43 - RICHARD
Hal pertama yang ingin dilakukan Richard begitu semua kru kembali ke Jakarta adalah makan malam bersama Beth. Namun dia tidak ingin pergi ke restoran dan menikmati makanan seperti biasa. Selain karena rasa rindu dengan apartemennya masih terlalu kuat, Richard ingin memindahkan waktu-waktu yang dihabiskannya bersama Beth di Bali ke Jakarta. Maka dia hanya menyiapkan satu botol white wine dan menunggu Beth datang. Adiknya sudah memberitahunya makanan apa yang ingin dinikmatinya nanti.
Ketika bel pintu terdengar, Richard yang hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek, langsung menuju pintu dan membukanya. Senyumnya melebar begitu mendapati Beth masih tampil dengan pakaian kerjanya.
"Lo tidur sini aja deh, Beth. Lo pasti capek banget," tawar Richard selepas dia mengecup kedua pipi adiknya.
"Aku nggak ada baju ganti, Richard, dan males juga harus ke apartemen pagi-pagi banget besok."
"Gue beliin baju baru kalau perlu."
Ucapan itu justru mendapatkan pandangan curiga dari Beth. "Nggak biasanya kamu baik begini, sampai nawarin beli baju baru. Is there something wrong?"
Richard hanya menjawab pertanyaan itu dengan gelengan. "Nggak ada maksud tersembunyi. Nggak boleh ya beliin adik sendiri baju?"
Jawaban itu jelas tidak memuaskan Beth karena detik berikutnya, perempuan tersebut menyilangkan lengan sementara tatapan curiga yang diberikannya kepada Richard masih belum berubah. "This is not you, Rick. Something must have happened."
Richard menanggapinya dengan sebuah tawa kecil. "Masuk dulu. Gue siapin makan malam request lo. Lo duduk manis aja. Gue juga udah beli wine favorit lo."
"Richard Ackles, nggak usah aneh-aneh. Ada apa sebenarnya?"
"I'll tell you everything. I promise."
Meski Richard bisa menangkap ragu dari ekspresi adiknya, dia akhirnya mendapati Beth mengangguk.
"Okay, fine!"
Sementara Beth melepas sepatu dan jas yang dipakainya, Richard melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam mereka. Beth ingin spaghetti aglio e oglio yang datang tidak lama sebelum adiknya sampai di apartemen. Sedangkan Richard memilih pan seared tuna fillet dengan brokoli, kembang kol, dan wortel yang ditumis sebentar dengan minyak zaitun.
"Perlu dibantu nggak?" tanya Beth sambil duduk di bar stool dengan segelas white wine.
Richard dengan cepat menggeleng. "Nggak usah. Lo duduk manis aja."
"Rick, aku nggak biasa ya lihat kamu seperti ini. Aku bahkan lupa terakhir kali kamu bersikap aneh begini."
"Makan dulu," balas Richard sembari menyodorkan piring berisi spaghetti ke hadapan Beth, mengabaikan kecurigaan Beth. Dia lantas meletakkan piring berisi makan malamnya di sebelah Beth sebelum berjalan mengitari meja bar dan duduk di sebelah adiknya. "Gimana hari lo?"
"Biasa aja. Nggak ada yang spesial. Aku harus ke Tokyo lusa, terus lanjut ke Hong Kong." Beth menggeleng sebelum menyuapkan satu porsi ke mulutnya. "Ada project besar di dua tempat itu yang perlu aku awasi karena catatan mereka nggak bagus sebelumnya. I have to make sure there won't be the same mistakes." Dia lantas bergumam pelan. "Ini enak banget!" pujinya.
"Gue tahu lo pasti suka."
"Dan nggak perlu juga mengalihkan pembicaraan ke hal lain" sahut Beth.
"Kayaknya kita perlu lebih sering ketemu, Beth," ujar Richard selepas dia menikmati brokoli dan wortelnya. "Sesibuk apa pun lo, gue nggak mau kita sampai bulan-bulanan nggak ketemu."
Kalimat itu membuat Beth menoleh. "Pasti ada sesuatu di Bali yang bikin kamu jadi seperti ini."
"Pas lo ke Bali, gue diingetin lagi waktu kita kecil dan gue sering bikin lo nangis, dan Mama terus ngomelin gue. Kita emang udah nggak kecil lagi, jarang berantem, dan sama-sama sibuk, tapi at the end of the day, kita tetap kakak-adik, dan nggak ada orang lain yang bisa gue percaya selain lo."
"Richard, please jangan bilang kamu sempet sakit di Bali, terus nggak kasih tahu aku, dan sekarang kamu sudah sampai di stadium akhir."
Tawa Richard membahana hingga dia harus minum air putih supaya tidak tersedak. Beth justru memandangnya kesal. Dengan sisa tawa yang masih terpasang, dia memandang Beth.
"Nggak, gue nggak sakit apa-apa. Gue sehat. Gue cuma nyadar, kita sempet jauh karena kerjaan, dan gue nggak mau kayak gitu lagi. Gue udah janji ke Mama buat jagain lo. Terus kalau lo jauh, gimana gue bisa jagain lo?"
"That is so sweet, Richard. And yes, I'd love to see you more often." Beth lantas mencondongkan badan untuk mengecup pipi kakak laki-lakinya sebelum membisikkan ucapan terima kasih. "Cuma aku yakin, alasan kamu ngajak aku makan malam kali ini pasti ada yang lain. Soal Jaz misalnya?" todong Beth.
"Gue nggak pernah bisa bohong sama lo dan Ruri." Richard menggeleng pelan menyadari dua perempuan paling dekat dalam hidupnya sama-sama punya insting yang kuat jika menyangkut dirinya, setidaknya tiap kali Richard berbohong.
"Aku malah mempertanyakan status adik-kakak kita kalau nggak bisa baca kamu." Menggeser duduk hingga Beth bisa menatap Richard dengan leluasa, dia meletakkan lengannya di meja bar. "Did something happen?"
Richard menggeleng. "Nggak ada kejadian apa-apa, tapi di sini yang berubah," balas Richard sembari menepuk pelan jantungnya. "Dan gue nggak tahu harus gimana."
"Aku rasa kamu sedang dalam masa transisi dari suka ke cinta, Rick."
"That's just impossible, isn't it?"
"Apanya yang nggak mungkin?" tanya Beth heran.
"Dia udah sama Daniel, jadi gue nggak ada hak buat suka sama Jaz, apalagi sampai jatuh cinta. Belum lagi kami punya sejarah yang gue yakin, nggak akan dilupain banyak orang. Kombinasi itu harusnya cukup bisa bikin gue nggak tertarik sama Jaz."
Rasa frustasi Richard memang tampak begitu jelas. Usahanya mencari alasan tentang perasaannya ke Jaz selalu menemui jalan buntu. Richard tahu dia harus dengan segera mendapatkan jawaban agar bisa menyingkirkan kebingungannya. Dia hanya ingin mencintai perempuan itu sebagai Claudia, dan dirinya sebagai Brian. Richard tidak perlu perasaannya keluar dari karakter yang mereka perankan.
"Rick, ada satu hal yang kamu lupa."
Kening Richard mengerut. "Menurut lo apa yang gue lupa?"
"Kamu bicara tentang sesuatu yang nggak berbentuk, yang bisa kamu ubah sesuai keinginan. We're talking about your heart. Sejak kapan hati kamu bisa diatur sesuai keinginan? Kecuali kamu ingin berpura-pura. Tapi ujung-ujungnya, kamu sendiri yang akan capek. Am I wrong?"
Richard hanya memberikan diam sebagai balasan.
"Aku mungkin nggak bisa sepenuhnya tahu bagaimana perasaan kamu, tetapi mari kita telaah satu per satu."
Mengamati adiknya yang terlihat serius mengatakan kalimat itu seolah dirinya adalah seorang klien, Richard hanya bisa menggeleng heran. Bedanya yang akan dijabarkan Beth adalah tentang perasaannya, bukan tentang angka.
"Alasan Jaz udah sama Daniel, itu sangat valid. Kamu nggak mau merusak hubungan mereka. Tapi aku percaya, kamu nggak akan melakukan sesuatu yang dengan sengaja bertujuan agar mereka putus. That's just not you. Tapi bukan berarti kamu dilarang untuk suka, apalagi cinta sama Jaz. Itu hak prerogatif kamu sebagai manusia. Kamu diizinkan untuk suka dengan orang yang nggak bisa teraih, Rick." Beth lantas mengecek ponselnya ketika terdengar bunyi notifikasi sebelum kembali memandang Richard. "Soal sejarah kalian, aku rasa itu nggak akan jadi masalah. Toh kalian sudah nggak pernah bahas itu lagi, kan? It's in the past. Kecuali kamu justru masih memikirkan reaksi banyak orang yang nggak kenal kamu misalkan kalian pacaran."
"Gue cuma mikir, kami mulai di fondasi yang salah. Selamanya, gue bakal liat Jaz sebagai cewek yang berani nampar gue di depan banyak orang dan hampir ngancurin hidup gue. Terlepas dari kami yang udah berdamai, gue nggak yakin bisa lupa dengan apa yang udah Jaz perbuat."
"Aku rasa, itu hanya alasan yang kamu buat." Beth mendorong pelan piring yang isinya sudah tandas sebelum menuang air putih yang disiapkan Richard ke dalam gelas. Dia menandaskan setengahnya. "Bukti bahwa kalian bisa dekat, dan kamu sampai suka ke Jaz, buatku itu berarti kamu sudah nggak lagi peduli dengan bagaimana cara kalian mulai berinteraksi. It was in the past, and you two have moved on. Aku rasa kamu takut kalau sampai bener-bener jatuh cinta dengan Jaz—bahkan mungkin sudah—dan frustasi karena kamu nggak bisa melakukan apa-apa. Makanya kamu berusaha buat menghindar dari perasaan itu dengan meyakinkan diri kamu dengan bermacam alasan. Tell me I am wrong."
Richard menyaksikan Beth menyesap wine meskipun tatapan adiknya tidak beranjak darinya. Sementara nafsu makannya sudah hilang hingga dia tidak mampu menghabiskan tuna yang biasanya bisa dia habiskan dengan cepat.
"Gue pengen ketemu lo karena pengen tahu pendapat lo soal Jaz."
"Kayaknya tugas kamu sekarang adalah menerima fakta bahwa kamu memang tertarik ke Jaz. Setelah itu, aku rasa kamu akan lebih nyaman untuk menyimpannya atau mengungkapkannya, tergantung situasi. To be honest, I didn't feel the vibe between Daniel and Jaz. Mungkin saat itu mereka sedang ada masalah, tapi aku nggak melihat dua orang yang tergila-gila. Dan aku bilang seperti ini bukan untuk membuat kamu semakin kepikiran."
Richard mengangguk paham. "I'll try. To deal with the fact that I'm attracted to Jaz. That's a good first step."
"Dan aku senang mendengarnya." Beth lantas mengangkat gelasnya, mengajak Richard bersulang. "Setelah ini kalian ke mana?"
"Buat beberapa hari ini, kami bakal syuting di Jakarta, terus minggu depan ke Florence, mungkin dua minggu. And then we're done."
"Pesenku, hati-hati dan jaga perasaan, Rick, terutama di Florence nanti."
Satu hal yang sangat ditakuti Richard sejak sadar perasaannya kepada Jaz berubah adalah ketika mereka harus berada di Florence nanti. Dia sangat tidak menunggu saat itu tiba. Richard tahu, dia harus berusaha lebih keras untuk menyembunyikan perasaannya.
"There's nothing to do but try, right?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top