54 - JAZMINE


ENAM BULAN KEMUDIAN ....


"Thank you semuanya!"

Ucapan terima kasih itu disampaikan Jaz dibarengi lambaian tangan kepada kru yang hari itu membantunya syuting iklan untuk sebuah produk body lotion. Tanpa menunggu lama, dia langsung masuk ke mobil dan meletakkan tote bag di jok belakang sebelum menyandarkan punggungnya. Dia menoleh dan menatap Anggi yang sedari hanya memandangnya.

"Laper nggak lo?"

Anggi menggeleng sebelum membawa mobil menjauhi bangunan yang digunakan untuk syuting. "Are we gonna talk about it or not?"

Kening Jaz mengerut. "Ngomongin apa emangnya?" tanyanya bingung karena seingatnya, tidak banyak hal yang disembunyikannya dari Anggi.

"Jaz, sejak kamu balik dari Florence dan selesai syuting Revulsion, kamu jadi lebih gila kerja. Okelah aku ngerti kamu butuh pelampiasan karena putus dari Daniel. Tapi seingatku, kamu nggak sampai seperti ini pas dulu-dulu hubungan kamu berakhir. Apakah ada kejadian yang nggak kamu ceritakan ke aku? Yang berkaitan dengan Richard Ackles mungkin?" pancing Anggi.

Jaz hanya memandang motor dan mobil yang saling berusaha mendahului, berusaha mengabaikan keingintahuan Anggi. Namun cepat atau lambat, Anggi akan tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi karena menyimpan cerita dari asistennya dalam jangka waktu yang lama bukanlah salah satu kekuatan Jaz. Jaz bahkan terkejut Anggi bisa menahan diri begitu lama hingga baru sekarang mengungkitnya.

"Gue nyium Richard setelah putus dari Daniel."

Jaz merasa, kalimat pendek itu cukup untuk merangkum alasan utamanya menerima banyak tawaran begitu sampai di Indonesia.

Setelah mengucapkannya, Jaz memandang Anggi yang sepertinya tidak kaget karena mobil yang disetiri asistennya itu masih belum menabrak apa pun atau mobil tiba-tiba berhenti karena Anggi mengerem mendadak. Dia hanya mendapati anggukan pelan Anggi seolah jawabannya itu sudah sempat terlintas di pikiran asistennya.

"Terus?"

"Ya nggak ada terusannya."

"Apakah itu juga alasannya kamu nggak mau ketemu Richard?"

Jaz menghela napas panjang karena yang akan dijelaskannya mungkin terdengar seperti sebuah scenario film, bukan sesuatu yang terjadi di dunia nyata. Setidaknya bagi Jaz. "Gue tahu bahwa malam itu, nyium Richard adalah pelampiasan, bukan didasari perasaan, dan gue ngerasa bersalah. Richard nggak pernah jadiin ciuman itu masalah atau ngungkit-ngungkit lagi dan minta penjelasan dari gue. Gue rasa sih dia tahu bahwa malam itu, gue sedang nggak dalam kondisi emosi yang stabil. Bukan alasan yang tepat, tapi gue pengen berpikiran positif itu yang dia pikirin. Kami nggak pernah bahas lagi setelahnya. Intinya begitu." Jaz menelan ludah, memberi jeda supaya Anggi bisa mencernanya. "Soal ketemu Richard, dia kan sekarang tinggal di Bali, cuma sesekali ke Jakarta, dan jadwal kami jarang bisa cocok buat ketemu. Jadi wajar kalau kami nggak pernah ketemu, bukan karena gue ngehindar."

Ada kebohongan yang diselipkan Jaz dalam kalimat panjang tersebut, tetapi dia berusaha terdengar meyakinkan agar Anggi tidak curiga.

Faktanya adalah dia yakin, salah satu sebab Richard memutuskan pindah ke Bali adalah karena setelah ciuman di Piazzale Michelangelo malam itu, Richard mengungkapkan perasaannya. Seperti bisa diduga, Jaz tentu saja menolaknya dengan mengutarakan alasan tidak ingin menjadikan Richard pelampiasan lebih jauh. Meski sepertinya pria itu tampak legowo dan mampu menerima, tapi Jaz percaya, ada kekecewaan yang tidak diluapkan pria itu.

Beruntung syuting mereka benar-benar berakhir di Florence dan tidak perlu ada re-shoot sesampainya di Indonesia. Hal itu berarti Jaz bisa melepaskan Claudia dan mengurangi intensitas pertemuannya dengan Richard meski keduanya tahu tidak ada pertengkaran hebat yang membuat mereka enggan saling berkomunikasi. Hidup mereka berlanjut dengan kesibukan masing-masing. Meskipun begitu, kejadian malam itu tetap membayangi Jaz dan menolak untuk benar-benar terhapus dari memorinya.

Jaz hanya tinggal menunggu waktu sebelum dia dan Richard harus kembali bertemu demi kepentingan press junketuntuk Revulsion. Satu yang diharapkan Jaz adalah tidak adanya kecanggungan di antara mereka. Saat bertemu Richard, dia ingin mereka seperti dua teman lama, terlepas dari apakah Richard merasakan hal serupa atau tidak.

"Kamu jahat juga sih, Jaz. Udah tahu baru putus, tapi berani nyium cowok lain. Apa yang sebenernya kamu pikirin?"

Pertanyaan Anggi tidak diartikan Jaz sebagai tuduhan karena dia pun memiliki pertanyaan yang sama persis sebelum memejamkan mata malam itu. Namun berada dalam kondisi emosi yang tidak stabil, bercampur lelah, pengaruh white wine, belum lagi aroma parfum Richard, dan juga pemandangan Florence yang tanpa cela di hadapan mereka, benar-benar mengacaukan logika Jaz. Dia tidak mampu berpikir jernih. Tidak adil memang bagi Richard, tetapi apa yang bisa dilakukan Jaz? Mustahil baginya memutar kembali waktu dan mengubah malam itu.

Alasan lain adalah ucapan Richard saat mereka ada di Batu Belig masih tertanam dalam ingatan Jaz. Pria itu jelas-jelas mengatakan bahwa mereka akan sulit punya hubungan karena ada jejak yang salah mengawali interaksi mereka. Jaz enggan mencari tahu apakah Richard masih berpikiran seperti itu atau tidak.

"Lo mau gue ngapain? Dateng ke Bali terus mohon-mohon sama Richard buat maafin gue?" Jaz menggeleng pelan karena gerah dengan Anggi yang terkesan menyudutkannya. "Kami nggak ada masalah, Nggi. There was no bad blood between us. Emang gue salah malam itu, gue akui. It was a mistake on my part, but he understood. Gue juga langsung bilang maaf karena udah jadiin dia pelampiasan."

"Jadi gimana perasaan kamu sama dia setelah kamu bisa berpikir jernih? Apakah nggak ada ketertarikan sedikit pun, hmmm?" Anggi menoleh sesaat ketika mengajukan pertanyaan tersebut.

Untuk satu hal itu, jawabannya jauh lebih kompleks. Jaz sesungguhnya masih menganalisis perasaannya, tetapi masih belum menemukan formula yang tepat untuk menjabarkannya dengan runtut.

"Nggak ada keraguan kalau gue suka sama dia, Nggi," jawab Jaz akhirnya setelah menimbang kalimat yang pas untuk diutarakan. "Cuma gue nggak tahu apakah rasa suka gue itu cukup gede buat berkembang jadi perasaan yang lain atau nggak. Seperti gue pernah cerita, Richard beda banget begitu gue kenal dia lebih jauh, apalagi setelah kami sampai di Florence. Gue bisa ngandelin dia, dan dia bikin gue ngerasa aman buat cerita apa aja. Gue cuma nggak tahu apakah nanti, misalkan kami pacaran, dia tetep bersikap kayak gitu atau nggak. Gue trauma sama Daniel yang beda banget pas kami masih belum pacaran sama pas kami pacaran. Gue nggak mau patah hati lagi, Nggi, seenggaknya biarin gue istirahat bentar dari urusan cinta-cintaan sebelum gue yakin mau punya hubungan lagi."

"Aku nggak pernah maksa kamu buat segera punya hubungan, baik sama Richard atau sama cowok lain, jadi jangan salah artiin keingintahuanku soal dia. Take as much time as you need, Jaz. Aku tahu masalah hati bisa jadi sangat rumit, apalagi kamu sama Richard punya sejarah yang nggak bisa dibilang mulus. Aku tahu kalian udah saling memaafkan, tapi mungkin hal itu punya efek yang tanpa kalian sadar, mempengaruhi cara kalian mandang satu sama lain."

Jaz tidak bisa menyangkal kebenaran dari ucapan Anggi. "Gue cuma nggak pengen kami jadi strangers lagi pas ketemu nanti, Nggi. Gue yakin press junket buat Revulsion bakal gila-gilaan."

"Only one way to find out, right?"

Jaz mengangguk, paham dengan maksud Anggi. "Dan gue beneran nggak sabar buat ketemu dia lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top