15 - RICHARD
Richard sudah duduk di tepi tempat tidur sementara Scarlett baru saja ke kamar mandi. Pria itu hanya menyambar boxer yang kebetulan tergeletak di ujung kaki untuk menutupi bagian bawah tubuhnya sebelum kembali duduk. Dia bahkan tidak memedulikan rambutnya yang berantakan atau keringat yang masih melekat di badannya. Bukan hanya isi kepalanya yang kosong, tetapi juga pandangannya, terlebih ketika lampu-lampu ibukota terhampar di hadapannya sekalipun terhalang dinding kaca.
Dia bahkan tidak menoleh ketika mendengar pintu kamar mandi dibuka dan langkah Scarlett mendekat. Namun segera, dia mengganti ekspresi muram yang tampak jelas di wajahnya dengan sebuah senyum tipis.
"Thanks for coming."
"Kita sama-sama perlu pelampiasan, Richard," balas Scarlett singkat. Perempuan itu lantas merendahkan tubuhnya untuk mengecup pipi kanan Richard. "Tapi apa pun yang sedang ganggu kamu sekarang, you better take care of it sooner, sebelum banyak media yang melihatnya."
Richard hanya mengangguk. "Thanks, Scarlett."
"Aku pulang dulu. Get some sleep."
Sikap yang ditunjukkan Richard saat ini sungguh di luar kebiasaannya. Richard Ackles tidak akan duduk diam sementara perempuan yang sudah memuaskan nafsunya pergi. Richard Ackles paling tidak akan mengantar perempuan itu sampai ke pintu, mengucapkan terima kasih atas malam yang luar biasa, baru kemudian duduk merenung. Dia bahkan tidak menyampaikan ucapan selamat malam hingga sosok Scarlett benar-benar pergi dari apartemennya.
Dengan satu tarikan napas, Richard merebahkan tubuhnya yang terbentuk sempurna sementara matanya nanar memandang langit-langit kamar.
Setelah kejadian di lift beberapa hari lalu, Richard seperti diselimuti kebingungan. Bukan karena fakta bahwa Jazmine Anjani adalah perempuan yang sangat menarik, tapi karena berada di dekat perempuan itu—meskipun hanya dalam hitungan menit dan bukan sebagai Brian dan Claudia—mengguncang dinding yang dia bangun setiap kali Jaz berada dalam jarak pandangnya. Jika saja ada mikrofon yang diletakkan di dekat jantungnya saat mereka terjebak di lift, Richard yakin, suara debarannya akan sangat kencang.
Richard perlu menemukan penyebab dirinya merasa sebingung itu. Masalahnya sampai saat ini, jawaban yang dicarinya belum juga tampak.
Janji brunch dengan Evan kemarin kembali mencuatkan pertanyaan yang tidak berani ditanyakan siapa pun kecuali sahabatnya tersebut—mungkin juga Ruri. Satu pertanyaan sederhana, tapi Richard menanggapinya dengan diam, karena tahu Evan akan mencium kebohongannya jika dia membuka mulut.
"When did the last time you get laid?"
Dalam situasi biasa, Richard akan menanggapi pertanyaan Evan dengan candaan atau mengutarakan dusta yang sangat meyakinkan—he's an actor after all. Hanya saja, Richard kelu saat mendapatkan pertanyaan itu. Alasan yang diutarakan Evan bukan semata-mata demi memuaskan nafsu, tapi lebih memuntahkan beban yang dibawanya. Evan juga menyadari posisi Richard sebagai public figure yang harus berhati-hati dengan kehidupan pribadinya agar tidak tercium media dan menjadi gosip.
Pilihan Richard akhirnya jatuh ke Scarlett.
Perempuan itu pernah sekali menjadi bagian penting dari hidup Richard, ketika mereka sama-sama kuliah di New York. Namun mereka punya pandangan yang berbeda kala itu mengenai arti sebuah hubungan. Meskipun begitu, keduanya kerap bersinggungan bahkan setelah Richard memutuskan terjun ke dunia akting. Scarlett dan Richard pun lantas menjadi semacam friends with benefit, saling mengisi saat salah satunya memerlukan pelampiasan. Seperti yang terjadi malam ini. Richard juga tidak perlu khawatir Scarlett membongkar arrangement mereka. Dia percaya rahasia mereka aman di tangan Scarlett.
Richard menegakkan tubuhnya sebelum dia bangkit dan berjalan mendekati dinding kaca. Bayangannya terpantul di antara remang-remang lampu yang menyala di kamar. Dengan pelan, dia menyandarkan kepalanya ke dinding dan memejamkan mata.
Bantu gue buat mencerna semua ini, siapa pun orangnya, pinta Richard dalam hati.
***
Beruntung setelah malam itu, kesibukan kembali mengisi sebagian besar porsi pikiran Richard Ackles.
Mulai dari pemotretan, undangan ke beberapa stasiun televisi, syuting iklan, dan beberapa undangan offline. Tidak ada waktu bagi Richard untuk mempertanyakan kebingungan yang pernah melandanya. Di depan semua orang—termasuk Ruri, keluarga, dan teman-temannya—dia berhasil menyingkirkan Jazmine Anjani dari benaknya.
Malam itu, Richard datang ke acara pembukaan flagship store Blu/Verde di Indonesia, sebuah rumah mode asal Swiss yang sudah 60 tahun berkecimpung di dunia fashion, khususnya pakaian pria. Blu/Verde juga merupakan brand favorit Richard dibandingkan Hugo Boss atau Armani. Bahkan beberapa jas yang dibelinya lima tahun lalu masih dalam kondisi sempurna. Undangan yang didapatnya juga murni karena sudah sejak lama dia sering mengenakan koleksi dari Blu/Verde, baik untuk acara yang diliput media atau hanya acara informal.
Richard sebenarnya ingin mengajak Evan, tetapi sahabatnya itu punya urusan lain. Akhirnya dia berangkat sendiri, tentu saja dengan mengenakan setelan dari Blu/Verde dari kepala hingga ujung kaki. Terlebih sales assistant yang dulu sering ditemuinya tiap kali belanja di Tokyo, hijrah ke Indonesia. Richard yakin, malamnya akan sangat berkesan.
Namun tentu saja, Jazmine Anjani harus berpartisipasi merusak malam yang seharusnya menyenangkan.
Kening Richard mengerut saat menyaksikan Jaz datang bersama seorang pria jangkung. Hanya dengan sekali pandang, Richard tahu ada yang spesial di antara mereka. Dia menyingkirkan rasa penasarannya dengan kembali fokus pada lingkaran kecil tamu undangan yang sedang membahas mengenai koleksi Spring/Summer yang baru diperagakan di Milan dua minggu lalu.
Ponsel Richard bergetar dan dengan sopan, dia meminta izin untuk pergi sebentar dan mengecek siapa yang meneleponnya. Melihat nama Ruri, dia tahu pasti ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan asistennya itu. Ruri tidak akan mengganggu acaranya untuk alasan apa pun kecuali sangat penting.
"Ruri," sapa Richard seraya mencari-cari tempat yang agak sepi dan jauh dari keramaian. Dia menemukan pintu yang menuju ke teras terbuka. Teras tersebut berhadapan langsung dengan taman hingga Richard melangkah ke sana. "Gue lagi nyari tempat, jangan ngomong apa-apa dulu." Begitu menemukan bangku yang kosong dan menyadari tidak ada orang lain di sana, dia duduk. "Oke, lo sekarang bisa bicara."
"Gimana acaranya?"
"Gue cerita juga lo pasti nggak pengen ke sini juga. Cepetan."
"Gue barusan dapet telepon dari orang Revulsion. Rick," ada jeda di seberang sana, "unfortunately ... well ... lo dapet perannya, Rick!"
"Yes!" teriaknya spontan. Namun begitu menyadari dia terlalu kencang bersuara, Richard menutup mulutnya. "Lo yakin? Lagi nggak nge-prank gue, kan?"
"Lo kata gue kurang kerjaan nge-prank lo buat sesuatu kayak gini? Gue belum sinting kali, Rick."
Dengan lega, Richard menyandarkan punggungnya seraya mengusap wajahnya. "Ruri, gue nggak tahu harus ngomong apa."
"Yang pasti, traktir gue dulu sebelum lo traktir yang lain. Awas aja kalau lo sampai traktir orang lain duluan, gue nggak bakal terima. Terus, ya kayaknya lo musti ngurusin badan dikit, soalnya badan lo sekarang kan buff banget. Ini sih pendapat gue aja, tapi terserah produsernya juga, sih."
Richard mengangguk setuju. Kemudian, dia teringat satu hal. "Tapi tunggu, Ru. Tadi lo kenapa bilang 'unfortunately'? Kesannya kayak gue malang banget dapet peran ini." Dia menunggu jawaban dari Ruri karena satu kata tersebut tiba-tiba membuatnya sedikit was-was.
"Lo beneran mau denger sekarang?"
Dari intonasi suara asistennya itu, Richard menegakkan tubuh. "Ruri, kalau lo nggak cerita sekarang, gue bakalan ke tempat lo abis dari sini, nggak peduli lo udah tidur apa belum."
"Lo siap?" Terdengar Ruri menarik napas. "Lawan main lo, yang jadi Claudia, adalah Jazmine."
"Lo bisa ulangi lagi? Kali aja teilnga gue nggak denger jelas," pinta Richard.
"Jazmine Anjani bakal jadi lawan main lo di Revulsion sebagai Claudia. Udah jelas?"
Semua kebahagiaan yang belum genap sepuluh menit menguasai Richard, menguap dengan cepat. Mimpi buruknya sekarang benar-benar menjadi kenyataan.
"Gue lebih baik nunggu neraka jadi dingin daripada main sama cewek yang udah ngerusak reputasi gue!"
Yang tidak Richard sadari, Jazmine Anjani berjalan menuju tempatnya duduk dan dengan jelas mendengar setiap kata yang dilantangkannya sekalipun Jazmine sedang bicara di telepon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top