44 - JAZMINE
Senyum Jaz merekah begitu pandangannya dan Brandon bertemu, terlebih ketika bayi itu tertawa kecil di pangkuan Mina. Febri sedang keluar bersama teman-temannya, dan sekalipun tidak suka mendengarnya, Jaz menahan diri untuk tidak mendesak Mina supaya bercerita lebih banyak. Sahabatnya tersebut hanya mengatakan, Febri perlu breaksejenak dari rutinitas mengurus Brandon.
"Gimana kabar lo selain capek? Karena gue tahu, ngurus Brandon nggak mungkin nggak capek."
"He's a good boy," balas Mina sembari membiarkan jemarinya dimainkan oleh Brandon. "Jarang bangun kalau udah tidur, paling sesekali aja. Tidurku jadi lebih teratur." Mina lantas membiarkan Brandon menepuk punggung tangannya hingga bocah itu terkikik pelan. "Aku udah mulai cari-cari kerja, Jaz. Cuma aku lagi nyari yang bisa aku kerjain dari rumah, yang nggak harus ke kantor."
"Udah nemu yang pas?"
Mina menggeleng. "Seenggaknya aku udah punya gambaran mau nyari yang seperti apa."
"Finansial lo aman, kan?" tembak Jaz langsung. "Karena lo cuma harus bilang ke gue misalkan lo ada masalah. Gue nggak mau pikiran lo kebebani hal kayak gituan."
Jaz sangat sadar, uang adalah perkara sensitif, tidak peduli dirinya dan Mina sudah seperti saudara. Namun Jaz tidak ingin sahabatnya mengalami kesulitan, terlebih jika menyangkut Brandon. Bayi itu tidak pantas hidup dengan segala keterbatasan karena ulah pria yang tidak bertanggung jawab. Selama Jaz masih sanggup, dia akan dengan senang hati mengulurkan tangan.
"Masih aman, Jaz. Kamu nggak usah khawatir." Mina lantas bangkit dari duduknya dan menimang Brandon, yang tampak mulai tidak betah diajak duduk. "Aku mau cerita sesuatu ke kamu, tapi please, kamu harus tenang."
Jaz mengerutkan kening sambil mengarahkan pandangannya ke arah Mina, tidak paham dengan permintaan yang diutarakan sahabatnya itu. "Lo mau cerita soal apa? Tenang atau nggak itu tergantung apa yang bakal gue denger."
"Tiga hari lalu, pas aku jalan dengan Brandon dan Febri, aku ketemu cowok. Cuma sekelebatan, tapi dia keliatan familier."
Masih bingung dengan arah pembicaraan Mina, reaksi Jaz hanya diam, menunggu sahabatnya melanjutkan cerita.
"Aku sering kali bilang nggak inget tentang malam itu," Mina menelan ludah sembari mengelus punggung Brandon, "tapi nggak tahu kenapa, rasanya liat cowok itu, aku jadi gemetar. Tapi aku nggak ngejar dia atau apa, karena aku nggak mau berasumsi. Setelah kejadian dengan Richard, aku jadi lebih hati-hati."
Pengakuan Mina jelas mengejutkan karena Jaz menyangka, Mina benar-benar tidak ingin menemukan pria yang menghamilinya. Jaz pun berusaha menghargai keputusan yang diambil Mina dengan tidak ikut campur tangan sekalipun dia pasti memberikan bantuan jika Mina memintanya. Jaz belajar dari pengalamannya dengan Richard.
"Lo curiga dia pria yang tidur sama lo malam itu?"
"Aku nggak tahu, Jaz. Mungkin kalau aku lihat dari deket dan ngomong sama dia, aku mungkin bisa cerita lebih banyak."
"Emang cowok itu ciri-cirinya kayak gimana?"
"Tinggi, putih, kayaknya blasteran, dan dia ada cambang tipis." Mina tampak menerawang, seperti berusaha mengingat kembali pria yang sedang diceritakannya kepada Jaz. "Proporsi badannya mirip Richard kalau dipikir-pikir."
"Apakah mungkin itu alasannya lo ngira yang tidur sama lo Richard karena mereka mirip secara fisik?" tebak Jaz setelah dia diam cukup lama untuk menganalisis ciri-ciri yang diungkapkan Mina.
"Bisa jadi, tapi aku beneran nggak tahu, Jaz. Bisa aja aku salah lihat dan semua ini cuma cerita yang aku buat-buat di kepalaku."
"Mina, lo tahu kan, gue pasti bakal bantuin lo misalkan lo punya clue yang lebih jelas? Seenggaknya buat nyari tahu."
"Jaz, aku nggak—"
"Gue tahu," sahut Jaz cepat, menghadang Mina untuk menyelesaikan kalimat. "Gue juga nggak akan sembrono buat kedua kalinya. I learned my lesson."
Mina menggeleng. "Kamu nggak usah pikirin ini, ya? Mungkin ini kombinasi dari semua rasa frustasi yang numpuk sejak Brandon lahir, jadi aku terkesan mengada-ada."
Membuang napas pelan, Jaz bangkit dari duduknya dan menghampiri Mina. Matanya menangkap Brandon ternyata sudah terlelap. "Mina, gue rasa perasaan lo valid, kok," ujar Jaz pelan. "Coba nanti gue tanya-tanya ke Richard, siapa tahu itu temennya atau orang yang dia kenal."
Menyuarakan nama pria itu di depan Mina saat ini punya sensasi yang berbeda bagi Jaz. Jika dulu, nama Richard bersinonim dengan benci, sekarang nama tersebut mulai merambatkan perasaan aneh yang tidak ingin Jaz namai.
"Ngomong-ngomong, gimana kalian selama di Bali? Berantem nggak?"
Jaz menggeleng. "Semakin ngabisin waktu sama dia, gue semakin diingetin betapa persepsi gue tentang Richard selama ini salah besar. Dia bukan cowok narsis seperti yang gue kira. And he loves his sister so much." Bibir Jaz tersungging mengingat buket bunga yang diberikan Beth. "Kami bahkan pernah makan malam bereempat. Gue, Daniel, Richard, dan Beth—adiknya Richard—dan gue dikasih bunga sama Beth karena udah donasi ke You'll Get Better. Itu organisasi non-profit buat kanker karena Mama Richard dan Beth meninggal karena kanker."
"Kamu donasi ke sana? Nggak biasanya."
Jaz mengangguk, seperti menduga reaksi Mina akan seperti itu. "Gue pengen ngurangin sedikit rasa bersalah karena atas tuduhan gue, karir Richard jadi terancam. Jadi gue donasi ke sana atas nama Richard. Gue nggak nanya gimana dia bisa tahu donasi itu dari gue, tapi Richard kemudian bilang ke Beth, dan menurut cerita Richard, Beth selalu ngasih buket bunga ke temen-temen Richard yang donasi ke sana."
"Daniel gimana?"
Jaz sudah membuka mulut, tetapi dia kemudian sadar bahwa kalimat yang akan diutarakannya adalah tentang Richard, bukan tentang Daniel. Dia mengurungkan niat sementara tangannya terulur untuk mengelus punggung Brandon.
"Cemburu sama Richard," balas Jaz singkat setelah menimbang kalimat seperti apa yang pantas dia katakana ke Mina.
"Cemburu dalam artian kayak gimana?"
"Khawatir berlebihan dan takut banget gue suka sama Richard karena menurut Daniel, Richard adalah cowok yang sangat menarik." Jaz memutar bola mata teringat dengan perasaan cemburu berselimut pujian yang dilontarkan Daniel. "Kami sampai beberapa kali bertengkar karena itu karena gue nggak tahu lagi harus gimana ngeyakinin Daniel bahwa gue nggak semudah itu buat jatuh cinta sama orang lain. Gue sama Richard berperan jadi sepasang kekasih diRevulsion, dan penting bagi kami buat jaga chemistry karena kalau nggak, kamera bakal nangkep itu. Dan gue nggak mau film pertama gue justru flop karena banyak yang bilang gue nggak bisa ngimbangin chemistry-nya Richard."
"Terus Daniel gimana?"
Jaz mengedikkan bahu. "Ya dia bilang sih nggak mau kehilangan gue, makanya dia bersikap kayak gitu. Gue sampai sempat kepikiran buat putus sama Daniel misalkan dia nyuruh gue milih antara tetep main di Revulsion atau milih hubungan kami."
"Serius kamu mempertimbangkan itu, Jaz?"
"Seriuslah. Ya untungnya sih kami nggak sampai di tahap itu. Sekarang sih kami fine-fine aja, dan dia nggak ada cemburu berlebihan lagi. Ya percuma kami pacaran, tapi dia nggak bisa percaya sama gue. Terus apa gunanya?"
"Tapi aku paham kenapa Daniel sampai bersikap kayak gitu. Richard memang cowok menarik, Jaz."
Ini kenapa sih orang-orang segitunya banget muji Richard? tanya Jaz dalam hati dengan heran.
"Apalagi gue bakal ke Florence buat lanjut syuting. Gue nggak tahu sikap Daniel bakal kayak gimana." Membayangkan Daniel yang masih belum dia beritahu bahwa jadwal keberangkatannya ke Florence dimajukan, Jaz yakin akan ada pertengkaran lain di antara mereka.
"Memang dia nggak tahu?"
"Dia tahu, sih. Cuma jadwalnya aja yang dimajuin. Itu yang belum gue kasih tahu ke dia."
"Mending kamu ngasih tahu dia sekarang, Jaz. Sebelum semuanya jadi makin runyam."
"Gue masih males berantem sama dia, Mina. Karena gue tahu banget, nggak ada outcome selain kami pasti adu argumen."
"That means you two love each other."
Itu adalah satu hal yang sangat ingin diyakini Jaz tentang hubungannya dengan Daniel. Dia tidak ingin merasakan keraguan tentang pria itu atau hubungan yang mereka jalani. Namun semakin berlalunya hari, ketetapan hati yang dicarinya tidak kunjung tiba.
"Tapi nggak ada juga cinta yang sempurna, kan? Every love has its cracks."
"Berarti kamu harus segera tambal celah-celah itu, Jaz. Kecuali kamu memang ingin semuanya pecah."
Untuk pertama kalinya, Jaz menemukan gambaran yang pas mengenai hubungannya dengan Daniel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top