16 - JAZMINE
"What? Main sama cowok mesum dan sok kegantengan sejagat raya itu? Dibayar satu juta dolar pun gue nggak akan mau!"
Selepas mengucapkan kalimat itu, Jaz menutup mulut karena sadar suaranya terdengar cukup lantang. Namun tidak perlu waktu lama sebelum telinganya menangkap kalimat bernada tinggi datang dari salah satu titik yang ada di taman. Jaz menghentikan langkah dan mulai menajamkan pendengaran.
"Nggi, ntar gue telepon lagi, ya? Saat ini gue ngerasa overwhelmed denger semuanya," pinta Jaz. "Takutnya gue malah salah ngomong dan lo juga salah tangkep. Sori gue bentak lo barusan."
"It's okay, Jaz, aku ngerti. Kabarin aja. Have fun sama Daniel."
"Bye, Nggi."
Begitu mengakhiri panggilan, Jaz tidak memasukkan ponselnya ke dalam tas melainkan menggenggamnya erat. Jaz tahu sebaiknya dia membalikkan tubuh dan kembali masuk ke dalam, mencari Daniel, dan mengungkapkan kepada pria itu berita yang baru diterimanya. Namun kakinya justru melangkah pelan menghampiri suara yang masih menelurkan kata-kata umpatan hingga ketika akhirnya melihat pemilik suara itu, Jaz hanya berdiri dan menyilangkan kedua lengan di dada.
Jadi ini cowok yang akhirnya bakal jadi lawan main gue? batin Jaz. Harusnya gue tahu, cuma ada satu orang yang bisa bilang kayak gitu soal gue.
"Nanti gue hubungin lo lagi. Otak gue rasanya berasap ngebayangin harus ngabisin berminggu-minggu sama cewek preman begitu. That will be a nightmare ... oke, Ru. Sori gue agak emosional, padahal gue nyoba banget nggak begini ... hmm ... iya, gue kabarin lagi nanti atau besok, gampanglah itu ... ya udah, night Ru."
Jaz menggeleng seraya menahan geram mendengar Richard kembali menyebutnya sebagai 'cewek preman'. Maka begitu panggilan itu selesai, Jaz langsung menghampiri Richard, tidak peduli jika kehadirannya membuat pria tersebut meloncat kaget.
"For Christ's sake, what is your freaking problem?"
"Barusan lo nyebut gue apa?" tuduh Jaz cepa
Dua kalimat tersebut meluncur dari mulut keduanya pada saat yang bersamaan, tanpa ada delay. Richard yang sudah berada dalam posisi berdiri, tampak kaget dengan kehadiran Jaz yang tiba-tiba.
"Lo ngapain di sini? Nguping obrolan gue?" tuduh Richard. "Udah kayak preman, nggak tahu sopan santun pula." Dia pun lantas mengacungkan telunjuknya tepat di depan hidung Jaz. "Ini yang gue maksud. Lo kayak preman. Puas?"
"Heh! Jangan asal ngomong lo, ya! Kalau lo nggak nyamain gue sama preman dan nganggep gue mimpi buruk, gue juga nggak bakal ngelabrak lo!"
"Tetep aja judulnya lo nguping!" Richard menggeleng heran sebelum sebuah tawa kecil mengisi ruang di antara mereka. "Main film sama lo emang bakal jadi mimpi buruk. My worst nightmare!"
Dengan satu entakan, Jaz memajukan tubuhnya. "Lo pede banget bilang main film sama gue bakal jadi mimpi buruk. Lo pikir, buat gue apa, hah? Mimpi indah? Najis!"
Jaz menatap Richard penuh dengan bara emosi. Dadanya bergemuruh. Jaz menggeleng, berusaha mengusir gambaran tidak pantas yang sempat-sempatnya muncul dalam pikirannya saat ini, terlebih melihat Richard dengan setelan biru tua. Gue harus fokus! Nggak boleh bayangin macem-macem, harapnya dalam hati. Dia yakin, kebenciannya kepada Richard saat ini menjadi jauh lebih curam dibandingkan pertemuan terakhir mereka.
Saat keduanya terjebak di lift.
Mengingat itu, Jaz menelan ludah.
"Asal lo tahu, ini kesempatan yang udah gue tunggu lama. Gue nggak bakal nyerah gitu aja cuma karena lo. Lo itu cuma aktris webseries, nama gue jauh lebih punya bobot dibanding lo." Richard kemudian merapikan kerah kemejanya. "Kalau ada yang harus mereka lepas, gue yakin itu bukan gue."
"Dan lo cuma aktor modal otot doang," tukas Jaz tidak kalah cepat. Dia jelas enggan membiarkan Richard memenangkan adu argumen di antara mereka. Jaz sudah bertekad bulat akan menyadarkan pria yang selalu menganggap dirinya lebih dari segalanya ini. "Dan Revulsion bukan film laga, asal lo ingat. Lo yakin mereka bakal milih lo? Nggak usah yakin dulu, deh. Dunia itu nggak berpusat di lo. Dasar cowok narsis!"
Bibir Jaz tersungging saat mengetahui kalimat yang baru diucapkannya berhasil membungkam Richard. Pria itu tampak kaget. Terbukti sedetik kemudian, dia mengangguk sebentar sebelum kembali memandang Jaz.
"Gue nggak mau bikin malu. Nama gue terlalu penting buat dirusak sama cewek kayak lo di sini." Richard memotong jarak yang ada di antara dirinya dan Jaz. "Kita liat aja nanti siapa yang bisa bertahan. Lo atau gue." Richard berdeham pelan. "Semoga cowok lo nggak liat betapa barbarnya cewek yang dia ajak jalan."
Setelah itu, Richard berjalan melewati Jaz dengan santainya hingga membuat Jaz termangu. Kemarahannya terlalu kuat untuk diluapkan, terlebih pria itu menyinggung Daniel yang tidak ada sangkut pautnya.
Dengan satu tarikan napas, Jaz berusaha menenangkan diri sebelum kembali masuk ke dalam. Dia tidak ingin Daniel mencarinya. Mantra bahwa dirinya seorang aktris diucapkan Jaz berkali-kali karena saat dirinya melangkah masuk nanti, kemungkinan dia akan kembali melihat wajah Richard. Dia tidak ingin lepas kendali.
"Tenang, Jaz. Tarik napas, dan keluarkan pelan-pelan."
Jaz mengucapkannya sepelan mungkin sebelum dia mendengar suara Daniel yang memanggilnya. Meski baru mengenal pria itu, mustahail Jaz tidak hafal dengan cara Daniel mengucapkan namanya. Jaz membalikkan badan tepat ketika Daniel muncul di hadapannya.
"Jaz, is everything okay?" tanya Daniel dengan nada sedikit panik.
Jaz mengangguk. "Gue harus terima telepon dari asisten gue. Urusan kerjaan. Sori kalau gue ninggal lo di dalem."
Bagi Jaz, dia lebih suka mengantisipasi pertanyaan Daniel dengan memberikan jawaban yang panjang karena tahu pria itu akan terus bertanya jika dia hanya menjawab satu-dua patah kata. Beruntung Jaz menganggap sikap Daniel tersebut bagian dari pesonanya, bukan sesuatu yang menyebalkan.
"Apakah kamu harus pulang sekarang? Kita bisa pergi kalau memang kamu harus ada di tempat lain."
"Gue nggak harus ada di mana-mana sekarang selain di sini." Dengan senyum yang terpasang, Jaz menghampiri Daniel. "Lagian, rugi gue udah all out gini tapi kita di sini cuma bentar. Lagian lo pasti masih belum mau balik, kan?"
"Yes," jawab Daniel singkat. "Tapi please kasih tahu aku misalkan kamu ingin pulang, ya? Aku nggak mau kamu terpaksa harus ada di sini, tapi kamu sudah nggak enjoy lagi. Aku masih ingin bisa mengajak kamu keluar, Jaz."
"Dan gue nggak akan pernah nolak lo ajak keluar asalkan gue nggak ada kerjaan," sambut Jaz tanpa menunggu lama. Dan dia mengatakan yang sejujurnya, sesuatu yang tidak sering dia akui bersama pria-pria lain yang berusaha mendekatinya. "Mau masuk sekarang?"
Balasan yang diberikan Daniel adalah mengulurkan tangan. "May I?"
"Apakah lo selalu bersikap gentleman dan romantis gini sama tiap cewek? Darah Italia lo ya yang bikin lo kayak gini?"
"Jadi seorang gentleman dan romantis itu nggak berhubungan dengan aku punya darah apa, Jaz. It's a common courtesy. Dan aku selalu diajarkan Papa untuk selalu menghargai perempuan, bahkan untuk hal-hal kecil."
Menemukan pria seperti Daniel memang tidak jauh berbeda dengan menemukan barang langka. Jaz beberapa kali mengingat, perbuatan baik apa yang dilakukannya dulu sampai bisa dipertemukan dengan Daniel. Meskipun belum ada status atau percakapan tentang arah yang ingin mereka tuju, Jaz tetap menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Daniel.
Jaz pun lantas menerima uluran tangan Daniel dan pria itu menggandengnya. Ada hangat yang menjalar dalam tubuh Jaz dan semua kemarahan yang ditimbulkan oleh Richard Ackles, mendadak luruh oleh kulitnya yang bersentuhan dengan kulit Daniel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top