3 - RICHARD


“Lo masih komunikasi nggak sama Mina?”

Reaksi pertama yang diberikan Richard adalah sebuah erangan. Not that name again, batinnya. Dia memainkan gelas berisi Scotch yang tinggal sekali teguk tanpa mengalihkan tatapannya ke arah Evan yang duduk di kursi tinggi di sebelahnya. 

“Ruri yang lebih sering update ke gue soal cewek itu. Kalau gue langsung yang komunikasi, yang ada malah emosi gue jadi nggak bisa dikontrol. Gue nggak mau ngelampiasin kemarahan sama perempuan yang lagi hamil, Van. Gue kena karma nanti,” jelas Richard. Dia memandang Evan. “Lo sendiri gimana sama siapa tuh? Cewek lo namanya? Gue nggak inget.”

“Carla? Udah selesai, Rick. Minggu kemaren. Gue nggak kuat diteror terus tiap hari sama pertanyaan-pertanyaan nggak penting dari dia. Udah makan belum, udah minum vitamin belum.” Evan menunjukkan wajah muak dan ingin muntah sebelum meneguk tandas bourbon-nya. “Cantik sih, gue akui, dan,” Evan bersiul. “jago banget main. Cuma nggak sebanding sama stres ngadepin dia. Gue lebih demen FWB-an”

Richard tidak bisa menahan tawa kecilnya. “Kita ini senasib, Bro. Komitmen secara spesial nggak ditujukan buat kita.”

Evan mengangguk setuju. “Terus, lo masih suka jalan sama cewek lain, nggak?”

Selama beberapa detik, Richard memikirkan kalimat yang pas untuk diungkapkan kepada Evan. Memberikan jawaban yang sejujurnya atau sebuah kebohongan. Namun cepat atau lambat, Richard yakin Evan akan mengetahui kebenarannya jika dia berbohong. Maka Richard kemudian menggeleng. 

“Gue nggak ada waktu, Van. Abis syuting dua film laga yang jaraknya nggak jauh, badan gue capek banget. Gue perlu berlibur dan bener-bener molor tanpa harus bangun pake alarm. I need it so bad!

“Kenapa nggak ke Bali? Biasanya lo nggak pake ngeluh atau woro-woro udah di sana aja.”

Richard mengedikkan bahu. “Nggak tahu kenapa, gue belakangan jadi ngerasa kayak orang bego. Kalau bukan karena Ruri, gue nggak tahu deh hidup gue udah kayak apa. Dia itu literally my guardian angel.” Richard pun menghabiskan Scotch-nya setelah memuji asistennya yang sangat berjasa menjaga hidupnya tetap ada di jalur yang benar. Dia menggeleng saat Evan berniat mengisinya kembali. “Gue masih ada beberapa photoshoot sama syuting iklan dua bulan ke depan, jadi bener-bener nggak bisa gue liburan. Yang ada gue malah kepikiran, bukannya rileks.”

“Gue perhatiin, lo emang agak berubah setelah ada insiden sama Mina. Lo jadi lebih … apa ya, calculative sama hal-hal yang dulu langsung lo tabrak. Lo kayak dibayangi ketakutan.”

“Hidup gue emang nggak sama lagi setelah itu, Van. Gue dihujat publik, dianggep nggak bertanggung jawab buat sesuatu yang gue nggak lakuin. Gimana gue bisa hidup tenang kalau setiap posting-an gue di Instagram, selalu ada komen yang nyebutin Mina? Sementara gue nggak bisa ngapa-ngapain selain nunggu sampai Mina ngelahirin supaya bisa tes DNA. It feels like hell!

Evan diam sebelum dia menepuk pundak Richard. “Sekarang lo tahu kan kenapa gue lebih milih kerja kantoran daripada jadi public figure?”

“Belum telat kalau lo masih mau jadi model, Van. Lo punya modal.”

Kalimat Richard bukanlah sekadar omong kosong. Dia benar-benar percaya, jika Evan mau, pintu modeling pasti terbuka lebar. Apalagi di Indonesia yang masih memuja mereka yang memiliki darah campuran. Richard bahkan seratus persen yakin, Evan bisa jadi idola baru. Dengan tinggi yang mencapai 189 cm, belum lagi rahangnya yang tampak begitu tegas, dan wajahnya yang lebih condong ke Mamanya yang orang Inggris tulen daripada Papanya yang orang Yogyakarta, Evan sudah mengantongi modal utama menjadi model. Evan sudah sangat cocok mengisi majalah GQ atau Men’s Health. Atau jadi bintang sinetron. Tidak perlu bakat untuk main sinetron. 

“Nanti mereka bingung lagi bedain mana yang Richard Ackles dan mana yang Evan Thomas.”

Mereka berdua tergelak. 

Ucapan Evan memang tidak keliru. Mereka sering dikira kembar—dengan tinggi badan yang hampir mirip meskipun Richard tiga sentimeter lebih pendek—dan struktur wajah yang juga tidak berbeda jauh saat masih duduk di bangku SMA. Beruntung mereka berpisah saat kuliah. Evan memilih Berlin sementara Richard hijrah New York. Namun tiap kali mereka bertemu, tetap ada yang berpendapat bahwa mereka memang mirip. 

By the way, gimana kerjaan lo?”

“Biasa aja. Sibuk meeting, baik-baikin klien, dan yah … gitu-gitu aja sih, Rick. Nothing special.” Evan memainkan gelasnya yang sudah kosong sebelum pandangannya beredar ke seluruh sudut bar yang tampak tenang malam ini. 

Richard mengikuti arah pandangan Evan. “Lo lagi nyari apaan?”

“Mangsa buat lo.”

Yang bisa dilakukan Richard hanyalah menggeleng disertai decakan pelan. “Van, gue lagi nggak mood, beneran. Kalau mau, pasti gue cari sendiri,” ucapnya saat menyadari Evan sedang tidak bercanda.

“Udah, lo tenang aja. Nggak mood kalau ada cewek di depan lo yang nanggalin bajunya satu per satu juga mood itu bakalan dateng. Gue nggak mau lo nyiksa diri sendiri karena Mina. You need to have fun, Bro!

Menyadari Evan tuli dengan keberatan yang akan diungkapkannya, Richard hanya diam. The Oak ini memang punya kesan eksklusif karena tidak semua orang bisa masuk. Beruntung Evan punya akses–karena Papanya dan juga kerjaannya—hingga tempat ini selalu menjadi pilihan jika ingin bertemu Richard. Selain itu, Richard juga terhindar dari orang-orang yang akan berebutan minta fotonya atau sekadar meneriakinya sebagai pria tidak bertanggung jawab. Semua yang ada di The Oak tidak akan melakukan itu. 

“Stay here.”

Mata Richard mengikuti Evan yang lantas bangkit dari kursi. Pria itu berjalan mendekati salah satu sofa kulit panjang yang memang mengisi sebagian besar The Oak. Menggunakan pesonanya, Evan dengan mudah menarik perhatian salah satu perempuan yang tampak langsung tersipu didekati oleh Evan. Sedetik kemudian, pandangan mereka terpaku pada Richard. Mereka bertiga bertukar senyum sebelum Richard membalikkan badan dan memesan lagi satu gelas Scotch.

Dia mengerti niat baik Evan, tapi Richard tidak berbohong ketika mengatakan dia sedang malas menyeret perempuan mana pun ke tempat tidurnya malam ini. Sahabatnya itu juga tidak salah saat mengungkapkan Richard menjadi lebih berhati-hati sejak kejadian dengan Mina—yang selalu menyelipkan Jazmine Anjani setiap kali nama Mina disebut. Satu hal yang menghalangi usahanya meyakinkan orang lain bahwa tuduhan Mina tidak benar adalah dia juga mabuk berat saat itu. Namun Richard sangat yakin, dia tidak tidur dengan Mina atau perempuan lain. Pilihan untuk tetap sober di setiap pesta/bar/makan malam murni karena dia tidak ingin terjebak di situasi yang sama. Jika dia membawa perempuan untuk menghibur malamnya, dia ingin dalam keadaan sadar. No more drunken nights.

Pundaknya ditepuk Evan yang kembali duduk di sampingnya. Lamunan Richard pun buyar. Dia menggeser pandangannya ke Evan yang tampak ceria karena senyum di wajahnya begitu lebar.

“Dia nanti ke sini,” ujar Evan singkat sebelum dia memesan bourbon ketiganya. “She’s really your type, Rick.” 

Richard hanya mengangguk. Dia tidak ingin membantah ucapan Evan. “She’s pretty,” pujinya setelah menoleh untuk memandang sekilas perempuan yang dimaksud Evan.

“Of course!” seru Evan bangga. “Gue udah lama jadi temen lo, jadi tahu banget tipe lo yang kayak gimana.”

“Thanks, Van.”

Richard pun tahu, dia harus menghubungi Ruri untuk menyelamatkannya dari situasi ini karena hanya perempuan itu yang bisa melakukannya. Pikirannya mulai bekerja untuk mencari alasan yang tepat menolak perempuan yang ‘ditemukan’ oleh Evan untuk menemani malamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top