ditanggapi Mina dengan menelengkan kepala. "Kamu yakin itu cara terbaik? Gimana juga caranya?"
"Gue harus nanya ke Richard dulu, sih, karena emang nggak mungkin bisa tanpa bantuan dia." Dengan cepat, ide itu merasuki Jaz hingga terbentuk sebuah skenario yang menurutnya cukup brilian. Senyumnya mengembang, "Tapi gue juga nggak mau naruh dia di posisi yang sulit karena gimana juga, Evan itu sahabatnya. Gue yakin pasti ada keraguan."
"Dan aku juga nggak mau membahayakan hubungan kalian," sahut Mina dibarengi pandangan penuh arti.
"Kami nggak ada hubungan apa-apa, Mina," jelas Jaz. "Gue sendiri nggak tahu perasaan gue ke dia kayak gimana."
"Memangnya apa yang kurang dari Richard? Aku yakin selama syuting, dia udah nunjukkin betapa bedanya dia sama persepsi yang kamu punya sebelumnya. Apalagi putusnya kamu sama Daniel, secara nggak langsung karena dia meskipun itu juga diakibatkan kecemburuan Daniel yang berlebihan. Dari cerita kamu, Richard sepertinya pria yang bertanggung jawab, Jaz."
"Buat satu hal itu, gue sih nggak ragu. Cuma masalahnya gue masih agak trauma apakah dia aslinya nanti misalkan kami pacaran kayak gitu atau nggak. Soalnya Daniel kan beda jauh. Pas sebelum pacaran aja, gue nganggep dia cowok langka, eh begitu tahu gue main film sama Richard, cemburuannya kumat. Selama di Florence sih gue bisa ngandelin Richard buat banyak hal, dan bahkan dia yang ada di sana waktu gue putus sama Daniel."
"And then you kissed him" Mina menambahkan satu fakta yang seperti dengan sengaja tidak diungkapkan Jaz dengan senyum sumringah. "Buatku, itu udah nunjukkin bahwa ada ketertarikan dari kamu, Jaz, terlepas dari apakah itu pelampiasan atau nggak. Kalau nggak, nggak mungkin juga kamu nyium dia lebih dulu. Am I right?"
Jaz menggeram pelan sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Jika sudah seperti ini, dia tidak lagi punya pembelaan meskipun kalimat Mina ada benarnya. Jaz mulai bertanya-tanya apakah waktu yang dimintanya dari Richard merupakan caranya mengulur waktu dan tidak lebih dari penolakan yang ingin diyakininya sebagai kebenaran. Padahal sejujurnya, dia hanya enggan mengakui perasaannya yang sebenarnya.
"Mina, gue ke sini bukan buat bahas soal Richard." Jaz masih menutupi wajahnya dengan tangan hingga suaranya terdengar tidak jelas. "Gue harus gimana?" tanyanya begitu dia memilih untuk memandang Mina dan tidak lagi menyembunyikan ekspresi bingung dari sahabatnya. "What should I do?"
"Aku rasa kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Jaz. Kamu perlu yakin aja sama diri kamu sendiri." Mina mencondongkan tubuhnya untuk meraih tangan Jaz dalam genggamannya. "Kamu ke sini karena pengen bahas Evan, tapi aku juga tahu, kamu nggak bisa selamanya mengesampingkan urusan kamu sendiri. We're friends, Jaz, and I also care about you. I want you to be happy as well."
Jaz menepuk pelan punggung tangan Mina. "Thanks, Mina."
Sedetik kemudian, tangis Brandon memecah kesunyian hingga mau tidak mau, Mina lantas menunjukkan ekspresi meminta maaf sebelum bangkit dari duduknya untuk mengecek Brandon di kamar.
Kembali dikuasai ide mengenai Evan dan Mina, Jaz lantas mengeluarkan ponsel dari dalam dompetnya. Dengan cepat dia menemukan nomor Richard dan langsung menghubungi pria tersebut.
Dalam deringan kedua, suara pria itu terdengar. "Gimana, Jaz?"
"Gue jelasin detailnya nanti, tapi gue beneran perlu bantuan lo."
Ada jeda sejenak sebelum suara Richard kembali terdengar, "Tell me everything."
Jaz pun mulai menguraikan rencana yang sekarang terbentuk di dalam pikirannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top