36 - JAZMINE
Jaz bersiap untuk kembali ke hotel ketika suara yang beberapa hari belakangan mengisi sebagian besar waktunya, menyebut namanya. Mencangklong tas, dia menoleh dan mendapati Richard sudah berjalan ke arahnya. Pria itu tampak begitu santai hanya dengan mengenakan celana jin biru muda, kaus polos putih, dan juga topi kep. Mereka memang selesai syuting lebih awal, dan matahari masih belum terbenam. Jaz berniat pergi ke salah satu kafe yang ada di pinggir pantai untuk bersantai.
"Kenapa, Richard?"
"Gue bisa ngomong sama lo bentar, nggak?" balasnya sembari menoleh ke sekeliling yang masih dipenuhi kru. "Tapi nggak di sini. Berisik!" Richard mengucapkan kata terakhir itu dengan cukup pelan.
"Lo mau ngomong apa, sih? Kayak kita agen rahasia aja."
"Lo emangnya ada rencana ke mana?"
Pertanyaan tersebut sedikit mengejutkan Jaz karena selama mereka ada di Bali, interaksinya dengan Richard tidak pernah bergeser dari Claudia dan Brian. Mereka tidak pernah sekali pun menyinggung tentang Mina, atau hal yang bersifat pribadi lainnya.
"Gue sih pengennya ke Canggu. Pengen liat sunset, mumpung masih ada waktu."
"Gue tahu tempat yang lebih oke dan nggak overrated kayak Canggu."
"Ke mana emangnya?"
"Lo pernah diboncengin naik motor, kan?"
"Ya pernahlah. Tapi lo bawa helm nggak?"
"Selalu sedia gue kalau helm, in case ada yang pengen bonceng tiba-tiba."
"Gue jadi penasaran, emang sepenting apa sih?"
Richard berdecak. "Udah, ngikut aja." Dia sudah membalikkan badan, tetapi langkahnya berhenti. Dia menoleh saat menyadari sesuatu. "Eh, tapi cowok lo bakal cemburu nggak? Gue nggak mau muka gue jadi babak belur karena ngajak lo jalan."
"Emangnya kami masih anak SMA yang cemburuan cuma karena pacarnya diajak jalan sama cowok lain?"
"Ya gue kan nggak kenal cowok lo."
"Ntar kalau dia ke sini gue kenalin. Udahlah, jadi pergi apa nggak? Sebelum gue berubah pikiran."
Meski dengan jelas menyaksikan Richard tidak yakin cukup yakin dengan penjelasannya, pria itu kemudian mengangguk sebelum kembali berjalan dan Jaz lantas mengikutinya.
Jaz jelas tidak menyangka dinamika hubungannya dengan Richard bisa berubah drastis seperti ini. Namun jika boleh jujur, dia lebih senang mereka berbaikan seperti ini dibanding ketika dirinya masih dipenuhi oleh prasangka dan dugaan mengenai Richard.
Di luar dugaannya, Richard juga sangat profesional sebagai aktor. Ketika mereka syuting, pria itu hanya fokus pada adegan yang akan mereka perankan dan memberikan seluruh kemampuannya. Namun begitu Raya meneriakkan cut, sikap pria itu langsung berubah. Memiliki pria itu sebagai lawan main ternyata juga membantu akting Jaz karena dia tentu harus mengimbanginya. Jaz bisa merasakan dia harus menaikkan standar jika kamera tidak ingin menangkap ketidakseimbangan dalam interaksi mereka sebagai Claudia dan Brian.
Duduk di bagian belakang motor sementara Jaz menahan diri untuk tidak melingkarkan lengannya pada pinggang Richard ternyata sungguh berat. Namun dia tidak ingin terlena dengan aroma lemon dan pinus yang sekarang Jaz asosiasikan dengan Richard. Selain itu, Jaz tidak akan punya jawaban jika pria itu bertanya alasan jantungnya berdegup dengan kencang. Lebih baik Jaz berpegangan pada hal lain yang lebih aman.
Jaz sungguh tidak tahu ke mana Richard membawanya, tetapi dia tidak berani bertanya karena tidak mau mengganggu konsentrasi pria itu membawa motor. Namun tidak lama kemudian, motor yang ditumpanginya memelan sebelum akhirnya berhenti. Mereka berdua turun dari motor di saat yang hampir bersamaan.
"Kita di mana?"
"Seseh," balas Richard pelan. "Gue lebih suka ke sini daripada Canggu yang udah penuh sama orang."
Sebagai orang yang tidak banyak tahu tentang Bali, Jaz hanya bisa mengangguk sebelum mengikuti Richard. Dia melihat ada satu tempat yang cukup besar dengan bean bag yang tersebar beserta paying yang menaunginya. Sesekali Jaz memperhatikan gerak-gerik Richard yang tampak begitu percaya diri sebelum dia mengambil satu tempat dan segera duduk. Jaz melakukan hal yang sama.
Ketika seorang pramusaji menghampiri mereka, Richard memesan jus semangka tanpa gula sedangkan Jaz memesan jus jeruk dengan sedikit gula. Begitu pramusaji tersebut berlalu, Jaz memandang Samudra Hindia yang terhampar begitu luas di hadapannya sementara matahari mulai merendah. Dia menikmati angin yang bertiup sepoi dan selama beberapa menit, mereka diam tanpa mengungkapkan satu patah kata pun.
"Gue ngajak lo karena pengen ngucapin makasih."
Mendengar itu, Jaz menoleh dan menatap Richard bingung. "Makasih buat apa? Perasaan gue nggak ngelakuin apa-apa."
"Karena udah bikin donasi atas nama gue ke You'll Get Better." Richard kali ini melepas kacamata hitamnya dan mengaitkannya di belahan kaus. "Gue tahu itu dari lo. I really appreciate it."
Ada bagian dari diri Jaz yang ingin mengelak atas ucapan Richard, tetapi dia memutuskan untuk mengakuinya.
"Gue harap itu bisa ngurangin rasa bersalah gue, meskipun nggak banyak." Jaz mengalihkan pandangannya ke bintang besar yang perlahan mulai ditelan cakrawala.
"Rasa bersalah soal apa kalau gue boleh tahu?"
Jaz mengeluarkan tawa kecil, hampir tidak percaya Richard mengajukan pertanyaan yang jawabannya sudah sangat jelas. Namun kemudian, dia menarik napas sebelum menjawab.
"Karena gue ngerasa bersalah udah bahayain karir lo dengan tuduhan gue. Beruntungnya karir lo masih selamat, tapi bukan berarti gue terus lega gitu aja." Ketika menoleh, dia mendapati Richard memandangnya lekat. "Selain permintaan maaf terbuka itu, gue ngerasa perlu ngelakuin hal lain dan donasi ke You'll Get Better atas nama lo itu adalah yang pertama terlintas di otak gue. Gue tahu betapa penting organisasi itu buat lo."
"Mama gue meninggal karena kanker ovarium, dan itu adalah salah satu organisasi yang didukung Mama selama masih ada. I want to continue her legacy."
Mendengar itu, Jaz menunjukkan simpatinya. "I'm so sorry to hear that."
"Makanya donasi lo berarti banget buat gue. Siap-siap aja lo dapet buket bunga dari Beth." Richard tersenyum tipis. "Dia adik gue dan selama ini, dia selalu kirim bunga sebagai ucapan terima kasih kalau ada orang yang gue kenal donasi ke You'll Get Better."
Jaz hanya ber-oooh tepat ketika pramusaji mengantarkan pesanan mereka. Setelah mengucapkan terima kasih dan mengatakan belum ada menu lain yang ingin mereka pesan, pramusaji tersebut meninggalkan keduanya.
"Lo deket sama adik lo?"
"Sejak Mama nggak ada dan Papa nggak mau balik ke Indonesia, kami jadi lebih deket. Cuma di usia kami sekarang, Beth dan gue sama-sama sibuk, jadi waktu buat ketemu nggak begitu sering. But we're close, as close as siblings can be." Richard menyeruput jus semangkanya. "Lo sendiri gimana?"
"Gue nggak punya sodara alias anak tunggal, jadi gue nggak tahu harus jawab apa."
"Gue beneran nggak nyangka kita bisa jadi kayak begini."
Jaz menangkap gelengan pelan Richard dari ujung matanya tepat ketika matahari benar-benar sudah tenggelam. Dia cukup lega menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang dihinggapi perasaan heran tentan dinamika hubungan mereka.
"Ya siapa yang nyangka sih, Richard? Mengingat kita sama-sama antipasti satu sama lain."
"Misalkan hasil tes DNA itu positif, sikap lo bakal tetep kayak gini, nggak?"
Pertanyaan tersebut sempat menghampiri Jaz, tetapi dia enggan memikirkan kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi. Namun dia tidak bisa menghindari pertanyaan Richard kali ini.
"Jawaban gue tergantung sikap yang bakal lo ambil. Lo bakal nikahin Mina dan tanggung jawab, nggak. Kalau iya, sikap gue ke lo pasti berubah, tapi gue bakal perlu waktu. Kalau—"
"Gue pasti tanggung jawab. I'm not an irresponsible man," potong Richard. "Beth bakal cincang gue, dan gue nggak yakin, bakal bisa hidup tenang misalkan gue lari dari tanggung jawab atas perbuatan gue. Gue nggak gede dengan konsep kayak gitu." Richard kembali menyeruput jus semangkanya. "Karir gue mungkin bakal berubah, tapi buat gue, itu adalah konsekuensi dari perbuatan gue yang sembrono. Jadi nggak ada yang bisa disalahin kecuali gue sendiri."
Ada banyak yang ingin diucapkan Jaz, tetapi dia mengurungkannya.
Mengetahui sisi Richard yang seperti ini, dia menemukan kesamaan antara pria yang sedang duduk di sampingnya dengan Daniel. Bukan hanya karena keduanya punya darah campuran, tetapi karena mereka dibesarkan dengan nilai-nilai yang mirip. Hal itu cukup membuat Jaz memahami Richard tanpa harus mendengar banyak cerita dari pria itu.
"Lo beneran beda dari persepsi gue selama ini," ujar Jaz.
Tawa kecil Richard terdengar. "Masih banyak tentang gue yang nggak lo tahu, Jaz. Banyak banget."
Menanggapi kalimat itu, Jaz hanya mengangguk. Senyum tipisnya tersungging karena teringat Daniel pernah mengutarakan kalimat serupa ketika mereka pertama kali berciuman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top