33 - THE AWKWARDNESS


Hari-hari setelah dirinya mengunggah video sebagai balasan atas permintaan maaf Jazmine bisa terbilang di luar perkiraannya. Sekalipun masih ada beberapa media yang berusaha meminta penjelasannya secara langsung, tetapi Richard mengabaikannya. Dia benar-benar tidak ingin menyeret masalah ini berlarut-larut.

Kesibukannya yang berkaitan dengan Revulsion mulai menyita waktu dan tenaganya. Dengan sengaja Richard belajar akting lagi dan memastikan penampilannya sudah sesuai dengan karakter Brian. Dia menurunkan berat badannya agar tidak terlihat begitu berotot serta mengubah model rambutnya agar berbeda dengan film terakhir yang dibintanginya. Komunikasinya dengan Priya menjadi cukup intens karena Richard selalu punya banyak pertanyaan mengenai Brian, memastikan maksud yang ingin disampaikan Priya tersampaikan.

Jadwalnya hari ini adalah fitting sekaligus rehearsal, yang berarti dia akan bertemu Jaz untuk pertama kalinya setelah permintaan maaf Jaz dan balasan Richard menjadi konsumsi publik. Dia sempat kaget mengetahui bahwa pihak Revulsion tidak akan mengganti Jaz dengan aktris lain. Namun dia kemudian sadar bahwa berita yang cukup heboh tentang keduanya tentu bisa jadi alat marketing yang ampuh.

Richard sengaja datang lebih awal dibanding waktu yang diminta karena dia ingin punya waktu untuk berlatih sebelum harus mencoba adegan yang ada di naskah bersama Jaz. Dia berusaha keras menutupi kegugupan karena biasanya dia lebih sering berlatih secara fisik untuk film laga, sementara di sini, dia harus menggali emosinya.

"What do you think, Richard? Sepertinya ini jauh lebih cocok buat adegan Brian pas ketemu Claudia di Florence nggak sih? Daripada yang ijo muda tadi?"

Richard memandang bayangannya di cermin, mengenakan kemeja polo berwarna krem sembari membayangkan adegan pertemuan pertama Brian dan Claudia setelah mereka sadar akan perasaan masing-masing. Ketika membacanya, Richard kesulitan menerjemahkan perasaan Brian tanpa terlihat berlebihan. Dia pun masih mencari bahasa tubuh dan ekspresi yang pas hingga detik ini.

Dia mengangguk, menjawab pertanyaan Citra, costume supervisor yang sejak tadi meminta pendapatnya. Yang dilakukan Citra bukanlah hal biasa mengingat biasanya aktor/aktris hanya tinggal melakukan fitting karena semua pakaian sudah disiapkan oleh costume designer. Namun Richard menyambut dengan tangan terbuka diskusi yang dilakukan Citra, sekalipun hanya untuk hal kecil.

"Rasanya memang ini jauh lebih pas."

"Karena Brian di Florence kan buat traveling, jadi rasanya kemeja terlalu formal meski warnanya oke."

"Setuju."

Dengan cepat, Richard membuka kemeja polo yang dipakainya untuk mencoba pakaian lain yang sudah disiapkan wardrobe department. Latar belakang Richard sebagai model membuatnya tidak segan menanggalkan baju di hadapan banyak orang karena memang itu adalah bagian dari pekerjaannya dulu. Sudah lama dia menyingkirkan perasaan tidak nyaman menjadi pusat perhatian banyak orang.

"Okay, next ini yang disiapin buat acara makan malam Brian dengan Claudia."

Langkah Jaz terhenti ketika menyaksikan Richard yang sedang memamerkan bagian atas tubuhnya seolah ingin menunjukkan kepada semua orang yang ada di ruangan itu, betapa sempurna fisiknya. Pandangannya tidak beralih dari dada bidang Richard sementara ada getar aneh yang menjalarinya menyaksikan lawan mainnya—dan pria yang sempat dibencinya setengah mati—seperti ini. Jaz mengingatkan diri bahwa akan ada beberapa adegan dalam Revulsion yang mengharuskannya bersentuhan fisik dengan Richard.

Dengan cepat, dia menggeleng, dan menyingkirkan berbagai kemungkinan mengerikan yang bisa terjadi jika membiarkan dirinya terhanyut dalam pesona Richard.

Jazmine, lo pikirin Daniel, lo udah sama Daniel dan inget, dia jauh lebih ganteng daripada Richard, gentleman pula, ucap Jaz dalam hati.

"Jaz!"

Teriakan itu menggugah Jaz dari lamunan dan di saat bersamaan, pandangannya dan Richard saling bertabrakan. Ada kecanggungan yang teramat kuat mengalir di antara mereka dan keduanya pun tetap bergeming di tempat masing-masing. Jika bukan karena Citra yang memanggilnya, Jaz mungkin lebih memilih untuk balik badan dan keluar dari ruangan.

Memperlambat langkah, Jaz berjalan menghampiri Citra dan Richard yang dengan segera mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu tua dan mengaitkan kancingnya. Untuk itu, Jaz merasa sangat beruntung sekalipun kemudian pandangan pria itu beralih ke cermin yang ada di depannya.

Dalam hitungan detik, Citra sudah menarik satu maxi dress selutut berwarna merah dengan motif polkadot dan menyerahkannya ke Jaz. "Cobain itu dulu sementara aku ngurusin Richard. Kita masih punya waktu lama sebelum kalian rehearsal."

"Thanks, Citra."

Jaz dengan sigap segera menjauh dari Citra dan Richard agar bisa segera menteralkan degup jantungnya. Dia bersyukur diberi waktu lebih sebelum harus benar-benar berhadapan dengan Richard Ackles.

"I think this one's perfect," ujar Citra sembari merapikan lengan dan kerah kemeja yang dikenakan Richard.

"Citra, rasanya gue mau bawa semua baju ini pulang. These clothes are great!"

"Makasih lho pujiannya. Nggak setiap saat aku dipuji."

Mendengar itu, Richard hanya tergelak. "Gue udah bisa pergi, kan?"

Citra mengangguk. "Udah! Sekarang giliran Jaz."

Tanpa diminta, Richard langsung melepaskan kemeja yang melekat di tubuhnya dan menerima uluran kaus polos abu-abu yang dipakainya ke rehearsal. Setelah memakainya, matanya terpaku pada Jaz yang baru saja berganti pakaian.

Richard tidak berniat memandang Jaz, tetapi warna merah yang senada dengan warna lipstik yang dipakai perempuan itu, memunculkan kesan anggun yang selama ini tidak bisa Richard sematkan untuk Jaz. Apalagi dengan belahan dress yang cukup dalam, pikirannya langsung mengembara ke beberapa adegan romantis yang harus mereka jalani nanti.

Sekuat tenaga, Richard memejamkan mata untuk mengusir bayangan tidak pantas tersebut sebelum dia berdeham pelan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Citra, dia berjalan meninggalkan mereka berdua untuk menunggu di luar sembari berlatih. Dia tidak ingin terlihat mengamati Jaz dengan tatapan tidak senonoh.

Duduk di kursi yang tersebar di lorong, Richard membuka kembali naskah yang sudah penuh dengan catatan-catatan kecil sembari bergumam pelan. Sesekali dia memejamkan mata sembari berusaha menemukan intonasi, bahasa tubuh, dan ekspresi yang sesuai dengan adegan dan dialog yang dibacanya.

Dia sampai tidak sadar Jaz sudah berdiri di depannya, mengulurkan paper cup dengan aroma kopi yang dengan pekat menguar melalui kepulannya.

"Gue liat lo belum pegang kopi."

Jaz mengulum senyum menyaksikan Richard yang tampak terperanjat hingga hampir terjatuh dari kursi yang didudukinya. Namun keseimbangan pria itu terlihat cukup baik karena sedetik kemudian, dia sudah dalam posisi tegak. Matanya menatap Jaz dengan lekat, seolah ingin bertanya alasan Jaz berada di depannya tanpa harus mengucapkan satu patah kata.

"Nggak pake gula. Gue tanya sama yang jaga coffee break katanya lo nggak pernah pake gula."

Pernyataan itu ditanggapi Richard dengan anggukan sebelum dia menerima kopi dari tangan Jaz. "Thanks."

"We're good, right?" Jaz menahan diri untuk tidak menambahkan tuduhan bahwa video balasan Richard atas permintaan maaf terbukanya hanyalah sebagai publicity stunt. Dia sudah berjanji tidak akan memulai pertengkaran dengan pria yang sudah cukup mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan darinya.

Konsentrasi Richard jelas sudah terpecah dan mustahil baginya untuk bisa kembali masuk ke karakter Brian. Aroma kopi yang begitu kuat seperti menyadarkannya bahwa perempuan di depannya ini sudah mempertaruhkan karirnya untuk meminta maaf. Richard menarik napas dalam sebelum mengangkat wajah untuk memandang Jaz.

"Look, seperti gue bilang, masalah di antara kita udah selesai. Gue mau setelah ini, kita fokus ke Revulsion dan peran masing-masing. Gue sebagai Brian, dan lo sebagai Claudia." Richard diam sejenak, memikirkan kalimat selanjutnya. "Rasanya nggak ada gunanya kita terus ngebahas soal ini. Things happened, you apologized, and we can move on."

Richard mengerutkan kening mendapati Jaz mengulurkan tangan. Perlu sedetik baginya menyadari bahwa Jaz ingin benar-benar mengakhiri perseteruan di antara mereka dengan berjabat tangan.

Dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya, tetapi kemudian, dia membalas uluran tangan Jaz.

"We're okay, now?" tanya Jaz.

"We're good, Jaz," balas Richard.

Untuk pertama kalinya sejak bertemu Richard Ackles, bibir Jazmine Anjani menekuk ke atas, membentuk sebuah senyum tipis. 


***

Halo semua,

By the way, besok libur dulu postingnya, ya? Dan buat yang belum follow Instagram saya, please follow di @libraproxima. Kontennya emang masih sangat dikit, tapi saya berharap bisa konsisten buat posting ke depannya. 

Selamat berakhir pekan semuanya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top