14 - JAZMINE


Sudah hampir lima belas menit, Jaz duduk di ujung tempat tidur. Rambutnya sudah tertata rapi, begitu juga dengan wajahnya yang tampak sempurna dengan riasan sederhana—kecuali bibirnya yang dipulas lipstik merah menyala. Mengenakan maxi dress berwarna hitam, Jaz sudah sangat siap meninggalkan rumah. Namun tubuhnya justru membeku. Bahkan sejak kemarin, Anggi harus beberapa kali menyadarkannya dari lamunan karena mendapati pikiran Jaz lebih sering mengembara.

Sebuah kebohongan besar jika Jaz menganggap kejadian di lift tidak memengaruhinya. Terlebih sesaat setelah dia masuk ke mobil dan benar-benar sendiri, semua ucapan Richard bergema dalam telinganya dan sejak itu, dia seperti terkena hipnotis. Fakta bahwa tidak ada satu pun kalimat yang meluncur dari mulutnya begitu Richard selesai memberikan penjelasan adalah bukti dia terlalu kaget untuk bereaksi.

Terlepas dari rasa tidak suka yang menumpuk, ada satu hal yang harus diakui Jaz. Richard terlihat jauh lebih memesona dari jarak yang begitu dekat. Tidak adanya orang lain di lift justru semakin menguatkan pesona dalam diri Richard hingga sempat memunculkan bayangan tidak senonoh yang langsung ditepis oleh Jaz. Jantungnya berdegup sangat kencang saat pria itu bicara tepat di hadapannya. Andai tidak ada benci yang menjembatani mereka, Jaz yakin, dia pasti menyerah pada pesona pria itu.

Tubuh Jaz tersentak saat ponselnya berdering. Mengembuskan napas lega, dia melihat nama Daniel pada layar. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, dia mengangkat panggilan itu.

"Malem, Daniel."

"Selamat malam, Jazmine. Aku sudah sampai di depan rumah kamu, cuma aku nggak yakin berhenti di rumah yang benar."

"Gue keluar sekarang." Dengan gesit, Jaz bangkit dari duduknya sambil menyambar clutch begitu dia mengakhiri panggilan dari Daniel. Jaz menatap bayangannya di cermin sekali lagi, memastikan dandanannya sesuai sebelum dia keluar dari kamar. Dalam hati, dia bersyukur Daniel menggagalkan lamunannya tentang Richard.

Ketika Jaz akhirnya membuka gerbang, dia mendapati Daniel sudah keluar dari mobil. Pria itu tersenyum dan dalam hitungan detik, sudah berada di depan Jaz. "Thank God it was the right number."

"Lo nggak bakalan nyasar kalau ke sini."

"Aku tahu, cuma ingin memastikan aku nggak jemput orang yang salah." Daniel kemudian menatap Jaz dari kepala hingga ujung kaki. "You look beautiful tonight."

"Makasih, Daniel. Lo juga keliatan ganteng. Nggak malu jalan sama gue?"

Kening Daniel berkerut. "Malu karena apa? Yang ada aku malah bangga perempuan secantik kamu mau jalan dengan pria membosankan seperti aku."

"Lo yakin lo ngebosenin?"

"Based on a few women who dumped me," jawabnya singkat.

"Berarti mereka goblok."

Mendengar itu, Daniel tertawa. "Shall we?"

"Mau ke mana memangnya?" tanya Jaz ketika Daniel bersikeras membukakan pintu untuknya. Dia kemudian menunggu hingga pria itu duduk di kursi pengemudi untuk mendapatkan jawaban.

"Sudah pernah ke Le Jardin?"

Jaz mengangguk. "Sekali waktu awal-awal mereka buka. Setelah itu, gue belum pernah balik ke sana lagi."

"Nggak keberatan kan aku ajak ke sana?"

"Of course not! Lo pikir gue nganggep Le Jardin kayak apa? Tenda kaki lima sampai harus keberatan?"

Lagi-lagi, Daniel tertawa. Kali ini lebih lepas dan menunjukkan lesung pipinya. "Glad to hear that."

"By the way, gue punya pertanyaan, tapi kalau lo nganggep itu terlalu personal, nggak usah dijawab." Setelah sepuluh menit meninggalkan rumah dan mengisi percakapan dengan hal-hal ringan, Jaz merasa sudah datang saatnya dia menyinggung topik yang sedikit lebih serius.

"Tanya saja, Jaz."

"Nama lo bule banget—kecuali nama belakang—dan muka lo juga, tapi bahasa Indonesia lo nggak ada logat bulenya. Lo produk lokal apa internasional?"

Senyum di bibir Daniel mengembang cukup lebar. "Mama punya darah Jepang-Italia, sementara Papa orang Bandung. Mereka ketemu saat Papa ada training dari perusahaannya di Roma selama enam bulan. They fell in love, had a long distance relationship, before they finally got married. Aku lahir di Jakarta dan besar di sini sampai lulus SD, kemudian Papa dapat kerjaan di Chicago, jadi kami semua pindah ke sana. Cuma aku nggak mau kuliah di Amerika, jadinya aku milih kuliah di London, terus tinggal di sana selama hampir enam tahun, sehabis itu pindah ke Milan selama lima tahun, di Jepang tiga tahun, terus memutuskan kembali ke Jakarta karena aku kangen Indonesia." Daniel mengalihkan pandangannya sesaat ke Jaz. "Semoga aku nggak terdengar seperti pamer, ya? I know it sounds like I'm bragging."

"Gue nggak nganggep lo kayak gitu. Justru gue iri lo udah tinggal di banyak tempat dan ngerasain banyak culture."

"Sebenarnya, nggak seindah yang dibayangkan orang kok, Jaz. Aku harus sering beradaptasi dengan lingkungan yang baru, dan ketika di Chicago, aku paling beda sendiri. Orang bingung memberi aku label karena aku bukan orang kulit putih, tapi juga bukan orang Asia murni. It wasn't fun, but I survived. Semoga aku nggak bikin kamu bosan, ya?"

"Kalau lo ngebosenin, pasti gue bilang. Nggak perlu khawatir."

"Kamu sendiri bagaimana, Jaz?"

"Seratus persen Indonesia. Mama orang Semarang, Papa orang Bogor. Cuma udah tinggal di Jakarta dari lahir," jelas Jaz singkat. "Apakah karena lo lama di luar negeri, jadinya bahasa Indonesia lo formal begitu? Nggak bisa ngomong bahasa Indonesia kayak gue?"

"Aku nggak mau menggunakannya sebagai alasan, tapi kamu benar." Daniel kembali memandang Jaz. "Aku terdengar seperti komedian tiap kali mencoba bicara dengan bahasa informal. So I stick to the formal one. Beruntung Papa selalu bicara bahasa Indonesia denganku, makanya aku masih cukup lancar bicara, meskipun kesannya kaku. Aku juga mulai baca-baca buku bahasa Indonesia supaya ingatanku kembali dan juga supaya lebih lancar bicara."

Jaz mengangguk paham. "Buat gue sih bahasa Indonesia lo cukup. Orang-orang bakal ngerti lo ngomong apa."

"Masih banyak yang mengira aku bukan orang Indonesia." Daniel mengedikkan bahu. "Makanya aku nggak pintar menawar, padahal waktu di Italia, aku paling suka belanja di pasar."

Mau tidak mau, tawa Jaz pecah juga mendengar satu komplain kecil dari Daniel. "Lo jangan samain juga pasar di Eropa sama pasar di sini. Nggak bermaksud ngecilin hati dan jelek-jelekkin negeri sendiri, tapi lo bakal jadi sasaran empuk, bukan cuma dikasih harga mahal, tapi juga bikin copet seneng liat lo."

"Senang melihatku? Kenapa?" tanya Daniel penuh dengan kebingungan.

"Daniel, muka lo itu udah bule banget, plus muka lo jenis muka-muka yang lebih suka nongkrong buat brunch di restoran mahal daripada ngiterin pas—"

"Apa itu ngiterin?" potong Daniel dengan ekspresi bingung yang sama.

"Muterin, jalan-jalan," balas Jaz cepat. "Nggak peduli lo mau pake baju gembel pun, muka mahal lo nggak bisa bohong."

"Jaz, aku nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku jauh lebih suka tampil sederhana."

"Sederhana versi lo itu seperti apa? Tetep pake Hugo Boss, kan? Atau Ferragamo? Yah, minimal mungkin lo pake Fred Perry. Lo jelas nggak mungkin pake celana kolor yang nggak ada merknya yang harganya seratus ribu dapet tiga, kan?"

"Well, you got a point," ucap Daniel mengaku kalah. "Kita bisa berhenti bahas soal aku, ya? Aku yakin kamu lebih punya banyak cerita menarik sebagai aktris." Dia memandang Jaz. "Aku belum punya waktu buat nonton serial kamu. But I promise I will."

Tidak biasanya Jaz berkenalan dengan pria yang tidak tahu siapa dirinya, jadi ucapan seperti itu sangat jarang dia dengar. Namun mengetahui Daniel berniat menonton serial yang dibintanginya, hal itu cukup untuk menerbitkan senyum di wajah Jaz. Hal kecil, tapi membuat hatinya hangat.

"Siapin aja catetan buat bikin daftar betapa cringe-nya serial yang gue bintangin."

Daniel menggeleng seraya tersenyum. "I don't think I will need that."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top