34 - GETTING TO KNOW EACH OTHER


"Richard, maybe lo bisa agak lebih bergairah ngomong cinta sama Jaz. Yang gue tangkep, lo masih nahan diri dan nggak yakin. Brian is 100% in love with Claudia. Inget kalau yang bilang kalimat itu bukan lo, tapi Brian." Raya yang menjadi sutradara Revulsion kemudian mengalihkan pandangannya ke Jaz. "Dan Jaz, gue lihat reaksi lo juga masih belum natural. Lo pernah ditembak cowok, kan? Nggak mungkin reaksi lo lempeng begitu. Claudia udah mendem perasaan lama sama Brian, harusnya lo excited, dong! Excitement lo itu yang belum keliatan dan kesannya dibuat-buat."

Menelan ludah, Richard hanya bisa mengangguk mendapatkan arahan dari Raya. Ini ketiga kalinya mereka rehearsaldan dia merasakan kesulitan yang biasanya tidak dialami dengan film-film aksi. Usahanya selama ini ternyata belum cukup. Dengan rajin, dia mencatat semua yang dikatakan Raya tentang Brian di naskahnya supaya tidak lupa.

Berdeham pelan, dia kembali pada posisinya sementara Jaz masih berusaha membetulkan ikat rambut. Berulang kali, Richard mengingatkan diri bahwa dia adalah Brian, dan Jaz adalah Claudia, bukan Richard Ackles dan Jazmine Anjani.

"Lo siap?" tanya Richard pelan, memastikan hanya Jaz yang mendengarnya.

Jaz mengangguk sebelum dia berdiri di hadapan Richard sementara otaknya berusaha menyingkirkan catatan yang diberikan Raya mengenai Claudia. Baginya, lebih penting mengingat emosi yang ingin disampaikan Claudia dibanding menghafal dialog dengan tepat.

"Claudia, aku rasa kamu sudah tahu perasaanku seperti apa. Do I still need to say it?" Richard menambahkan sedikit kerutan di kening, berusaha meyakinkan Claudia bahwa Brian tidak perlu mengungkapkan sesuatu yang sama-sama sudah diketahui mereka berdua. Dia menyuntikkan keyakinan dalam intonasinya tanpa terdengar terlalu tegas dan kasar.

"Aku nggak mau berspekulasi, Brian. So yes, I need you to say it." Jaz mengucapkan kalimat kedua dibarengi anggukan kecil, tidak terlalu terlihat, tapi cukup untuk memberitahu Brian bahwa Claudia memerlukan kepastian.

Jantung Jaz—bukan Claudia—berdegup dengan cepat ketika tubuh Richard mendekat dan telapak tangan pria itu menyentuh pipinya. Tatapan yang diberikan Richard pun semakin intens hingga Jaz sedikit salah tingkah. Namun dia menepis perasaan itu dan berusaha meniupkan roh Claudia hingga yang dilihatnya sekarang adalah Brian, bukan Richard Ackles.

"A kiss is better than words."

Richard dengan lembut mengelus pipi Jaz dengan ibu jari sementara wajahnya mendekat. Ketika bibirnya menyentuh bibir Jaz, dia berusaha menahan diri agar tidak terbawa situasi. Meskipun banyak orang yang menyaksikan mereka melatih adegan ini, Richard merasa moment ini cukup spesial bagi Brian dan Jaz.

"Bravo! Itu yang gue maksud!"

Dengan segera, Richard menjauhkan tubuhnya dari Jaz dan berusaha agar kecanggungannya tidak begitu terlihat. Beruntung Raya menginterupsi adegan mereka di saat yang tepat. Telat satu detik, Richard tidak yakin bisa menahan diri untuk tidak mencium Jaz dengan sepenuh hati. Sebagai Brian, bukan sebagai Richard. Namun tidak peduli sebagai siapa, tubuhnya jelas bereaksi dengan hebat saat bersentuhan dengan tubuh Jaz.

"Nah gitu dong, Richard!" Raya menepuk pundak Richard seraya menyerukan mereka akan istirahat lima belas menit.

Mendengar itu, Richard bergegas keluar dari ruangan dan menghampiri meja untuk menenangkan diri. Menuang kopi ke dalam paper cup, dia langsung menuju ke salah satu sudut untuk duduk, berharap tidak ada orang lain yang akan menghampirinya.

Rehearsal tadi adalah yang paling intens secara emosi sejak mereka mulai latihan sebelum syuting berlangsung. Richard memang mengantisipasi hari ini akan sangat menantang, tetapi dia jelas tidak menduga akan sehebat itu efek baginya. Sembari memejamkan mata, dia menghidu aroma kopi untuk merilekskan pikiran sebelum dia harus kembali menjadi Brian.

"Boleh gue duduk di sini?"

Jaz sebenarnya enggan mendekati Richard yang tampak sedang ingin sendiri, tetapi dia berjanji untuk mengenal pria itu lebih jauh, bukan demi kepentingan pribadi, tetapi supaya ketika syuting nanti berlangsung, tidak ada kecanggungan di antara mereka. Secara tidak langsung, hal itu akan mengeliminasi kegugupan ketika mereka harus melakukan adegan romantis seperti tadi.

Ciuman singkat mereka tadi meninggalkan jejak yang sulit dihapus Jaz. Berulang kali dia mengingatkan diri bahwa Richard menciumnya sebagai Brian dan dirinya sebagai Claudia. Tidak ada yang personal dalam ciuman itu. Mereka adalah aktor yang sedang berakting. Namun Jaz mengenal dengan baik setiap reaksi dalam tubuhnya, dan yang dirasakannya tadi adalah sesuatu yang baru.

Richard menanggapi pertanyaan Jaz dengan anggukan sebelum dia menyeruput kopinya.

"Lo nggak ambil jajan?" tanya Jaz begitu dia sudah duduk di samping Richard dan meluruskan kaki. Dia meletakkan satu buah pisang serta botol minumnya di sebelah kiri tubuhnya.

Richard menggeleng. "Gue nggak biasa makan selama rehearsal belum selesai."

"Lo bukan jenis method actor, kan?" Pertanyaan tersebut diajukan Jaz karena dia bisa beranjak dari sisi Richard jika memang pria di sebelahnya adalah jenis aktor seperti itu.

"Gue rasa, nggak akan ada yang percaya juga misalkan gue bilang gue adalah method actor."

"Kenapa emangnya?"

Dengan malas, Richard mengedikkan bahu. "Nggak bermaksud narsis, tapi orang kebanyakan liat gue karena fisik, bukan karena kemampuan akting gue. Nggak peduli peran gue apa, mereka bakal tetep bikin gue keliatan menarik."

Jika kalimat itu diucapkan Richard satu bulan lalu, dengan cepat Jaz akan membalasnya dengan maksud menyinggung ego pria itu. Namun kali ini, ketika masalah yang ada di antara mereka sudah tidak lagi menghalang, Jaz berusaha memahami kalimat Richard.

"Banyak kok aktor yang fisiknya oke jadi method actor. Christian Bale, Leonardo di Caprio, Joaquin Phoenix ... just to name a few."

Tawa kecil Richard terdengar sebelum dia menoleh dan memandang Jaz yang sedang mengupas pisangnya. "Lo yakin gue nggak lebih ganteng dari mereka? Mereka kan udah tu—Aduh!" Richard mengelus lengannya yang dipukul Jaz. "What's that for?"

"Lo itu emang nyebelin, ya? Pantes banget gue anti sama lo." Jaz menggeleng heran dibarengi dengan senyum yang tersungging di wajahnya. Dia langsung mengunyah pisangnya supaya tidak mengatakan sesuatu yang mungkin akan menghancurkan dinamika hubungan yang baru mereka bangun.

"Lo sendiri? Termasuk method actress, nggak?" tanya Richard balik.

Dengan cepat, Jaz menggeleng. "Selama ini, gue belum pernah dapet peran di mana gue harus mati-matian riset atau ngubah aksen kayak Meryl Streep. Tapi sebagai aktris, tentu gue pengen dapet peran yang menantang. Claudia ini buat gue cukup challenging meski filmnya masih masuk genre gue banget."

"Ini film pertama lo, kan?"

Jaz mengangguk setelah dia menelan pisangnya. "Nasib gue ya, film pertama main sama lo, pake ada kasus segala."

"Justru gue yakin malah bikin film ini makin berkesan buat lo." Richard menandaskan kopinya yang sudah hangat. Ada satu pertanyaan yang sangat ingin diajukannya, tetapi dia tidak yakin ini adalah saat yang tepat. "How is Mina doing?" Namun dia akhirnya tidak lagi bisa menahan diri.

Pertanyaan itu jelas tidak diduga oleh Jaz, terlebih mereka belum sekali pun menyinggung tentang Mina sejak mulai memutuskan untuk move on dari kesalahpahaman yang ada. Namun Jaz menganggap keingintahuan Richard sebagai pertanda baik bahwa pria itu memang benar-benar peduli dengan kondisi Mina.

"Dia baik-baik aja, sehat. Brandon juga sehat, kalau lo pengen tahu."

"Is that the baby's name?"

Jaz mengangguk. "Gue rasa Mina bakal baik-baik aja ke depannya, tapi kalau lo punya informasi kira-kira siapa cowok brengsek yang nggak bertanggung jawab, kasih tahu gue." Kemarahannya belum reda setiap kali ingat ada pria di luar sana yang melepas tanggung jawab dengan mudah. "Mina sendiri nggak mau nyari siapa cowok itu, tapi gue nggak bisa."

"Lo protektif banget sama Mina." Richard mengatakannya bukan sebagai pertanyaan, tetapi sebuah kebenaran yang sulit dibantah Jaz. "Dan kalau gue tahu, pasti gue jadi orang pertama yang mukulin dia."

"See? We can be a team outside of this film."

"Don't push your luck, lady," balas Richard tanpa bermaksud serius. "Gue mau ngucapin terima kasih karena lo berani bilang minta maaf ke publik. Gue tahu konsekuensinya gede buat karir lo. I appreciate that so much."

Pandangan mereka saling bertemu dan sekeras apa pun harapan Jaz untuk melihat kebohongan dalam kalimat Richard, dia tidak menemukannya. Dia justru mendapatkan ketulusan yang selama ini tidak pernah diperhatikannya dari pria di sampingnya itu. Bagi Jaz, ucapan Richard menasbihkan mereka memang menjajaki sebuah area baru.

"Gue yang harusnya bilang terima kasih karena lo nggak bawa gue sampai ke ranah hukum. Dan udah seharusnya gue ngelakuin itu."

"So we're even?"

Dengan senyum lebar, Jaz mengangguk. "We're even."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top