20 - JAZMINE

"Badan lo rasanya gimana?" tanya Jaz sepelan mungkin seraya menatap lekat sahabatnya.

"Lemes aja, Jaz," jawab Mina tanpa lupa memberikan senyumnya.

"Anak lo ganteng, padahal sehari juga belum ada."

Tawa Mina terdengar sekalipun sangat lemah dan kecil. "Kaget tahu anakku cowok?"

Jaz mengangguk mantap. Tubuhnya terlalu lelah untuk berbohong. "Gue pengen banget nyeret cowok itu ke sini."

Mina menggeleng. "Jaz, yang penting persalinanku baik-baik aja dan nggak ada komplikasi." Perempuan itu lantas meraih tangan Jaz dalam genggamannya. "Semuanya akan jelas setelah tes DNA."

Menarik napas dan mengembuskannya pelan, Jaz menepuk punggung tangan Mina dengan lembut. "Lo sebenernya nggak mau kan ngelakuin itu?"

"Aku nggak tahu perlunya apa, Jaz. I chose to carry on with my pregnancy. Itu pilihanku dan aku tahu konsekuensinya." Mina mengalihkan pandangannya dari Jaz sesaat sebelum kembali menatap sahabatnya tersebut. "Tes DNA itu penting buat Richard. Kalau memang dia bukan ayah dari Brandon, aku nggak punya hak apa-apa lagi soal dia."

"Itu nama yang lo pilih buat anak lo?" tanya Jaz dengan intonasi yang menandakan dia terkejut mendengar Mina telah menentukan nama anak yang baru lahir semalam.

"I've always loved that name," balas Mina menunjukkan raut bahagianya. "Aku bisa kasih nama dia sesuai yang aku mau, Jaz, tanpa harus setuju atau berdiskusi dengan orang lain. He's mine."

Senyum Jaz menunjukkan keterpaksaan. Jika Mina dalam kondisi normal, perempuan itu dengan cepat akan menangkap rasa tidak ikhlas yang dilihatnya. Namun Jaz beruntung tenaga Mina masih belum pulih hingga dia bisa—sekali lagi—mengelabui sahabatnya itu.

"Lo istirahat aja, ya? Gue harus balik. Ada kerjaan yang nggak bisa gue batalin. Nanti gue suruh Mbak Siti ke sini, seenggaknya buat nemenin lo dan bantu-banti lo kalau mau ke kamar mandi." Jaz memang sengaja meminta salah satu staf di rumahnya untuk ke rumah sakit sementara dia tidak bisa menemani Mina.

"Nggak perlu, Jaz. Aku yakin Mbak Siti pasti banyak kerjaan di rumah."

"Telat, udah gue suruh ke sini tadi. Di rumah nggak akan banyak kerjaan, lo nggak usah khawatir."

"Thank you for coming, Jaz." Mina menepuk lagi punggung tangan Jaz. "Jangan jahat ke Richard, ya? Seenggaknya sampai hasil tes DNA keluar."

Jaz mengangguk sekalipun dia tidak berniat menuruti kemauan Mina. "Ya udah, gue balik, ya? Tidur aja."

Selepas mengecup pipi Mina, dengan langkah—dan hati—yang berat, Jaz keluar dari kamar. Ada emosi yang tidak bisa dia jelaskan menyeruak dengan hebat hingga Jaz harus duduk di bangku yang tersebar di koridor rumah sakit. Menarik napas panjang, Jaz berusaha untuk tidak menangis meski dadanya terasa begitu sesak.

Jaz justru berniat mengonfrontasi Richard dan perasaan tidak peka yang dipertontokan pria itu semalam. Jika Richard tidak ada di sampingnya, Jaz akan memahami sikapnya yang tampak tidak acuh. Namun pria itu mendengar dengan pasti berita yang disampaikan Anggi, dan memilih tidak bereaksi.

Hati Jaz juga dibebani kesedihan luar biasa karena tidak seharusnya Mina melalui semua ini seorang diri. Seharusnya ada pria yang ada di samping sahabatnya tersebut, menenangkan, dan juga memberikan pujian bertubi-tubi. Fakta bahwa Mina telah memilih nama tanpa pasangan justru membuat Jaz ingin menangis. Bukan ini yang dibayangkan Jaz untuk Mina.

Getaran ponselnya membuat Jaz terkesiap. Mengerjapkan mata, dia lantas meraih ponsel dari dalam tasnya dan melihat nama Daniel. Setelah membiarkannya selama beberapa detik, Jaz menerima panggilan itu.

"Tumben banget lo telepon jam segini."

"Selamat pagi, Jaz." Mau tidak mau, senyum Jaz mengembang begitu mendengar sapaan selamat pagi dari Daniel yang terasa terlalu formal dan sopan.

"Pagi, Daniel."

"Hanya mau bilang, kamu tampil cantik semalam. Aku nonton televisi supaya bisa lihat kamu."

Alis Jaz terangkat, bingung dari mana Daniel tahu dia akan ada di acara penghargaan itu semalam. "Kok lo tahu gue bakal ada di acara itu?"

"Karena kemarin kamu menolak waktu aku ajak makan malam karena harus ada di Aksara Awards. Lupa?"

Dengan pelan, Jaz memukul keningnya dengan telapak tangan. "Sorry, hectic banget semalem."

"Apakah semuanya baik-baik saja? Kamu terdengar ... lelah."

"Mina ngelahirin semalem. Gue lupa apa pernah cerita ke lo soal dia atau nggak. Thankfully, proses persalinan dia lancar. Anaknya cowok. Cuma gue ngerasa berat banget."

"Mau cerita?"

"Thanks, tapi gue nggak mau bikin pagi lo jadi ikutan berat."

"Aku nggak keberatan, Jaz. Atau mau ketemuan buat breakfast?"

Perut Jaz sontak berbunyi mendengar tawaran Daniel. Dia ingat belum makan sejak semalam karena tawaran dari Anggi ditolaknya. Pagi ini pun dia langsung pergi ke rumah sakit dengan perut kosong. Hanya tinggal menunggu sebelum dia sadar perlu mengisi perut.

"Lo nggak kerja?"

"Aku bisa kerja dari mana saja, Jaz. Buat hari ini, aku ada dua meeting dan jadwal keduanya setelah makan siang. So my morning is free. Aku tadi juga niat menelepon karena ingin mengajak kamu breakfast."

"Lo itu emang beda, ya?"

"Menurutku, breakfast date itu sama romantisnya dengan dinner date. It's just not very common."

Jaz tidak punya waktu menganalisis penjelasan Daniel, apalagi memastikan pria itu berbohong atau mengatakan yang sejujurnya.

"Mau ketemuan di mana?"

"Somewhere close to my office?"

Setelah mengatakan dirinya akan sampai sekitar setengah jam lagi, mereka mengakhiri panggilan. Jaz bangkit dari duduknya dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari kamar Mina, dia merasa bebannya sedikit terangkat. Tidak banyak, tapi cukup.

Menemukan tempat yang dikirimkan Daniel melalui Whatsapp tidak sulit. Beruntung macet tidak membuat perjalanannya menjadi lebih lama. Setelah memarkir mobil, Jaz berjalan dengan dandanan seadanya menuju Sunrise Brew. Begitu masuk, hidung Jaz langsung disambut aroma kopi dan croissant, yang sekali lagi, membuat perutnya berontak.

Senyum menghiasi wajah Jaz saat dia melihat Daniel mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dengan segera, dia menghampiri meja yang dipilih Daniel. Letaknya cukup ke belakang, tetapi sinar matahari mampu menembus bagian itu dan tidak terlalu rame. Daniel memilih meja yang pas. Langkah Jaz sempat terhenti ketika menyaksikan Daniel mengenakan pakaian formal, sesuatu yang belum pernah dilihatnya sejak mereka berkenalan. Daniel memang selalu tampil rapi, tapi melihat pria itu mengenakan kemeja lengan panjang, dasi, celana bahan, sepatu formal, plus jas yang disampirkan di kursi, sempat membuat jantung Jaz berdegup lebih kencang.

Dia pun berdeham pelan sebelum berjalan mendekati Daniel.

"Rapi banget."

Daniel membalasnya dengan sebuah tawa kecil. "Iya, biar sekalian nanti ke kantor, supaya aku nggak harus kembali ke apartemen lagi." Dia lantas mendaratkan kecupan di pipi Jaz. "Mau pesan apa? Kamu terlihat sedikit pucat."

"Coffee will do, thanks."

"Sama sarapan, ya?"

"Thanks, Daniel."

Sementara Jaz duduk, Daniel menghampiri kasir untuk memesan pesanan Jaz. Pandangan Jaz sungguh tidak beranjak dari pria itu. Bahkan ketika sedetik kemudian, Daniel sudah kembali dan duduk di depan Jaz.

"Mau cerita sekarang atau mau makan dulu?"

"Sama gue nggak usah formal-formal, Daniel. Biasa aja."

"Aku memberi kamu pilihan supaya nggak terkesan aku memaksa kamu cerita sekarang juga. Dan aku akan sebisa mungkin melakukannya, Jaz. That's how my parents raised me."

Jaz kadang-kadang tidak habis pikir ada pria seperti Daniel yang sangat considerate dengan hal-hal kecil. Jaz hanya tidak terbiasa, tetapi dia benar-benar salut dengan sikap Daniel.

"Lo siap?"

Daniel mengangguk. "Bring it on!" balas Daniel sambil melipat kedua lengannya di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuh agar bisa mendengar Jaz lebih jelas. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top