53 - RICHARD


Menaiki taksi yang harga argonya lumayan menguras kantong, Richard mengajak Jaz ke Piazzale Michelangelo. Ada dua adegan yang harus Richard ambil di lokasi ini tanpa Jaz, dan seingatnya, perempuan itu tidak punya kesempatan datang ke sini karena harus mengambil adegan di tempat lain.

Sepanjang perjalanan, Jaz lebih banyak diam meski sesekali pandangannya beralih ke Richard, dibarengi seulas senyum tipis. Tidak banyak yang bisa dilakukan Richard selain menemani Jaz dalam diam karena dia tidak ingin membuat perempuan itu merasa tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan atau ucapannya. Bagi Richard, saat ini menunggu adalah pilihan yang sangat tepat.

Dari sudut matanya, Richard sempat menangkap bayangan Daniel ketika dia dan Jaz masuk ke lift, berdiri di depan pintu kamar. Dibarengi tangis dan raut muka Jaz yang tampak sedih, ada satu hal yang mampu disimpulkan Richard. Hanya saja, dia tidak ingin memberi dirinya harapan demi menjaga supaya jika nanti kecewa menghampirinya, Richard masih mampu menanggungnya.

Begitu keluar dari taksi, Richard langsung memandang Jaz. "Lo laper?"

Seperti bisa diduga, Jaz menggeleng. "Makasih udah ngajak gue ke sini, Richard."

"Gue beli minum dulu, lo bisa duduk di bangku di sana," Richard menunjuk satu bangku yang letaknya berdekatan dengan pagar pembatas, "Nanti gue nyusul."

Jaz kembali tersenyum.

Richard masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, seolah ingin memastikan Jaz duduk tanpa halangan. Begitu perempuan itu menuruti anjurannya, Richard dengan segera menuju ke salah satu restoran yang ada di Piazzale Michelangelo dan memesan dua gelas white wine serta satu botol air mineral dengan janji bahwa dia tidak akan membawa kabur gelasnya. Gurauannya tersebut ditanggapi pramusaji dengan tawa.

Dengan hati-hati, Richard membawa dua gelas dan satu botol air mineral ke tempat Jaz duduk. Ketika perempuan itu menoleh, Richard langsung mengulurkan satu gelas. "Gue tahu nggak bijak minum wine sebelum makan malam, tapi gue rasa, lo lebih butuh ini daripada ngisi perut sama pasta."

Jaz mengeluarkan tawa kecil sembari menerima gelas dari tangan Richard. "Thanks. And yes, you're right." Setelah Richard duduk, Jaz mengangkat gelasnya tinggi. "To heartbreak."

Meskipun tidak yakin itu sesuatu yang pantas mendapatkan toast, Richard menurutinya. Keduanya dengan pelan menyesap wine sebelum Richard meletakkan gelasnya di samping tempat duduk. Konfirmasi bahwa kecurigaannya benar, bukan berarti pertanyaan yang masih belum disuarakan Richard terjawab begitu saja. Dia tetap menunggu.

"Lo putus sama Daniel? Atau break lagi?"

Jaz menyilangkan kaki sementara pandangannya tidak beranjak dari kubah Florence Cathedral yang tampak begitu menjulang dari tempat mereka duduk. Dia mengangguk. "Kami putus. For good. Gue rasa itu keputusan yang paling bener."

Richard mengangguk paham. Ada pertanyaan yang ingin diajukannya, tetapi dia menahan diri untuk mengungkapkannya.

"Lo nggak pengen nanya gimana perasaan gue?"

"Do you want me to?" tanya Richard balik. "Karena kalau lo nggak mau cerita juga gue nggak akan maksa, Jaz."

Jaz menoleh sebelum dia membuang napas. "Jujur, gue nggak tahu perasaan gue sekarang kayak gimana. Yang bikin gue sedih sebenernya bukan karena kami putus, tapi lebih ke sikap dia yang nggak pernah mau ngerti profesi gue. Gue pikir," Jaz menelan ludah, "pas di ke sini dan minta maaf, itu berarti dia nggak akan lagi ngulangin kesalahan yang sama. Tapi rupanya cuma bisa bertahan beberapa hari sebelum dia balik kayak dulu lagi. Gue capek." Jaz terdengar lelah selepas mengatakannya. "Dia nyalahin orang lain buat nutupin rasa cemburunya yang gede, dan gue nggak bisa kalau harus dealing sama hal yang itu-itu aja ke depannya. Buat apa punya hubungan kalau ujung-ujungnya malah bikin hidup gue nggak tenang?"

"Dia cemburu sama siapa?" tanya Richard penasaran.

"Sama lo."

Jawaban Jaz tersebut mengagetkan Richard hingga dia sampai memundurkan tubuhnya. Bukan hanya karena namanya disebut, tetapi karena Jaz menjawabnya tanpa berpikir panjang. "Sama gue?" ulangnya dengan sedikit lebih keras. "Lo nggak salah denger? Gue?"

Dari sekian banyak alasan yang terlintas, Richard jelas tidak menyangka namanya justru menyulut rasa cemburu Daniel. Richard berusaha mengingat kejadian mana yang membuat Daniel memutuskan untuk menjadikan dirinya sebagai alasan semua rasa cemburu yang berujung dengan berakhirnya hubungan Jaz dan Daniel. Hanya saja, Richard gagal menemukan ingatan yang bisa memberinya gambaran jelas tentang itu.

"Ini bukan pertama kali Daniel jadiin lo alasan buat ribut. Pas kita masih syuting di Bali, dia sering bilang bahwa dia takut gue jatuh cinta sama lo, dan selalu curiga. Padahal sebelum kami jadian, gue tanya ke dia, apakah dia sanggup liat gue sama cowok lain buat urusan kerjaan, karena ya kerjaan gue pasti berkaitan sama cowok-cowok menarik. Dan dia bilang sanggup. Cuma kenyataannya beda." Jaz kembali menyesap wine-nya. "Alasan kami break sebelum gue ke Florence juga sama, apalagi setelah dia tahu bahwa gue ke sini cuma sama lo. Akhirnya tadi gue bilang ke Daniel, mendingan kami putus daripada dia terus-terusan ngungkit hal yang sama dan kami ngejalanin siklus yang berulang: dia cemburu, dia minta maaf, kami baikan, terus dia cemburu lagi. Gue kayak punya hubungan sama anak kecil."

Penjelasan Jaz tersebut membuat Richard tertegun. Meski ingin mencandai Jaz yang mengatakan dirinya termasuk pria yang menarik, Richard mengurungkannya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa peran dirinya begitu besar tanpa dia sadari.

"Do I need to feel sorry for that?" tanya Richard ragu. Sebuah pertanyaan yang sejujurnya tidak penting karena bagaimana pun juga, dia tidak punya andil secara langsung atas berakhirnya hubungan Jaz dan Daniel.

"Buat apa? Lo nggak salah apa-apa." Jaz meletakkan gelasnya sebelum bangkit dari duduknya dan berdiri di depan pagar pembatas. Pandangannya lurus ke arah sungai Arno dan beberapa landmark pusat kota tua Florence yang atap-atapnya memang terlihat dari sisi ini. "Gue aja yang nggak nyangka bahwa di balik semua sikap Daniel yang gue kira langka itu, ternyata insecurity dia justru gede banget."

Richard sempat menimbang untuk tetap duduk atau berdiri menghampiri Jaz. Sedetik kemudian, dia menyusul Jaz dan menyejajarkan langkah di samping perempuan itu. "Lo bakal baik-baik aja, kan?"

Jaz mengangguk mantap tanpa menunggu lama. "Gue masih berharap dia minta maaf, tapi gue rasa, gue nggak akan pernah dapet itu dari Daniel." Dia menarik napas panjang. "Tapi bagus juga kami putusnya di sini, jadi gue nggak akan sering-sering diingetin sama kejadian nggak nyenengin ini."

"Terus apa langkah lo selanjutnya?"

"Move on, Richard. Nggak ada cara lain. Mungkin dengan ini, gue malah bisa fokus ke karir gue dan nggak perlu mikirin apakah Daniel cemburu atau nggak sama lawan main gue."

Mendengar itu, mau tidak mau, Richard tergelak. "Gue nggak paham kenapa dia harus insecure sama gue. Dibandingin gue, Daniel bukan cowok yang nggak menarik. And he clearly won your heart. Apa lagi yang harusnya dia takutin?"

Tidak ada jawaban yang diterima Richard, hanya angin malam yang berembus sepoi serta beberapa percakapan dalam bahasa Italia yang tertangkap pendengarannya. Masih ada banyak yang ingin diketahuinya, tapi Richard enggan menumpahkan semuanya malam ini. Sekalipun Jaz tampak jauh lebih baik dibandingkan ketika mereka meninggalkan hotel tadi, Richard tidak ingin berjudi dengan berasumsi bahwa tidak ada luka yang menyayat hati perempuan itu.

"Makasih udah ngajak gue ke sini, Richard, dan mau dengerin curhat gue."

Ketika Richard menoleh, dia mendapati pandangan Jaz begitu lembut. Tanpa bisa ditahan, tangannya terulur untuk membelai pipi perempuan itu, menyeka sisa air mata yang masih mengendap di kedua ujung mata Jaz. Richard tidak ingin mendengarkan keberatan yang diserukan hatinya, yang meneriakkan bahwa ini bukanlah saat yang tepat karena Jaz sedang berada dalam kondisi emosi yang tidak baik-baik saja. Namun Richard tidak lagi mampu mengendalikan gerakan tangannya.

Respon Jaz ternyata mengejutkan Richard. Perempuan itu memegang tangannya dan membelainya lembut sementara pandangan mereka saling terkunci satu sama lain.

"Gue pengen banget nyium lo, Jaz, tapi gue nggak mau nyesel bahwa ini bakal jadi ciuman pertama dan terakhir kita. Bukan sebagai Claudia dan Brian, tapi sebagai Richard dan Jaz."

Jaz membalasnya dengan sebuah senyum simpul.

"Gue nggak mau lo nyesel, Jaz. Lo baru putus dari Daniel. Ini bukan saat yang pas." Namun belum selesai dia menuntaskan kalimatnya, tubuh Jaz sudah mendekat dan wajah mereka hanya dipisahkan oleh satu jengkal jari. Jantung Richard berdegup jauh lebih cepat dari biasanya, padahal mencium perempuan lain bukanlah sesuatu yang baru untuknya. "Lo yakin? Kita nggak harus ngelakuin apa-apa, Jaz. Gue cuma nemenin lo dan ada di samping lo. Gue nggak per—"

Namun belum usai dia menyelesaikan ucapannya, bibir Jaz sudah mendarat di bibirnya. Pertama-tama lembut, tetapi kemudian ada desakan yang tidak bisa diabaikan Richard meski tidak ada nafsu yang menyertainya. Dalam hitungan detik, Richard merasakan kedua tangan Jaz berada di tengkuknya sementara lengannya melingkari pinggang perempuan itu, menekan tubuh mereka agar semakin dekat.

"I don't think I will ever regret that, Richard Ackles," ujar Jaz ketika ciuman mereka berakhir. "Never."

Richard pun kemudian yakin, bahwa semesta pasti sudah menyiapkan kejutan yang tidak akan membuatnya senang selepas ini. 


***

Halo semuanya,

Akhirnya yaaa, ciuman juga mereka berdua setelah melalui banyak drama. Cuma, apakah ini baik atau buruk? We'll see.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top