55 - RICHARD
SIX MONTHS LATER ....
Sejak pindah lagi ke Bali, rutinitas Richard berubah. Dia benar-benar hanya akan mengambil pekerjaan yang disukainya, yang berarti, dia punya banyak sekali waktu kosong untuk diisi. Beruntung Bali tidak pernah kehabisan aktivitas untuk dilakukan pria aktif seperti dirinya. Meskipun tidak setiap hari ke gym, bukan berarti Richard lupa cara menjaga tubuhnya. Dia berenang di laut, berselancar, cross fit, bahkan mendalami hobi baru berjalan di pantai setiap kali sore menjelang. Mengenakan kacamata hitam dan topi kep, tidak banyak yang mengenalinya. Kalaupun ada, mereka tidak lantas mengerubutinya untuk meminta foto atau tanda tangan. Richard merasakan kebebasan yang dicarinya.
Namun tentu saja ada batasan yang tetap tidak bisa dilanggarnya. Menghubungi Jaz adalah salah satunya.
Sejak malam di Piazzale Michelangelo itu, perasaan Richard seperti diombang-ambing oleh kebingungan. Bukan karena penolakan—yang sangat dipahami Richard—Jaz, tetapi dia bingung karena masih menyimpan asa kepada perempuan itu.
Jaz dengan gamblang menyatakan dia tidak bisa membalas perasaan Richard karena tidak ingin menjadikan pelampiasan setelah hubungannya dengan Daniel berakhir. Perempuan itu bahkan meminta maaf karena sudah menciumnya, mengaku dia tidak ingin membuat Richard salah sangka. Richard memang menunjukkan sikap memahami semua itu di hadapan Jaz, tapi di dalam hatinya, ada sayatan yang sudah terlanjur meninggalkan bekas.
Richard baru saja masuk ke dalam vila sembari mengeringkan badan selepas berselancar sore itu dan membasuh tubuhnya di pancuran ketika teleponnya berdering. Dia menengok ponsel yang diletakkannya di atas sofa dan mendapati nama Beth. Kening Richard sedikit berkerut mengingat Beth jarang sekali menghubunginya di waktu-waktu yang diketahuinya, adalah jam kerja bagi Beth. Pun tidak ada pesan singkat sebelumnya yang mengabarkan bahwa Beth akan menghubunginya.
Dengan segera, Richard mengganti celana selancarnya yang basah dengan sweatpants pendek agar lebih nyaman dan tidak terganggu basah. Selepas itu, dia melemparkan handuk ke arah kursi bar, meraih ponselnya sudah tidak lagi berdering yang dan kembali menghubungi Beth. Tidak butuh waktu lama sebelum wajah Beth terlihat.
"Gue baru balik surfing, barusan ganti celana supaya nggak basah pas lo telepon. Ada apa, Beth? Is everything okay?"
"Kabarku baik-baik saja. But other things ... not so much. Everything's not okay because work keeps on piling up and I desperately want to get out of all these freaking papers." Adiknya memang terlihat lelah sekalipun Richard yakin, di depan rekan-rekan kerjanya, bukan raut muka ini yang dipasang Beth. "Aku ngajuin surat resign kemarin."
Kabar itu tentu mengejutkan Richard meski Beth pernah menyinggungnya. Dia langsung duduk dan menaikkan kakinya ke atas meja tanpa mengalihkan tatapannya dari Beth yang sedang memijit pelan pelipisnya.
"Dikasih?"
"Mereka awalnya mau negosiasi lagi, tapi aku bilang, keputusanku udah bulat. Jadi mau gajiku ditambah berkali-kali lipat pun, aku akan tetap resign. I've had enough with all of this."
"Terus lo udah dapet kerjaan baru?"
Beth menggeleng. "Aku mau break sebentar dari segala hal yang berhubungan dengan karir, Rick. Take a month or two, then thinking of my next steps. Aku mau cari perspektif baru karena selama ini, kerjaan ini adalah hidupku. Aku nggak punya definisi lain soal hidup kecuali karir. Dan aku tahu, itu bukan definisi hidup yang seharusnya."
"Are you sure you're going to be okay?"
"Soal finansial, kamu nggak perlu khawatir. Tapi soal mental, aku nggak tahu. Pasti akan butuh banyak adjustmentkarena aku tiba-tiba nggak kerja dan nggak punya rutinitas atau jadwal yang tertata. But I know I'll get through that eventually."
Richard hanya menanggapinya dengan gumaman pelan.
Tanpa harus mengungkapkannya kepada Beth, ada perasaan bangga yang dirasakan Richard mengetahui adiknya tersebut menyadari bahwa pekerjaannya sekarang tidak pantas untuk dijadikan definisi hidup. Ada banyak hal lain dalam hidup yang bisa diraih Beth tanpa harus bekerja puluhan jam tiap hari dan mengorbankan waktu serta kesehatannya. Namun Richard juga tidak ingin Beth dihampiri stres, apalagi sampai depresi karena untuk pertama kalinya, adiknya itu akan punya banyak sekali waktu luang.
"Lo kalau mau ke sini bilang aja."
"Kayaknya aku pengen ke Eropa dulu, beneran yang buat jalan-jalan. Baru abis itu aku ke Bali. Tapi bisa juga aku ke Bali dulu. We'll see. Nggak keberatan kan aku numpang?"
Meskipun pertanyaan tersebut bersifat retoris, Richard tetap menjawabnya. "Lo mau tinggal di sini juga gue nggak akan keberatan, Beth. Stay as long as you want."
Senyum Beth mengembang. "Tapi aku telepon kamu ini bukan cuma mau ngabarin kalau aku udah mengajukan resign."
"Emang lo mau bilang apa lagi?"
"Aku ketemu Daniel dan Jaz, di dua kesempatan yang berbeda minggu lalu."
"Oh." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Richard mendengar dua nama yang selama ini hanya ditangkapnya melalui Ruri, itu pun sangat jarang. Richard bahkan dengan senang hati menyambut kemungkinan untuk tidak lagi mendengar nama Jaz dan Daniel disebut meskipun mustahil.
"Sama Daniel kami cuma basa-basi dan bilang, dia udah putus sama Jaz waktu mereka di Florence. Karena kamu udah cerita, jadi aku lebih denger versi dia. He made it sound so dramatic." Beth memutar bola matanya. "Kalau aku nggak tahu, pasti aku bakal marah-marah ke kamu. Dia bilang seolah-olah putusnya hubungan dia dan Jaz adalah karena kamu. Fair enough, but not really the case. Beruntung kami nggak lama, jadi begitu ada kesempatan buat pergi, aku langsung say goodbye."
Mendengar itu, Richard tidak kuasa menahan tawa. "Poor Daniel."
"Aku ketemu Jaz nggak lama setelah itu. Dia kelihatan lebih cantik dan lepas, jauh berbeda ketika kita semua makan malam waktu itu. I guess breaking up with Daniel really did wonder to her." Richard hanya diam, menunggu Beth menyelesaikan ceritanya. "Dia justru nggak cerita dengan detail seperti Daniel alasan mereka putus. Jaz cuma bilang, 'It just didn't work out', dan udah. Tapi reaksinya pas aku bilang nama kamu, dia langsung tanya kabar kamu gimana karena ternyata, kakakku bohong soal itu soalnya Jaz bilang kalian udah nggak komunikasi sejak pulang dari Florence, sementara kamu bilang komunikasi kalian masih jalan. Apakah ada yang belum kamu ceritain, Rick?" tuntut Beth sembari menyilangkan lengannya di atas meja.
Senyum yang sebelumnya terpasang di bibir Richard, berangsur hilang. Dia memang berbohong ke Beth karena yakin kesempatan adiknya bertemu dengan Jaz bisa dibilang kecil. Dia lupa bahwa seluas-luasnya Jakarta, kemungkinan itu tetaplah ada.
"Okay, I lied to you about keeping in touch with Jaz, but that was the best excuse I could find, Beth," jelas Richard. "Lo yakin punya waktu buat dengerin cerita gue? Gue nggak mau ganggu kerja lo."
"Richard Ackles, the clock is ticking and I'm still waiting."
Selepas mengeluarkan tawa kecil, Richard kemudian menceritakan bagian yang belum diungkapkannya ke Beth tentang malam itu. Adiknya tersebut mendengarkan dengan saksama tanpa menginterupsi sedikit pun. Begitu sudah selesai, Beth hanya bergumam pelan.
"Perasaan kamu sekarang seperti apa?"
Richard mengedikkan bahu. "Gue masih nggak tahu, Beth. Ucapan Jaz malam itu cukup jelas bahwa dia nggak bisa ngebales perasaan gue, jadi gue bisa apa? Gue nggak mungkin maksa dia buat nerima gue."
"But it was six months ago, Rick! Banyak yang bisa berubah dalam enam bulan."
"Tapi masih ada kemungkinan perasaan dia ke gue masih sama, Beth. Gue nggak mau untuk kedua kalinya ditolak misalkan gue bilang ke Jaz bahwa perasaan gue masih sama."
"Rick, aku tahu nggak bisa memaksa kamu untuk melakukan sesuatu yang memang kamu nggak mau. Tapi bisa nggak, next time kamu ke Jakarta, cari waktu buat ketemu Jaz? Bukan karena kalian harus press junket buat Revulsion, tapi benar-benar kamu berniat buat ketemu dia karena kamu mau, bukan karena kesempatannya ada."
Richard diam memikirkan permintaan yang diajukan Beth. Dia sendiri ragu bahwa enam bulan mampu mengubah perasaan Jaz kepadanya. Dia jelas enggan mendapatkan reaksi yang sama dari perempuan itu. Namun jika Beth sampai memohonnya untuk melakukan sesuatu, pasti ada hal yang tidak disampaikan Beth tentang pertemuannya dengan Jaz. Hanya saja, Richard tidak akan pernah tahu karena Beth tidak akan mengungkapkannya.
"Buat apa, Beth?"
"Supaya kamu bisa move on misalkan Jaz memang masih belum bisa bales perasaan kamu. Now I know why you were so keen about moving to Bali."
Menarik napas, Richard akhirnya mengangguk. "Gue akan coba meski gue nggak janji." Hanya itu yang bisa disampaikan Richard supaya Beth tidak lagi mengungkitnya.
"That's all I need to hear," balas Beth dengan senyum di wajahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top