48 - ALONG THE ARNO


"Cut!"

Teriakan Raya itu disambut Jaz dengan desahan lega karena kakinya diserang pegal yang luar biasa. Dia ingin duduk. Sementara Richard yang sedari tadi tampak baik-baik saja, tertangkap Jaz sedang menyeka keringat dari keningnya.

"Lo nggak papa?" tanya Jaz ketika mereka berdua berjalan menuju kursi yang letaknya tidak jauh sementara tim make-up dan wardrobe menyusul mereka.

Richard mengangguk. "Gue nggak tahu Raya kenapa, tapi mood-nya kayaknya lagi nggak oke," bisiknya sambil mendekatkan wajah ke Jaz dan memastikan tidak ada kru Indonesia yang mendengar ucapannya.

Jaz menanggapinya dengan gumaman pelan. "Mungkin itu alasannya dia nyiksa kita buat take berkali-kali."

Begitu mereka duduk, Jaz mengamati tatanan bunga wisteria berwarna ungu yang menghiasi pergola Bardini Garden, tempat mereka syuting hari ini. Setelah pusat kota tua di Florence menjadi tujuan mereka kemarin, hari ini mereka fokus ke adegan Claudia dan Brian yang sedang mengingat masa lalu mereka, yang akan berakhir dengan keduanya berciuman.

Hanya saja, Raya sepertinya belum menemukan yang dia cari hingga Jaz dan Richard harus berulang kali take untuk adegan yang sebenernya sederhana. Raya meminta mereka bersikap natural, layaknya dua orang yang pernah punya hubungan, kemudian putus, lalu dipertemukan kembali di Florence dengan perasaan cinta yang belum hilang. Jaz yakin dia sudah memberikan kemampuan terbaiknya, begitu juga dengan Richard meski dia sempat memergoki frustasi yang berusaha disembunyikan pria itu.

"Seenggaknya kita di sini, nggak di Jakarta."

Jaz mengikuti pandangan Richard yang terarah ke pemandangan Florence yang memang terlihat sempurna dari tempat mereka duduk. Terlebih angin di penghujung bulan April berembus sepoi, menambah atmosfer di salah satu taman paling indah di Florence tersebut menjadi semakin indah.

"Gue pengen jalan-jalan di sekitar Arno," celetuk Jaz tiba-tiba. "Rasanya sejak sampai di sini, kita belum punya waktu luang buat jalan-jalan."

"Lo ada janji video call sama Daniel nggak?" Richard lantas menepuk keningnya saat mendapatkan gelengan dari Jaz. "Gue lupa kalian lagi break." Richard mengutip kata terakhir yang diucapkannya dengan kedua tangan.

"Emang kenapa lo nanyain itu?" tanya Jaz penasaran. "Mau ngajakin gue jalan?"

"Jaz, siapa lagi yang bisa gue ajak selain lo?"

Jawaban Richard tersebut cukup mengejutkan Jaz mengingat banyak orang dari kru Revulsion yang bisa diajak pria itu untuk jalan. Namun Jaz menahan kalimat yang ingin diungkapkannya. Dia juga berusaha untuk tidak menganalisis ucapan Richard dengan mengartikanya berbeda.

"Ya udah, gue juga bosen di hotel meski sebenernya capek."

"Ntar dinner dulu, ya?"

"Beres. Lo aja yang cari tempat."

Belum sempat Richard menjawab, teriakan AD sudah terdengar hingga keduanya dengan segera bangkit dari kursi untuk menghampiri Raya.

Jaz berusaha tidak menganggap makan malam berdua dengan Richard Ackles di kota seindah Florence ketika musim semi sebagai sebuah date. Namun dia pun tidak menemukan nama yang pas untuk melabeli apa yang akan mereka lakukan nanti.

***

"Gila, ya? Nggak ada yang ngalahin makanan Italia di negara asalnya." Jaz tanpa ragu mengungkapkan kekaguman yang terasa begitu dangkal. "That was the best Italian food I have ever had!"

Richard tidak sanggup menahan tawa kecilnya menyaksikan senyum Jaz yang terlihat begitu lepas begitu mereka keluar dari Casa Ciabattini, sebuah restoran makanan Tuscany yang didapatkan Richard dari salah satu kenalannya yang tinggal di Roma.

Dengan warna hijau tua dan putih yang mendominasi dinding dan lantainya, restoran tersebut langsung meneriakkan kesan homey. Terlebih pramusaji yang fasih berbahasa Inggris, membuat komunikasi menjadi semakin mudah.

Obrolannya dengan Jaz tidak jauh dari syuting, Italia, dan berbagi cerita tentang pengalaman mereka di dunia hiburan. Nama Daniel atau Mina tidak terselip sama sekali. Keduanya benar-benar menikmati setiap sajian yang dihidangkan, dan tidak ada satu kekurangan yang bisa ditemukan Richard dari makan malam mereka.

Kecuali bahwa Jaz bersamanya dan mereka pergi sebagai teman, bukan sebagai pasangan.

Terlebih dengan terusan selutut berwarna biru tua—yang mengingatkan Richard akan dress yang dikenakan Mia Dolan, karakter yang diperankan Emma Stone di La La Land—yang menampilkan pundak dan lengannya secara sempurna, rambut yang dibuat ikal dan dibiarkan terurai, Richard berkali-kali mengingatkan dirinya bahwa Jaz bukanlah perempuan tanpa status. Jaz masih bersama Daniel, dan sekalipun pahit, Richard harus menelannya dengan paksa. Jadi dia menuruti pesan yang disampaikan Beth dan Ruri, mengagumi dalam diam.

"Lo yakin kuat jalan dari sini ke hotel?"

"Richard, lo itu bisa nggak berhenti underestimate gue?" balas Jaz.

"Gue cuma nggak mau lo capek, terus sakit, terus besok kita nggak jadi syuting. Yang repot kan gue juga."

"Ssst! Berisik deh lo!" tukas Jaz. "Makanya gue pake flat shoes meskipun nggak begitu matching sama outfit gue, tapi gue pengen banget jalan di sini. Kapan lagi bisa ke Florence gratis? Ini tuh salah satu bucket list gue."

Richard hanya mengedikkan bahu sementara mereka sudah berjalan di tepi Arno, sungai yang membelah Florence. Meskipun bukan baru pertama ke Eropa, baru sekarang Richard memahami alasan banyak orang meromantisasi Benua Biru ini. Bahkan berjalan di pinggir sungai—yang menurutnya masih kalah romantis dibandingkan Seine di Paris—memiliki atmosfer yang berbeda.

Namun Richard juga sadar, perasaan berbeda itu disebabkan oleh perempuan yang sedang berjalan di sampingnya ini.

"Gue yakin bucket list lo adalah jalan di tepi Seine di Paris sambil nikmatin lampu-lampu yang menyala di Eiffel, bukan di sini."

"Does it even matter? Yang penting masih di Eropa."

Jaz enggan mengakui tebakan Richard sama sekali tidak meleset. Saat ini dia membutuhkan sebanyak mungkin distraksi terlebih setelah Daniel meneleponnya pagi tadi dalam keadaan mabuk dan menelurkan kata-kata yang membuat Jaz risau. Dia langsung menutupnya dan berusaha menutupinya selama syuting berlangsung. Mungkin karena roh Claudia tidak merasukinya dengan penuh, kamera bisa menangkapnya, dan Raya perlu take berkali-kali untuk mendapatkan adegan yang diinginkannya.

"Lo udah kirim foto Evan ke Mina?" tanya Richard.

Jaz mengangguk. "Tapi dia nggak confirm apa-apa, jadi gue juga nggak bisa ngapa-ngapain buat bantu."

"Lo emang selalu bantuin Mina?"

"Mungkin istilah yang tepat adalah kami saling jaga satu sama lain," balas Jaz dengan jujur. "Apalagi setelah tahu dia hamil dan berniat buat nggak gugurin kandungannya meski nggak yakin lo bapaknya atau bukan." Jaz tersenyum tipis selepas mengatakannya. "Keluarga Mina nggak mau nerima aib kayak gitu, jadi gue satu-satunya orang yang harus ada buat dia. Setelah Brandon lahir, dan lo terbukti bukan cowok yang hamilin Mina, gue jadi ngerasa semakin ingin ngelindungin Brandon juga. Dia nggak tahu apa-apa. Makanya sebisa mungkin, gue pengen bisa nemuin cowok itu, terlepas dia mau tanggung jawab atau nggak."

Jaz menyandarkan lengannya ke pagar pembatas ketika mereka berhenti di salah satu titik panjang yang sungai Arno. Matanya beralih ke Ponte Vecchio yang tampak cukup indah dari tempatnya berdiri. Angin memainkan rambutnya yang tergerai. Senyumnya terbit ketika Richard bersandar di sampingnya, mengenakan kemeja berwarna biru tua dan celana krem yang sekali lagi membuat tampilan pria itu terlihat effortless. Jaz berusaha untuk tidak memandang dua kancing teratas kemeja Richard yang terbuka.

"I'd love to help," ujar Richard sembari menatapnya. "Gue nggak tahu bakal bisa kasih kontribusi apa, tapi misalkan lo butuh bantuan dan gue bisa, lo bilang aja."

"Lo serius?" tanya Jaz terkejut.

Richard dengan mantap mengangguk. "Cuma motif gue beda."

Jawaban itu membuat Jaz menegakkan tubuh. "Emang motif lo apa?" tanyanya penuh dengan rasa ingin tahu.

"Pengen nonjok muka dia aja, sih. Gara-gara dia, gue kena batunya," balas Richard ringan seolah tidak peduli bahwa keinginannya adalah bentuk kekerasan. "Dan gara-gara dia juga, kita jadi ketemu dengan cara yang salah. Yah pokoknya di gue, siapa pun cowok itu, udah pasti masuk daftar merah."

Jaz mengulum senyum mengetahui Richard masih merujuk pertemuan mereka sebagai alasan mereka berada di situasi sekarang. "Sekalipun misalnya cowok itu Evan, sahabat lo sendiri?"

Untuk pertanyaan satu itu, Richard tidak mampu langsung memberikan jawaban. Sejarahnya dengan Evan sudah cukup panjang, dan Richard yakin, sahabatnya itu tidak mungkin melakukan hal sehina seperti menjauh dari tanggung jawab. Namun Richard juga sadar bahwa mengenal Evan dengan baik bukan berarti dia tahu semua hal tentang sahabatnya. Ada bagian dari Evan yang pasti disembunyikan dari Richard, seperti yang dilakukannya. Akan selalu ada rahasia.

"Sekalipun cowok itu sahabat gue sendiri," jawab Richard pada akhirnya. Dia menoleh untuk memandang Jaz. "I'm not a heartless person, Jaz. Dan menurut gue, cuma pengecut yang bisa lari dari tanggung jawab. Dan gue nggak bisa berteman sama orang kayak gitu."

Mendengar itu, ada banyak yang ingin dilakukan Jaz. Dorongan mendaratkan kecupan di pipi pria itu begitu besar, tapi tentu saja dia tidak bisa melakukannya. Pada akhirnya, Jaz mengulurkan tangan dan mengelus pelan lengan Richard Ackles.

"Mau lanjut jalan?"

Kali ini senyum Richard tampak begitu lebar. "Let's!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top