4 - JAZMINE


“Jaz, what do you think?”

Jaz masih mengetukkan jari tangannya pada kemudi mobil seraya bersenandung pelan. Meskipun tahu maksud pertanyaan yang diajukan Anggi, dia masih ingin menunggu hingga Love Story milik Taylor Swift selesai diputar. Begitu nada terakhir terdengar, dia menoleh sesaat untuk memandang asistennya yang sedang menekuri ponsel, mungkin sedang mengatur jadwalnya. 

“Soal Claudia?” balas Jaz merujuk pada karakter utama Revulsion, film yang naskahnya diberikan oleh Anggi tiga hari lalu.

Anggi mengangguk. “Dia menarik, kan? Kayaknya menantang kalau kamu yang peranin.”

“Tapi Claudia juga peran yang besar. It can make or break my career.

“Dan peran yang nggak akan datang dua kali, Jaz,” sahut Anggi cepat.

Jaz tidak memiliki bantahan yang tepat untuk kebenaran yang diutarakan Anggi.

Saat datang ke rumah Anggi sepulangnya dari tempat Mina, Jaz disodori satu naskah tanpa kalimat pembuka. Baru setelah dia selesai membacanya sekilas, asistennya tersebut menjelaskan tentang Revulsion, setidaknya dari informasi yang bisa didapatkan Anggi. Jika Anggi adalah seorang sales woman, Jaz akan membeli barang apa pun yang ditawarkan perempuan tersebut. Sama halnya dengan peran Claudia. Anggi membeberkan pro dan kontra peran Claudia bagi karir Jaz. Jujur, Jaz lebih banyak melihat sisi positifnya. Jika berhasil mendapatkan peran sebut, Revulsion akan menjadi jalan pembuka yang sangat fantastis untuknya di dunia perfilman tanah air.

“Gue masih nggak yakin ini peran buat gue, Nggi. Nggak apalah gue jadi figuran di Revulsion. Peran pertama gue di film nggak harus langsung jadi pemeran utama.”

Anggi berdecak sekeras mungkin. Dia lantas sedikit memiringkan badan dengan ekspresi yang hanya bisa diartikan Jaz sebagai muka serius Anggi. “Jaz, itulah esensi jadi aktris yang sesungguhnya. Meranin karakter yang bukan kamu. Kalau semua aktor meranin karakter yang mirip dengan diri mereka sendiri, di mana tantangannya?”

Tatapan Jaz masih fokus pada jalan di depannya. Dia tidak perlu diingatkan tentang peran menantang yang selama ini hampir tidak pernah datang kepadanya. Awalnya, dia menganggap terjun ke dunia webseries akan lebih memuluskan jalan memasuki dunia film, tapi perkiraannya meleset. Setidaknya sampai sekarang. Bukan berarti tidak ada tawaran film yang datang kepadanya, tetapi naskah-naskah yang disodorkan Anggi, semuanya hanya menguatkan image-nya sebagai aktris yang kebagian pemeran pembantu yang bitchy. Jaz ingin lepas dari image itu. Hanya saja, dia ragu Claudia adalah peran yang dicarinya.

“Gue pasti nggak bakal pede misalkan saingan audisi gue nanti Dian Sastro. Udah pasti dia yang dapet.”

“Jaz, kalau produsernya ngincer Dian Sastro, udah dikasih ke dia dari kemaren-kemaren. Mereka nggak akan bikin audisi.”

Jaz mengangguk setuju. “You’re right.”

“Mereka kayaknya memang nyari aktor dan aktris yang bener-bener pas buat filmnya, bukan karena mereka udah punya nama. This is your chance, Jaz. Nggak ada salahnya nyoba, terlepas dari hasilnya nanti gimana.”

Mencengkeram setir dengan kuat, Jaz lantas mengangguk. “Oke, gue akan coba.”

“Yes!”

Seruan Anggi itu membuat Jaz mengeluarkan tawa kecil. Dia tidak tahu justru asistennya yang jauh lebih semangat dengan kesediaannya mengikuti audisi. Sekalipun bukan yang pertama, Jaz tetap gugup menghadapi audisi. Dia hanya perlu menjaga ekspektasinya supaya tidak terlalu kecewa jika nanti peran Claudia bukan menjadi miliknya. 

By the way, kabar Mina gimana? Udah makin deket lahiran, kan?”

“Masih berusaha jadi wanita mandiri dan kuat kayak biasanya,” jawab Jaz singkat. “Meski perutnya udah gede dan nggak ada cowok brengsek itu, Mina tetep nggak mau ngerepotin siapa pun, termasuk gue. Nggak peduli gimana gue ngebujuk dia supaya mau tinggal di rumah.”

“Ngomong-ngomong soal Rich—”

“Anggi!” sergah Jaz. “Udah berapa kali gue bilang supaya lo nggak nyebut nama dia di depan gue? Lupa?” 

Satu hal yang ditegaskan Jaz setelah pertemuan pertamanya dengan Richard Ackles kepada Anggi adalah melarang nama itu terdengar olehnya. Sesekali Anggi kelepasan, dan Jaz tidak segan mengingatkan Anggi tentang aturan yang disampaikannya dulu. Mendapati nama Richard disebut selalu mendidihkan darahnya dan mengacaukan suasana hatinya. Kebencian yang berusaha dia sisihkan kembali menguat.

“Aku mau ngomong sesuatu, tapi tolong jangan dipotong karena ini akan berkaitan sama dia.”

“Bahas apaan, sih? Dia itu udah off-limit, Anggi. Nggak ada berita tentang dia yang akan bikin pendapat gue berubah. Gue juga nggak tertarik denger apa pun soal dia. Dia tetaplah cowok brengsek, mesum, dan nggak tahu tanggung jawab. Ngabisin oksigen aja. Cowok kayak dia harusnya ada di balik jeruji besi!”

“Benci sama orang nggak boleh sampai segitunya, Jaz. Benci bisa jadi cinta, lho.”

“Najis! Kayak nggak ada cowok lain aja.” 

“Aku ngerti kenapa kamu nggak suka sama dia, karena alasan yang aku sangat paham alasannya. Cuma jangan sampai dia punya kekuatan buat ngatur emosi kamu. Tiap kali bahasan soal dia muncul, kamu pasti langsung kesel.”

“Ya iyalah gue kesel. Emangnya gue harus gimana? Terpesona gitu?”

Kali ini, giliran Anggi yang tidak mampu menahan tawa.

“Apanya yang lucu, sih?”

“Ekspresi kamu,” sahut Anggi cepat. “Anyway, aku tadi mau bilang, dia kan aktor, dan berita tentang Revulsion ini pasti sampai juga ke telinga dia. Misalnya dia ikut audisi, terus kalian sama-sama keterima, gimana? Kamu bakal tetep ambil atau nggak?”

Alis Jaz berkerut, tapi lantas dia ingat bahwa melakukannya hanya akan menimbulkan garis-garis halus yang lebih cepat, maka dia kemudian mengembuskan napas kesal. “Pertanyaan lo nggak penting banget sih, Nggi.”

“Justru aku ngerasa ini pertanyaan paling penting.”

Jaz memandang Anggi bingung. Dia menuntut asistennya tersebut menjelaskannya tanpa dia harus mengatakan satu kalimat pun. 

“Gini. Katakanlah Ri–dia tertarik dengan peran Brian, kemudian ikut audisi dan lolos, kamu bakal dihadapin sama dua pilihan: ngambil peran itu dengan kesabaran yang diuji karena kamu nggak suka sama dia, atau kamu tolak peran yang mungkin punya potensi untuk menaikkan karir kamu karena kamu merasa bersalah dengan Mina. Dua pilihan yang sama-sama sulit.”

Mulut Jaz sudah terbuka, berniat membalas penjelasan Anggi, tetapi dia mengurungkannya. Jujur, Jaz belum sempat mengisi pikirannya dengan hal selain audisi, apalagi membiarkan pria yang namanya sangat dia hindari membebani otaknya. Jaz tahu Anggi tidak akan mengemukakan pendapat tanpa alasan. Sedangkan apa yang baru disampaikan Anggi punya dasar yang sangat jelas. 

“Bukannya dia sekarang lebih fokus ke film laga dan action?”

“Lalu?” tanya Anggi dengan ekspresi bingung.

“Gue yakin dia nggak akan mau main film romcom begini. It’s not his expertise,” ujar Jaz dengan harapan keyakinannya benar.

“Jaz, lupa dengan apa yang belum setengah jam lalu aku bilang kalau esensi aktor itu justru nyari peran yang berbeda dengan diri mereka sendiri?”

Jawaban yang diberikan Jaz hanyalah gumaman pelan, sadar dia telah salah mengambil langkah.

“Aku bisa cari tahu apakah Ri—dia tertarik atau nggak buat main di Revulsion. Nanti aku kabari begitu dapet info.”

“Cari aja infonya, terus sampein ke gue. Gue seratus persen yakin, audisi gue bakal sukses besar kalau tahu cowok yang paling gue benci tertarik buat jadi bagian dari film yang gue juga incer. Do that, Anggi. Do that quickly!

Anggi hanya menggeleng lemah, menyadari tanggapan Jaz sepenuhnya merupakan sarkasme. 

“Aku kasih tahu casting director-nya sekarang kalau kamu mau ikut audisi, biar segera dapet jadwal yang pas.”

“Thanks, Nggi.”

Jaz pun kembali bersenandung kecil saat detak jantung Taylor Swift terdengar untuk membuka Wildest Dreams. Untuk beberapa jam ke depan, Jaz tidak mau terlalu pusing mengisi pikirannya dengan audisi yang belum tentu waktunya. Memenuhinya dengan berbagai kemungkinan hanya akan membuatnya gugup, sedangkan itu adalah hal yang berada di urutan paling bawah jika dia ingin audisinya sukses.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top