13 - GETTING STUCK


Hal pertama yang akan dilakukan Jaz sesampainya di rumah nanti adalah berteriak sekencang mungkin di kamar dan menghabiskan tenaganya dengan melempar bantal serta gulingnya ke seluruh sudut kamar. Dia perlu melampiaskan emosi yang tanpa pilihan harus dikekangnya atas nama profesionalitas. Jaz mengeluarkan semua kemampuan aktingnya demi menyembunyikan segala perasaan tidak suka yang langsung mencuat begitu melihat Richard Ackles di tempat yang sama. Hatinya tentu saja berontak, tapi Jaz tidak memiliki pilihan lain.

Keduanya harus menjalani chemistry test untuk Revulsion.

Ingin rasanya Jaz balik badan dan melepaskan kesempatan hanya karena kehadiran Richard. Selama beberapa detik, dia benar-benar tidak peduli dengan masa depan atau kesempatan. Beruntung logikanya masih sanggup menyadarkan Jaz bahwa penyesalan besar sudah menunggu dia jika melakukannya. Maka dengan satu tarikan napas, dia bersikap sangat manis di depan casting director, dan tentu saja, sikapnya tersebut sempat membingungkan Richard. Namun dalam hitungan detik, pria itu sepertinya juga sadar betapa penting peran ini untuk karir mereka berdua.

Demi adegan romantis, Jaz berusaha kerasa membayangkan pria yang sedang dipandangnya adalah Benedict Cumberbatch. Jaz hanya khawatir, jika fokus menatap Richard, bukan ekspresi bahagia yang akan terlihat melainkan perasaan ingin melayangkan tamparan dan caci maki. Namun saat adegan Brian dan Claudia bertengkar, Jaz melampiaskan kebenciannya melalui frustasi yang dirasakan Claudia. Selepas adegan itu, suasana di ruangan menjadi sangat hening. Jaz menganggap itu adalah respon yang baik, terlepas anggapannya benar atau tidak.

Begitu mereka dipersilakan pergi, Jaz tidak menunggu lama untuk segera menjauh dari keberadaan Richard. Sekalipun masih harus berpura-pura—setidaknya sampai dia berada di mobil—ada perasaan tidak sabar yang menguasainya. Semakin cepat dia jauh dari pria itu, semakin baik untuk kesehatan mentalnya.

"Hey!"

Jaz tidak perlu berhenti untuk mengenali suara itu. Bahkan tanpa melihat sosoknya pun, Jaz tahu siapa yang memanggilnya. Enak aja manggil tanpa nama. Dikiranya dia siapa bisa seenaknya manggil orang pake hey gitu aja? gerutu Jaz dalam hati. Dia pun melanjutkan langkah menuju lift dan mengulurkan tangan untuk menekan tombol turun. Dari sudut matanya, dia bisa menyaksikan Richard semakin mendekati tempatnya berdiri.

"Lo bisa jadi cewek beneran di dalam sana, kenapa nggak lo pertahanin sikap kayak gitu? It suits you well. Jauh lebih manis dan normal."

Sekalipun kalimat Richard terdengar jelas, Jaz tidak ingin meladeninya. Dia bahkan tidak tahu apakah kata-kata yang diucapkan pria itu merupakan sebuah pujian atau ejekan. Jaz sangat yakin, pria seperti Richard hanya akan memberikan pujian jika ingin menyeret perempuan lain ke tempat tidur. Tanpa disadari, Jaz mendengus pelan. Sudah jelas perkataan Richard merupakan sindiran yang artinya kurang lebih sama-sama menyebutnya sebagai perempuan mirip preman.

"Gue bukan Claudia," balas Jaz singkat tanpa sejenak pun mengalihkan pandangan ke arah Richard.

Duh, ini lift lama banget, sih? Semakin lama di sini, kesabaran gue semakin menipis, gerutu Jaz dalam hati.

"You should be. She's a lot nicer than you."

Tuh, kan? Dia cuma mancing emosi gue aja, berharap gue bakal kehilangan kendali, terus nggak dapet peran Claudia. Cuih! Jaz terus menatap angka yang sepertinya bergerak sangat pelan di atas pintu lift. Jaz mengetukkan kakinya di atas karpet tanpa ada keinginan menatap Richard yang sepertinya menikmati pancingan demi pancingan dalam kalimatnya.

Begitu pintu terbuka, Jaz bergegas masuk. Yang tidak dia sangka, Richard melakukan hal yang sama. Jaz berniat untuk keluar, tapi pintu lift terlanjur tertutup. Menelan ludah, dia benar-benar perlu menyucikan diri sesampainya di rumah nanti. Mungkin mandi kembang tujuh rupa yang sekaligus mengusir sial karena sudah bersentuhan dengan pria itu. Mimpi buruknya benar-benar menjadi kenyataan sekarang.

Demi Tuhan, Jaz berusaha sangat keras menahan umpatan, tetapi rasa sabarnya ternyata sudah mengering.

"LO NGAPAIN IKUT MASUK?" tanya Jaz dengan nada meninggi dan menatap lekat wajah Richard yang terlihat begitu santai. "SENGAJA MAU MANFAATIN SITUASI?"

"Ini lift buat publik, kan? Gedung ini bukan punya lo, kan?"

Jaz sudah menyiapkan balasan balik ketika tiba-tiba lift yang mereka tumpangi berhenti bergerak.

Meski bukan pertama kali terjebak di dalam lift, dia sungguh tidak sudi terperangkap bersama pria mesum seperti Richard. Jaz berusaha tampak tenang dan tidak dikuasai panik.

"Ini kesempatan yang lo tunggu, kan? Mumpung nggak ada yang bakal denger teriakan gue."

Dengan lantang, Jaz menantang Richard demi menutupi panik yang mulai merambat. Dia sangat hafal pikiran seperti apa yang terlintas dalam otak pria seperti Richard. Pria yang akan mengambil kesempatan dengan gesit, tanpa memeduilkan situasi dan kondisi. Inilah kesempatan yang paling pas bagi Jaz untuk membuktikan teorinya. Dia akan menjadi orang pertama yang bersorak jika Richard gagal menjadi lawan mainnya di Revulsion.

"Lo bilang apa?"

Niat Richard supaya mereka sedikit berdamai, luruh begitu mendapatkan tuduhan dari Jaz. Dia tidak habis pikir kenapa perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift ini punya pendapat dirinya adalah pria mata keranjang. Namun satu ide tepercik dalam otaknya. Richard tersenyum tipis kemudian dengan langkah pelan, dia mengayunkan kaki mendekati Jaz, membuat perempuan itu sontak mundur hingga punggungnya terbentur dinding lift.

"Lo mau ngapain?"

Richard menelengkan kepala. "Bukannya lo tadi yang nantangin gue buat manfaatin kesempatan?"

Tanpa menunjukkan ragu, Richard meletakkan lengannya di kedua sisi Jaz. Dia menghalangi kesempatan Jaz untuk kabur, setidaknya dari perangkap yang dibuatnya. Ditatapnya perempuan yang mulai menampakkan gusar itu sebelum Richard memberikan senyum paling lebar. Dia mendekatkan wajah, tidak cukup dekat karena masih ada jarak yang lumayan di antara mereka. Namun ini adalah jarak paling dekat sejak pertemuan pertama mereka kali dulu—dia tidak menghitung kedekatan yang terjadi saat chemistry test berlangsung karena mereka sedang memerankan dua karakter, bukan diri mereka sendiri.

"Lo nggak perlu takut karena gue bukan cowok yang seperti lo bayangin," ucap Richard dengan intonasi yang sering membuat Ruri terdiam. Bukan karena keras, tapi karena tegas dan mustahil untuk dibantah. "Terlepas lo percaya atau nggak, gue masih punya hati. Gue nggak akan nyentuh cewek tanpa persetujuan mereka, apalagi pas mereka mabuk." Richard menggeleng. "That's not who I am or how my parents raised me." Menelan ludah, Richard berusaha supaya fokusnya tidak teralihkan oleh wajah eksotis dan bibir yang begitu menggoda untuk dicium. Belum lagi parfum yang dikenakan perempuan itu cukup manjur mengacaukan otaknya sejak mereka berdekatan sewaktu chemistry test tadi. "Gue emang benci sama lo setelah lo nampar gue di depan banyak orang. Nggak ada cowok yang mau dipermaluin kayak gitu. But you know what? Gue sadar, benci sama orang itu bikin capek. Jadi gue mutusin buat nurunin status dari benci ke ganggu banget alias lo itu annoying, mirip nyamuk. Annoying." Richard menjauhkan wajahnya, tetapi selamanya, dia akan terus teringat ekspresi yang diberikan Jazmine saat ini. "Kalau lo masih mau benci dan ngehancurin hidup gue, good luck. Bukan gue yang bakal rugi."

Dengan satu tatapan yang menghunus, Richard memundurkan badan sebelum dia mengalihkan pandangan dari Jazmine yang sepertinya tampak lega, terdengar dari embusan napas perempuan itu yang cukup keras. Richard lantas menyandarkan punggungnya dan menatap ujung sepatu, berharap monolog yang baru saja diucapkannya, bisa dicamkan baik-baik oleh Jazmine.

Richard berniat memencet tombol emergency ketika lift yang membawa mereka kembali bergerak. Tanpa berpikir panjang, dia menekan angka 2 supaya bisa menenangkan diri lebih dulu—dan juga supaya tidak keluar bersamaan dengan Jaz. Begitu bunyi ting terdengar dan pintu lift terbuka, Richard kembali memandang Jaz sebelum dia keluar dengan santai, meninggalkan perempuan itu seorang diri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top