52 - JAZMINE
"Bagaimana syuting hari ini?"
Jaz hanya mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Daniel sembari meletakkan tote bag di atas sofa. Dia benar-benar capek karena cuaca di Florence mulai terasa gerah dan Raya memanfaatkan hari terakhir mereka syuting dengan maksimal, yang berarti dia harus membawa Claudia dalam dirinya sepanjang hari. Dan bagi Jaz, itu sangat melelahkan.
"Rasanya cuma pengen tidur," balasnya setelah menandaskan satu gelas air putih. "Lo ngapain seharian? Di kamar doang?"
"I walked around a bit and I was on the set."
Jawaban itu membuat kening Jaz berkerut. "Kok gue nggak liat lo ada di sana?"
"Kamu sibuk dengan Richard, tentu saja kamu nggak lihat."
Jika saja Daniel mengucapkannya dengan nada ringan, Jaz tentu tidak akan mempermasalahkannya. Hanya saja, Jaz paham benar bahwa kalimat yang dilontarkan Daniel tersebut bertujuan untuk memancing emosinya. Mungkin ini adalah alasan terbesar Jaz tidak antusias ketika melihat Daniel berdiri di depan kamar hotelnya karena dia tahu, cepat atau lambat, mereka akan berada dalam situasi yang tidak diinginkan Jaz.
"Gue lagi kerja, Daniel. Dan lo tahu gue emang kerjanya sama Richard. Terus lo maunya gimana? Lo mau gantiin Richard? Ngomong ke produser sana coba. Siapa tahu mereka mau reshoot Revulsion atas permintaan lo."
Bukan ini yang diharapkan Jaz ketika dia masuk ke kamar setelah fisik dan mentalnya diuji. Dia memimpikan Daniel akan menyambutnya dengan penuh cinta sebelum memberikan ciuman panjang yang akan menghapus lelah. Menyadari itu, Jaz mengeluarkan tawa kecil karena tahu dia tidak akan mendapatkannya.
Sikap Jaz itu berhasil mendapatkan respon dari Daniel yang sejak tadi hanya menekuri laptopnya, tanpa sekali pun mengangkat wajah untuk memandang Jaz. Daniel memberikan tatapan tajam. "Apa yang lucu, Jaz? Kamu pikir aku nggak cemburu—yes, I'm using that word—melihat kamu menggenggam tangan Richard dan mencium pipinya? That's not what friends or co-workers do, Jaz. Belum lagi aku dengar adegan ciuman kalian sungguh luar biasa." Sedetik kemudian, Daniel bertepuk tangan dan menunjukkan senyum, hanya saja, senyuman itu terlihat mengolok-olok. "Sambutan yang sangat luar biasa untukku, Jaz."
Ada air mata yang mendesak untuk mengalir, tapi Jaz sekuat diri menahannya. Dia sadar betapa dangkalnya alasan yang diberikan Daniel. Menarik napas dalam, Jaz lantas menyilangkan lengan. "Gue nggak pernah minta lo buat ke sini, kan? Lo dateng atas kemauan lo sendiri. Gue nggak akan pakai alasan kerja lagi karena sepertinya otak lo nggak sampai buat nerima fakta bahwa gue dan Richard emang pacaran di film, dan udah seharusnya gue bersikap romantis ke dia. Terus lo mau apa?" Jaz menggeleng heran. "Gue nggak nyangka ternyata dibalik semua sikap gentleman yang lo tunjukkin selama ini, lo masih kayak anak-anak banget. Lo beneran nggak bisa bedain mana yang nyata dan nggak. Kalau emang begitu, gue nggak bisa nolong lo, Daniel. Cuma lo yang bisa ngubah persepsi lo soal itu."
"Jika itu yang aku lihat selama di sini, apa yang terjadi waktu aku masih di Jakarta, Jaz?"
Ada ketidakpercayaan yang sangat ingin diungkapkan Jaz mendengar tuduhan yang sangat gamblang dan dengan gampang dilontarkan Daniel tersebut. Namun Jaz tidak ingin lagi meladeni kecemburuan Daniel yang sangat tidak beralasan. Dia sadar tanggapan apa pun tidak akan mengubah pendapat pria itu, baik tentang Richard atau pun tentang dirinya.
"Lebih baik kita putus, Daniel."
Jaz sadar kemungkinan dia akan menyesali keputusan itu nanti. Namun dia meyakinkan diri bahwa mengakhiri hubungan dengan Daniel merupakan pilihan paling bijak yang dimilikinya. Tidak ada lagi cinta yang bisa mereka bagi bersama. Yang ada hanyalah tuduhan dan rasa cemburu yang membuat hubungan mereka tidak sehat. Ketidakpahaman Daniel tentang dunia Jaz dan kesabaran Jaz yang sudah menyentuh ambang batas merupakan kombinasi sempurna untuk melepas pria itu dari hatinya.
"Apakah kamu akhirnya sudah jatuh cinta dengan Richard hingga mau mengakhiri hubungan kita, Jaz?" tanya Daniel datar.
"Apakah lo pernah mikir, bahwa Richard selama ini cuma lo jadiin alasan buat nutupin kecemburuan lo? This has nothing to do with Richard, at all. Lo nggak perlu bawa-bawa orang lain supaya bikin lo keliatan jadi nggak bersalah." Jaz dengan mantap melangkah maju, memutus jarak yang sebelumnya ada di antara dirinya dan Daniel. "Masalahnya ada di lo, Daniel, yang nggak bisa nerima profesi gue dengan segala konsekuensinya. Gue inget nanya soal itu pas lo nembak gue, dan lo bilang bakal bisa. Cuma kenyataannya lo nggak bisa, Daniel. Jadi lebih baik kita putus. Bukan karena Richard atau cowok lain, tapi karena lo bakal terus-terusan kayak gini. Kita bakal ngulang siklus yang sama: lo cemburu, minta maaf, kita baikan, terus lo cemburu lagi. Gue capek kalau itu yang harus gue hadapin. Kerjaan gue udah penuh sama drama, gue nggak perlu drama beneran dalam hidup gue."
Mereka saling pandang dengan Jaz merasa lega karena sudah mengeluarkan semua yang ditahannya selama ini. Dia tidak mampu lagi mengulangi siklus yang sama di masa depan, jadi lebih baik dia memutusnya sekarang. Hatinya akan terluka, tetapi dia yakin akan mampu melanjutkan hidup. Ini juga bukan kali pertama dirinya patah hati.
"Is that what you really want?"
"Yes, Daniel. That's what I really want."
Menjawab pertanyaan terakhir Daniel memang terdengar seperti sebuah keputusan akhir bahwa tidak ada jalan kembali atau cara lain untuk memperbaiki hubungan mereka. Dia hanya perlu menahan sedikit lebih lama untuk meluapkan perasaannya.
Daniel tampak masih diam dan pandangan mereka masih terkunci satu sama lain. Sedetik kemudian, Daniel mengangguk pelan. "I'll pack and get out of your sight."
Tanpa menunggu lama, Jaz menyaksikan Daniel mengemasi barang-barangnya sementara dia masih berdiri di tempat yang sama. Hatinya sakit bukan karena hubungannya dengan pria itu resmi berakhir, tetapi karena tidak terucap maaf dari mulut Daniel atau penyesalan sedikit pun. Semakin lama diam, semakin sulit bagi Jaz untuk menahan emosinya.
"Goodbye, Daniel."
Membalikkan badan, Jaz keluar dari kamar tanpa menunggu pria itu menyelesaikan berkemas. Meski tahu harusnya Daniel yang keluar lebih dulu, Jaz tidak ingin Daniel melihatnya menangis. Maka Jaz pun berjalan tergesa-gesa tanpa ada tempat yang bisa dia tuju. Diselimuti emosi yang begitu kuat, dia tidak memperhatikan jalannya hingga tubuhnya lantas bertabrakan dengan Richard yang berniat kembali ke kamar.
"Wow, Jaz! Liat-liat kalau jalan."
Begitu Jaz mengangkat wajah, dia menemukan Richard yang menatapnya penuh kekhawatiran. "Sorry."
Dengan pelan, Richard memegang kedua lengan Jaz. "Lo kenapa? Is everything okay?"
Tanpa memberikan jawaban, Jaz langsung memeluk Richard dan menumpahkan tangisnya, tidak peduli dengan berbagai pertanyaan yang pasti mengisi pikiran pria itu. Jaz lantas merasakan tangan pria itu membelai punggung dan rambutnya pelan meski masih belum ada kata-kata yang tertangkap telinganya.
"Lo minum air putih, ya?" tawar Richard sebelum dia melepaskan pelukan. "Muka lo kacau banget."
"Can we ... get out of here? Somewhere? Anywhere?" Jaz menyeka pipinya yang basah demi bisa lancar mengucapkan kalimat yang ada di benaknya.
Ada ragu yang menaungi Richard sebelum pria itu akhirnya mengangguk. "Gue tahu tempat yang mungkin bisa bikin lo tenang. Tapi lo janji harus cerita kenapa."
"Nanti gue cerita semuanya," jawab Jaz dengan suara yang masih serak karena air mata masih menolak untuk berhenti mengalir dari kedua matanya.
"Let's go."
Merasakan lengan Richard di pundaknya, Jaz hanya menuruti ke mana pria itu membawanya. Ketika dia menoleh kembali ke lorong, dia mendapati Daniel berdiri di depan kamarnya. Pandangan pria itu lurus terarah kepadanya. Mereka bertukar pandang, tetapi Jaz tidak lagi peduli.
Dia kemudian masuk ke dalam lift bersama Richard, meninggalkan Daniel yang statusnya sudah resmi berganti menjadi mantan.
***
Halo semuanya,
Selamat tahun baru! Semoga tahun 2022 ini banyak pelajaran yang bisa kalian ambil dan diberkahi dengan banyak kebahagiaan. Semoga 2023 juga memberikan anugerah yang sama baiknya, atau bahkan lebih baik!
Ini hari terakhir di 2022 dan besok saya nggak akan post Revulsion, ya? Saya lanjutin Senin. Alasannya adalah karena besok saya harus publish Foolish Games, yang memang harus diunggah secara serentak tanggal 1 Januari. Jadi Richard sama Jaz libur dulu, biar mereka tahun baruan juga, LOL.
Kemungkinan Revulsion akan tamat bulan depan, dan saya akan mulai fokus ngerjain Foolish Games. Ditunggu besok!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top