57 - RICHARD


Pertemuan dengan Jaz adalah titik balik untuk Richard. Sekalipun harapan yang sempat mengayominya tidak dengan penuh mampu memuaskannya, Richard masih berpegangan pada asa. Setidaknya dia tidak harus berjibaku dengan penolakan.

"So how was it?"

Pertanyaan tersebut diajukan Beth ketika Richard bahkan belum sempurna mengenakan sabuk pengaman. Adiknya memang bersikeras menjemputnya dari bandara dan Richard pun hanya menurut.

Sesuai janji, Beth memang langsung menjadikan Bali sebagai tujuan pertama begitu dia mundur dari kantornya. Karena persuasi adiknya, Richard memutuskan untuk ke Jakarta dan menemui Jaz meskipun sebelumnya, dia memang sudah merencanakannya. Beth hanya mendorongnya agar tidak membuang lebih banyak waktu.

Selepas pertemuan dengan Jaz, ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan Richard sebelum dia kembali ke Bali. Maka begitu Beth tahu jadwal penerbangannya, adiknya tersebut langsung mengajukan diri menjemput di bandara.

"Can we get out of this place first, please?" balas Richard begitu mobil yang mereka tumpangi masih belum meninggalkan area Bandar Udara Internasional Ngurah Rai.

"Tapi kelihatannya, suasana hati kamu sedang baik, jadi aku anggap hasil pertemuan dengan Jaz juga sesuai harapan."

"Dia minta waktu lebih banyak," ujar Richard saat mereka baru saja melewati lampu lalu lintas yang kemudian membawa keduanya meluncur di By Pass Ngurah Rai.

Kedua alis Beth mengerut. "Maksudnya gimana?"

"Dia masih nggak yakin sama perasaannya ke gue, meski Jaz juga ngaku bahwa selama kami nggak ketemu, dia kangen sama gue." Senyum Richard mengembang saat mengingat ucapan Jaz. "Tapi dia mastiin itu bukan karena dia masih berusaha move on dari Daniel. Dia cuma perlu waktu lebih buat yakin soal perasaannya ke gue."

"Kamu jawab apa?"

"Gue bilang ke dia perlu deadline," balas Richard cepat. "Gue nggak mau diombang-ambing lebih lama lagi, Beth. Jadi gue dengan jelas bilang, gue harus punya batas waktu yang konkret, bukan yang nanti atau seenaknya dia."

"Jaz setuju?"

Richard mengangguk. "Dia bilang bahwa sebelum kami harus press junket, dia bakal ngasih gue kepastian."

"That's good to hear, Rick!" seru Beth dengan riang. "Seenggaknya dampak ke kamunya juga nggak akan lama. Kamu bisa move on misalkan Jaz akhirnya nanti nggak bisa bales perasaan kamu. Aku sebenarnya nggak setuju soal deadline karena perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dilihat, apalagi dipegang buat dipindahin. Bagaimana misalkan Jaz justru ambil keputusan karena dikejar waktu dan bukan karena hati?" Beth mengetuk kemudi pelan ketika mobil mereka kembali terjebak lampu lalu lintas di Sunset Road. "Tapi karena kamu kakakku, jadi aku mendukung semua keputusan yang kamu ambil tentang hal ini. Lagipula, siapa sih yang nggak mau jadi pacar Richard Ackles?"

Mendengar ucapan terakhir Beth, mau tidak mau meloloskan tawa dari bibir Richard. "Selama mereka nggak cuma liat fisik, gue sih nggak keberatan." Richard mengembuskan napas pelan. "Gue juga sempet punya pikiran kayak lo, bahwa gue kesannya jahat dan nggak punya hati minta tenggat waktu sama Jaz, padahal justru itu yang gue mau dari dia," pandangan Richard dan Beth bertemu sesaat, "her heart. Cuma gue juga nggak mau dia punya kuasa penuh atas hati gue, seenggaknya sampai dia yakin. Beruntung Jaz ngerti dan itu alasannya kenapa gue yakin banget, misalkan kami pacaran nanti, kami bakal cocok." Richard diam sejenak. "Because we are alike."

"Be careful what you wish for, Brother."

Richard cukup sadar bahwa imajinasinya saat ini memang mulai sedikit lepas kendali jika berkaitan dengan Jaz. Bukan, bukan bayangan mesum yang mengisinya, tetapi bayangan tentang memegang tangan perempuan itu di tempat umum, berita yang akan muncul di media ketika mereka tahu dua orang yang pernah saling berseteru justru menjalin hubungan, atau merasakan duduk di sofa berdua dengan lengan Richard melingkari pundak Jaz. Bayangan-bayangan kecil yang menjejali otaknya tersebut jauh lebih punya efek dibanding bayangan besar mengenai pernikahan atau membangun keluarga bersama perempuan itu.

"Lo ngapain aja selama gue di Jakarta?"

"Wind down," balas Beth dengan bangga. "Aku akhirnya tahu kenapa kamu waktu itu sempat tinggal di sini dan sepulangnya dari Italia juga milih tinggal di Bali." Beth tersenyum memandang Richard. "Tinggal dan berkunjung—meskipun agak lama—memang rasanya nggak sama."

"Apakah gue berhasil buat ngebujuk lo buat pindah ke Bali juga?"

"Never say never," ucap Beth. "Aku yakin bisa menemukan pekerjaan yang bisa aku kerjakan dari rumah dan hanya perlu sesekali pergi ke kantor atau untuk perjalanan dinas. Gajinya mungkin jauh di bawah standarku di Manor & Partners, tapi yang penting buatku sekarang adalah aku bisa hidup tanpa harus mendedikasikan seluruh waktuku untuk pekerjaan."

"Tragedi salah satu rekan kerja lo waktu itu beneran ngaruh ke cara pandang lo, ya?" tanya Richard merujuk pada rekan kerja Beth yang meninggal dan alasan adiknya waktu itu datang ke Bali saat dirinya masih syuting Revulsion.

Beth mengangguk. "Aku nggak mau end up seperti dia karena dengan tumpukan pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan, bukan nggak mungkin kejadian itu juga menimpaku."

"Tapi gue nggak akan ngebiarin itu kejadian sama lo, Beth." Richard mengulangi kalimat yang sama ketika adiknya mengatakan alasan mengunjunginya di Bali saat itu.

"Aku tahu, tapi tetap saja, ada ketakutan yang nggak bisa aku singkirkan, Rick. Selama ini prioritasku cuma karir, tapi aku lupa caranya untuk menikmati hidup. Dan selama aku nggak kerja ini, aku pengen punya prioritas baru dan menemukan cara supaya semua aspek dalam hidupku seimbang, nggak timpang antara satu dan yang lain."

Richard mengulurkan lengan dan meremas pelan pundak adik perempuan satu-satunya. "Gue yakin lo pasti bisa, Beth. Pengalaman lo udah banyak, jadi gue yakin lo nggak akan kesulitan buat cari kerjaan yang emang sesuai sama apa yang lo mau."

Belum sempat Beth membalas, ponsel Richard berdering. Begitu dia mendapati nama Jaz di sana, dia menunjukkannya ke Beth yang langsung tersenyum lebar. "Kayaknya kamu nggak perlu menunggu lama buat tahu jawabannya."

"Belum tentu ini tentang itu," balas Richard sebelum dia menerim panggilan dari Jaz. "Jaz, ada apa?"

"Lo udah sampai di Bali?"

"Udah, masih on the way ke vila. Kenapa?"

"Kayaknya Mina mulai yakin bahwa sahabat lo itu yang tidur sama dia di malam itu."

Jawaban Jaz jelas membuat Richard menegakkan tubuh dan reaksinya berubah. Pandangannya dan Beth bertemu karena dia yakin, adiknya pasti merasakan perubahan emosi di wajahnya.

"Gimana ceritanya?"

"Gue lagi on the way ke tempat Mina sekarang. Dia tadi telepon dan cuma bilang, bahwa dia akhirnya ngobrol sama Evan. Gue juga masih belum tahu cerita lengkapnya gimana."

Jantung Richard berdegup begitu kencang mendengarnya. "Please, jangan gegabah. Don't do something stupid."

"Lo nggak usah khawatir. Gue nggak akan ngulang kesalahan yang sama."

"Kabari gue lagi nanti ceritanya gimana."

"Pasti."

Ada jeda cukup lama ketika keduanya sama-sama diam dan tidak ada satu patah kata pun yang terucap.

"Lo ati-ati di jalan, Richard. Ntar gue kabarin lagi."

"Take care, Jaz."

Sesaat setelah Richard mengakhiri panggilan, dia memandang Beth yang sepertinya sudah tidak sabar untuk tahu percakapan yang baru saja terjadi dengan Jaz.

"Soal Mina."

Kening Beth bertaut. "And?"

"Ada kemungkinan cowok yang hamilin dia itu Evan, tapi—"

"Wait!" seru Beth memotong kalimat Richard. "Evan sahabat kamu? That Evan?"

Richard mengangguk. "Cuma Mina masih belum yakin. Jaz ngabarin kalau Mina mulai punya keyakinan bahwa Evan adalah ayah Brandon. Gue tadi cuma pesen ke Jaz supaya nggak gegabah."

"This is shocking."

"Gue nggak mau bereaksi berlebihan sampai kebukti bahwa Evan emang cowok yang malam itu nidurin Mina dan hamilin dia. Selama belum ada bukti, gue nggak mau bersikap ceroboh."

Beth mengangguk paham. "Tapi tetep aja, Rick, ini kemungkinan yang nggak pernah aku bayangkan."

"Gue tahu. Makanya gue masih berharap kali ini Mina keliru. Gue nggak bisa bayangin misalkan emang Evan cowok itu." Richard menggeleng pelan. "I don't think I will be able to forgive him."

Bukan karena alasan Mina adalah sahabat Jaz, tapi karena Evan memilih diam dan melihat Richard menjadi kambing hitam atas perilakunya yang tidak bertanggung jawab. Bagi Richard, perbuatan itu jauh lebih sulit untuk dia maafkan.

Buktiin ke gue bahwa semuanya salah, Van, please, gue mohon, harap Richard dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top