42 - JAZMINE


Jaz mengembuskan napas lega begitu dia selesai mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana jin. Syuting hari ini berjalan sesuai dengan tebakannya, sangat menguras tenaga dan emosi. Ada saat-saat dirinya dilingkupi frustasi, tetapi Jaz berhasil meredam perasaan tersebut dan tidak membiarkan siapa pun melihatnya, terlebih Richard.

Sebuah ketukan mengagetkan Jaz hingga ponsel yang dipegangnya hampir jatuh ke lantai. Ketika pandangannya menuju sumber suara, dia mendapati Richard sudah berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket kulit dan kaus oblong putih, sementara tangannya menenteng helm.

"Lo mau bareng, nggak?"

"Lo mau ke mana?" tanya Jaz sambil menunjukkan kegugupan yang dengan sempurna dia tutupi.

Richard mengangkat pergelangan tangan untuk mengecek waktu sebelum kembali memandang Jaz. "Masih sore. Mau nongkrong dulu nggak?"

"Di mana?"

"Yang deket-deket sini aja. Gue lagi males ke tempat yang rame banget."

Jika Richard sudah memberikan jawaban seperti itu, bisa dipastikan tempat yang akan dituju akan jauh dari kata mewah. Meskipun ada sebagian dari hati kecilnya yang menjerit agar menolak tawaran tersebut, Jaz terlalu enggan menyusun alasan. Maka dia lantas mengangguk.

"Boleh deh, tapi jangan sampai malem banget, ya? Gue udah janji sama Daniel mau video call."

Sebuah kebohongan yang perlu diungkapkan Jaz sebagai pengingat bahwa apa pun perasaan lain yang menyusupinya tiap kali berdekatan dengan Richard, tidak boleh melebihi batas. Dia masih berstatus sebagai pacar Daniel dan Jaz tidak berniat mengubahnya menjadi mantan. Dia harus menganggap ini sebagai bagian dari pekerjaan, sebuah cara baginya mengenal Richard lebih jauh agar bisa memerankan Claudia dengan sempurna.

"Udah kangen aja lo kayak anak SMA. Baru juga ditinggal balik ke Jakarta."

"Jangan sampai tas ini gue lempar, ya?" balas Jaz.

Richard menanggapinya dengan tawa. "Ya udah, gue tunggu di depan, deh. Nggak usah kelamaan make-up-nya. Nggak ada cowok lain yang perlu lo impress juga."

"Richard!" seru Jaz kesal, tetapi pria yang tadi masih bersandar pada daun pintu sudah menghilang.

Menarik napas, Jaz kemudian memandang lagi bayangannya di cermin, memastikan sisa make-up Claudia tidak berlebihan. Setelah kembali memulas bibirnya tipis dengan lipstik, Jaz bersiap bangkit dari duduk, tapi dirinya tertegun.

Ada satu pertanyaan yang berkecamuk dalam benak Jaz, tetapi jawaban yang didapatnya justru ragu yang bergejolak dan menolak pergi. Dia tidak pernah berbohong mengenai Daniel kepada siapa pun, tetapi dia baru saja melakukannya. Demi Richard. Jaz menggeleng, meyakinkan dirinya bahwa kebohongan yang baru dilontarkannya bukanlah demi Richard, tapi demi melindungi hubungannya dengan Daniel.

Mendengus pelan, Jaz beranjak dari kursi dan dengan cepat mencangklong tasnya. Ketika keluar dari ruang ganti, masih ada beberapa kru yang sedang membereskan peralatan. Jaz menyapa mereka sembari berjalan keluar. Dia mendapati Richard duduk di motor menekuri ponselnya. Langkah Jaz terhenti seketika.

Detik itu juga, dia paham maksud Daniel.

Richard tidak perlu melakukan apa pun. Bahkan dengan diam seperti yang disaksikan Jaz sekarang, sulit menangkis pesona Richard. Jika Jaz berada di posisi Daniel, reaksi dan ketakutannya mungkin tidak akan jauh berbeda. Siapa pun yang punya otak waras, akan was-was jika kekasihnya harus bersama Richard Ackles.

"Lo nggak sampai jamuran kan nungguin gue?" sapa Jaz begitu dia yakin debar jantungnya tidak akan mengkhianati usahanya terlihat biasa saja di depan Richard.

Richard mendongak seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. "Jadi jamur juga gue pasti diburu banyak orang. Maklum, kalau udah ganteng dari sononya, tete—"

"Jangan sampai tas gue ini melayang ke muka narsis lo, ya?" potong Jaz berpura-pura menunjukkan kekesalannya. "Buruan, lo mau ngajak gue ke mana?"

"Batu Belig. Ada tempat oke yang nggak terlalu ramai dan nggak terlalu terang juga."

Tanpa ragu, Jaz berkacak pinggang, pandangannya lurus ke Richard. "Eh, lo pikir gue apa ngajak ke tempat remang-remang?"

Pertanyaan itu justru ditanggapi Richard dengan tawa. "Nggak remang-remang juga kali," terangnya. "Cuma tempatnya nggak pretensius." Richard lantas mengulurkan helm di tangannya. "Lo pasti suka."

Jaz menerima helm pemberian Richard dan mengenakannya. Lagi-lagi, dia tidak mau melingkarkan lengannya pada pinggang pria itu demi menghindarkan diri terjerumus ke dalam jurang pesona Richard. Dia tetap harus berhati-hati menjaga langkahnya supaya tidak mendekati bibir tebing.

"Udah siap?"

"Udah."

Dalam hitungan detik, mereka sudah meninggalkan lokasi syuting hari ini. Seperti biasa, Jaz tidak tahu ke mana Richard membawanya. Dia hanya percaya, pria itu tidak akan bertindak macam-macam.

Muncul sedikit perasaan takut ketika jalan yang mereka lewati tidak diterangi lampu, tapi kekhawatiran Jaz tidak berlangsung lama. Dia langsung dimanjakan suara ombak—sekalipun tidak bisa menyaksikannya karena gelap—dan semenit kemudian, Richard memarkir motornya di depan sebuah kafe yang letaknya di pinggir pantai. Begitu dia sudah membuka helm dan merapikan rambut, Richard menatapnya.

"Biasanya tempat ini rame kalau sunset. Tapi gue suka ke sini buat dinner karena jauh lebih tenang."

Jaz hanya mengangguk dan mengekor pria itu memasuki tempat bernuansa biru-putih tersebut. Dia sedikit terkejut mengetahui Richard mengenal beberapa staf di sana, yang langsung menyalaminya. Tidak ada perlakuan istimewa layaknya orang awam tiap kali bertemu selebriti. Staf-staf di sana pun bersikap biasa ketika Richard mengatakan dia membawa Jaz.

Richard tentu saja benar. Atmosfer di tempat itu langsung disukai Jaz karena selain musik yang diputar tidak membuat telinganya sakit, angin malam yang berembus sepoi menjadikan suasananya lebih rileks.

"Lo sering banget ke sini kalau sampai mereka kenal sama lo," ujar Jaz begitu mereka duduk di salah satu sudut kafe. Pandangannya beredar dan beberapa orang yang ada di sana memang terlihat sangat menikmati makan malam mereka.

"Satu hal yang gue suka dari Bali adalah gue nggak diperlakukan spesial cuma karena gue public figure. Orang-orang di sini cenderung nggak peduli lo siapa, makanya gue bisa bernapas tiap kali ke Bali." Richard mengangkat dua tangannya untuk mengutip kata bernapas. "Dan selama ini, nggak ada yang berubah. You're just a guest here, not a celebrity."

"Kalau boleh tahu, alasan lo apa buat tinggal di sini dulu? Gue nggak bisa bayangin cowok kayak lo bisa ninggalin Jakarta buat tinggal di sini."

Richard berdecak pelan. "Persepsi lo soal gue masih belum berubah, ya? Gue bukan cowok gila pesta seperti yang lo pikir. Gue jenuh aja sama Jakarta, dan jarak Jakarta-Bali juga nggak jauh. Seenggaknya di sini, gue deket sama pantai dan ya itu tadi, gue bisa bebas di sini dan orang nggak akan peduli gue siapa. Itu ngasih persepsi baru tentang status gue sebagai public figure."

"Gue nggak yakin bisa ngajak Daniel ke tempat kayak gini," celetuk Jaz tiba-tiba menyadari satu hal. Sudah terlambat baginya untuk menarik kalimat itu.

"Kenapa emangnya? Cowok lo borjuis banget? Ini tempat bukan tenda kaki lima yang kebersihannya dipertanyakan."

"Vibe-nya nggak Daniel banget." Jaz tahu, ucapan itu tidak menjawab keingintahuan Richard. "Tapi gue suka. Gue setuju sama pendapat lo, tempat ini nggak pretensius."

"Oh, jadi Daniel suka temmpat-tempat pretensius?"

Jaz mengangguk, tidak bisa menepis fakta tersebut. Tidak seharusnya dia menjelek-jelekkan kekasihnya di depan pria lain, apalagi pria itu adalah Richard, yang notabene menjadi sebab pertengkaran mereka. Namun Jaz hanya mengungkapkan kenyataan mengenai Daniel, bukan aib pria itu. "Makanya dia picky banget kalau soal tempat makan."

"Nggak kaget, sih. Pas ketemu Daniel, gue kayak ngeliat versi cowok dari Beth. Bedanya, Beth masih nggak nolak gue ajak ke tempat-tempat begini. Cuma standar adik gue itu emang tinggi banget. Gue kadang cuma bisa geleng-geleng."

"Kalian deket banget, ya?"

Richard memandang Jaz sebelum kembali menjadikan Samudra Hindia di hadapannya sebagai fokus. "Kami deket sejak kecil, jadi setelah Mama nggak ada dan Papa nggak mau kembali ke sini, gue sama Beth justru makin deket. I love her to the moon and back. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang bisa bikin gue rela berkorban apa aja. Untungnya juga dia sangat mandiri sejak dulu. Dan itu salah satu sifat Beth yang gua kagum banget." Richard menyunggingkan senyum tipis. "Cuma dia juga yang berani nanya, gue bakal cinlok sama lo apa nggak. Gue sih bilang nggak bakal. Se—"

"Gue sejelek itu, ya? Sialan banget lo!" tukas Jaz. "Gue juga ogah kali sama lo." Jaz tahu, itu adalah kebohongan lain yang harus diutarakannya. Richard hanya bercanda, dia tidak akan menanggapinya dengan serius.

"Ya lo udah jalan sama Daniel, gue anti ya ngerebut cewek orang. Lagian juga kita mulai di tempat yang salah. Gue nggak yakin bisa liat lo sebagai cewek lain. Di kepala gue, lo itu cewek pertama yang berani nampar gue di depan banyak orang. First impression matters, Jaz, and you gave me all the wrong ones."

Jaz harusnya tersinggung dengan kalimat Richard, tetapi dia menyetujui pendapat pria yang duduk di sampingnya, bahwa awal mula mereka sudah keliru. Namun ada sedikit sakit yang menyeruak di lubuk hati Jaz menyadari bahwa Richard tidak melihat kemungkinan mereka menjadi lebih dari sekadar rekan kerja.

"Gue juga bisa bilang, lo cowok terakhir yang bakal gue kencani di dunia ini. Dengan catatan udah nggak ada nih cowok lain yang hidup, tinggal lo doang."

Richard kembali berdecak. "Parah banget sih lo, Jaz."

"Siapa dulu yang mulai?" tandas Jaz cepat.

Ini bisa dibilang pertengkaran pertama kami nggak, sih? tanya Jaz dalam hati. Kalau iya, gue harus lebih hati-hati karena ini bisa punya potensi buat jadi lebih.

Percakapan mereka terputus oleh menu yang sebelumnya dipesan Richard. Semudah itu juga, obrolan mereka lantas berganti ke hal lain.

Namun Jaz tahu, dia akan memikirkan perkataan Richard sebelum nanti, dan dia juga yakin, hatinya yang sudah kacau, akan semakin carut-marut dioambang-ambing oleh ragu. 


***

Hello semua,

Sepertinya ini part terpanjang sejak saya rilis Revulsion, ya? Hampir 1500 kata. Saya nggak bisa padetin karena part ini lumayan punya peran buat Jaz dan Richard. 

Oh ya, saya juga mau ngabarin kalau awal 2023 nanti, akan ada cerita baru dari saya. Cerita ini adalah bagian dari Zodiac Series, sebuah event nulis bareng Karos Publisher. Saya kasih bocoran cover-nya, ya? Buat blurbnya, mungkin nanti deket-deket waktu publish.

Semoga suka juga dengan cerita baru ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top