31 - RICHARD
Dengan santai, Richard berjalan menghampiri pintu begitu mendengar bel unit apartemennya berbunyi. Dia tidak sedang menunggu siapa pun, tetapi Richard tidak akan kaget jika mendapati asistennya berdiri di balik pintu saat dia membukanya.
Benar saja, Richard menemukan Ruri dengan napas terengah-engah sementara tangan kirinya memegang sesuatu. Dia memandang asistennya dengan kerutan di kening.
"Lo abis dikejar preman? Apa debt collector? Makanya olahra—Aduh!" serunya ketika benda yang dipegang Ruri dipukulkan dengan cukup kuat ke lengannya. Richard kemudian menyadari Ruri sedang memegang satu majalah. Dia mengelus lengan pelan. "Ngapain lo bawa majalah segala? Emang masih ada yang beli atau baca di era digital kayak sekarang?"
"Cerewet banget sih, lo!"
Alih-alih menjawab pertanyaannya, Ruri memilih untuk masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu Richard mempersilakannya. Membuang napas heran, dia kemudian mendekati Ruri yang sudah duduk di sofa dan meletakkan majalah di atas meja.
Mengenal asistennya itu, Richard bisa menebak dari cara Ruri duduk, ada berita penting yang akan didengarnya. Namun berita seperti apa sampai Ruri harus ke apartemennya, masih jadi pertanyaan bagi Richard.
"Lo ada ngecek Instagram, nggak?" tanya Ruri dengan nada serius.
"Ru, lo beneran nanya? Apa ngetes gue?" tanya Richard balik. "Lo tahu sendiri gue udah jarang ngurusin Instagram kecuali ada endorse atau iklan. Dan seingat gue, nggak ada produk yang kelupaan gue post, kan?"
"Cek Instagram lo. Sekarang!"
Jika intonasi Ruri sudah seperti itu, tidak ada yang bisa dilakukan Richard kecuali menurut. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan segera membuka aplikasi tersebut. Dari semua notifikasi yang ada, dia tertegun mendapati nama Jazmine ada di sana. Menaikkan alis, dia menatap Ruri, berharap asistennya tersebut bisa memberinya penjelasan.
"Ngapain cewek itu nge-tag gue?"
"Lo klik aja, baru abis itu kita ngomong."
Mendengar urgensi dari Ruri, dengan satu sentuhan, Richard kemudian menekan notifikasi dari Jaz.
Unggahan itu ternyata bukan merupakan sebuah foto, melainkan berisi kata-kata. Jaz menonaktifkan kolom komentar dan juga menyembunyikan jumlah likes di posting-an tersebut. Dengan pelan-pelan, Richard membacanya.
To Richard Ackles,
Unggahan ini saya buat sebagai bentuk permintaan maaf secara terbuka karena telah dengan sadar melemparkan tuduhan yang berkaitan dengan Mina. Berdasarkan hasil tes DNA yang sudah keluar dan menyatakan kamu bukanlah ayah dari bayi yang dilahirkan Mina, maka sudah terbukti bahwa tuduhan saya selama ini salah.
Richard menggeser foto selanjutnya karena dia yakin, permintaan maaf secara terbuka Jazmine belum selesai.
Saya juga ingin meminta maaf karena dikuasai emosi dan tidak menunggu hasil tes DNA lebih dulu sebelum menuduh kamu. Saya sadar efek dari tindakan saya adalah kerugian secara material yang kamu alami, juga perundungan dan penghakiman dari masyarakat. Untuk itu, saya siap menanggung konsekuensinya.
Richard masih tidak percaya perempuan itu berani melakukan hal seperti ini mengingat karir Jaz jelas dipertaruhkan. Dia menggeser lagi ke halaman ketiga.
Saya juga meminta secara tulus kepada rekan-rekan media untuk tidak lagi memperpanjang masalah ini. Biarkan semuanya selesai sampai di sini saja.
Sekali lagi, saya meminta maaf kepada Richard Ackles atas semua akibat yang timbul dari tuduhan palsu saya. Semoga masih ada pintu maaf yang terbuka untuk saya.
Terima kasih
Jazmine Anjani
Richard tertegun begitu permintaan maaf secara terbuka dari Jaz itu habis. Dia bahkan membacanya sekali lagi, memastikan tidak melewatkan satu kata pun.
Dia kemudian memandang Ruri yang sepertinya sudah tidak lagi punya stok sabar karena menunggu reaksi Richard. Namun dirinya masih belum tahu harus mengatakan apa.
"So, what do you think?"
Richard menghela napas sebelum mengembuskannya pelan. Dia kemudian beranjak dari posisi berdiri dan berjalan menuju salah satu sofa dan duduk di sana. Sesekali pandangannya beralih ke layar ponsel, seolah ingin membuat dirinya yakin bahwa Jazmine Anjani baru saja meminta maaf di akun media sosialnya.
"Gue syok, Ru," balas Richard pendek. "Dia berani banget bikin permintaan terbuka kayak gitu. Gue nggak bisa bayangin efek ke depannya akan kayak apa." Di Hollywood, aksi yang dilakukan Jaz jelas akan membuatnya hilang dari peredaran karena cancel culture, apalagi dia sudah melakukan tuduhan palsu. "Gue nggak yakin dia bakal tetep dipake di Revulsion kalau kayak gini. Nggak ada yang mau kena bad press ketika film bahkan belum mulai syuting." Richard menggeleng ngeri. "Gue beneran nggak nyangka."
"Kalau gue nggak kenal lo, Rick, gue pasti bilang, lo peduli banget sama karir cewek yang hampir aja ngehancurin karir dan hidup kamu. Tapi karena gue kenal lo, ucapan lo ini malah terdengar aneh."
"Anehnya di mana? Gue kan—"
"Lo nunjukkin kalau lo beneran peduli sama Jaz," tukas Ruri, memutus kesempatan Richard untuk menyelesaikan kalimat. "Dan ini sama sekali bukan reaksi yang gue harepin bakal gue liat."
Mulut Richard terbuka, bersiap memberikan balasan, tetapi dia menutupnya kembali. Kalimat yang sudah disusunnya, diurungkan Richard untuk diucapkan.
"Gue nggak mau karir dia hancur gara-gara gue," bela Richard. "Rasanya bakal nggak enak, Ru. Lo bayangin karir lo semakin naik, tapi lo kayak numbalin karir orang lain buat itu." Richard menggeleng. "Gue nggak mau karir gue kayak gitu."
"Terus apa yang bakal lo lakuin?"
Richard bergumam pelan. "Yang pasti, gue nggak akan bawa masalah ini sampai ke ranah hukum karena," dia mengangkat tangan ketika menyaksikan Ruri berniat untuk protes, "gue mau ini selesai sekarang juga. I don't want to drag this matter further. Karir gue nggak jatuh-jatuh banget karena tuduhan Jaz, jadi gue ngerasa nggak ada yang perlu gue tuntut dari dia secara materi." Richard mengucapkan keputusannya itu dengan mantap. "Gue masih nggak tahu apakah harus bikin balesan atas permintaan maaf Jaz atau nggak. Atau sebaiknya gue reach out langsung aja ke dia?"
"Jadi lo maafin dia?"
Tanpa ragu, Richard mengangguk. "Nggak ada alasan buat gue nggak maafin dia, Ru. Karena gue ngerasa, kalau ini gue perpanjang, yang ada hubungan kami jadi makin rumit. Apalagi kami bakal main film bareng—itu kalau dia nggak diganti sama aktris lain. Ya udahlah, sama-sama move on gitu."
"Mau lo apa sekarang? Yang beneran lo pengen lakuin?"
Menyandarkan punggung, Richard memandang Ruri lekat. "Kalau nurutin kemauan gue sendiri, gue maunya hubungin Jaz langsung. Cuma gue juga sadar, media di sini pasti nggak bakal diem gitu aja. Kalau gue ngelakuin itu, Jaz bakal tetep jadi sasaran sementara mereka bakal minta pendapat gue terus-terusan." Richard melempar pelan ponselnya ke atas meja hingga bergelentang. "Jadi gue rasa, kita nggak punya pilihan lain."
"Terus, lo bakal bikin surat terbuka juga? Apa mau pake cara lain?"
"Gue bisa bikin video singkat. Bilang gue maafin Jaz dan minta supaya media juga nggak terus-terusan ganggu kami. Yang pendek aja, rasanya nggak perlu bertele-tele juga." Pandangan Richard kemudian terpaku pada majalah yang tadi dibawa Ruri. "Lo ngapain bawa majalah gituan?"
"Jaz juga kirim permintaan surat terbukanya ke beberapa media cetak. Lo mau baca?"
"Isinya sama, kan?"
Ruri mengangguk. "Sama aja."
"Nggak usah kalau gitu."
"Mau mulai nyusun kalimatnya sekarang?"
"Semakin cepet semakin baik, kan?"
"We'll see gimana besok deh, Rick. Kasih jeda waktu juga buat lo berpikir bener-bener apakah memang ini yang lo pengen."
Richard mengangguk setuju. "We'll do that, then."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top