11 - JAZMINE
Girls' night out yang dijanjikan Karin ternyata tidak sesuai dengan yang dibayangkannya alias membuatnya bosan setengah mati.
Selepas acara pembukaan butik Mandala Putra, Karin mengajaknya ke salah satu club yang cukup eksklusif. Letaknya yang memang jadi satu dengan hotel berbintang lima, menjadikan Jaz mau tidak mau harus tampil tanpa cela dari ujung rambut hingga ujung kaki. Suasana hatinya yang sebelum berangkat sedang baik, mendadak dikacaukan karena satu manusia.
Richard Ackles.
Dari semua pria yang bisa ditemuinya, Richard tentu saja berada dalam urutan paling akhir, tidak peduli jika daftarnya mencapai jutaan. Meskipun mereka tidak saling berhadapan, apalagi saling melempar celaan, melihat pria itu dari tempatnya berdiri—tepat setelah bicara dengan Mina di telepon—tetap membuat Jaz menahan geram. Dia benar-benar kesulitan mengendalikan emosi, tidak acuh dengan kebenaran yang berada di setiap kalimat yang dilontarkan Anggi dalam ceramahnya mengenai Richard Ackles.
Terlebih ketika Jaz menangkap senyum yang dilemparkan Richard sebelum pria itu pergi menjauh. Tidak ada ragu dalam diri Jaz bahwa senyum yang diberikan Richard bertujuan mengejeknya. Mulutnya bahkan sempat menganga tidak percaya sebelum dia sadar sedang berada di tempat umum. Dorongan mengejar Richard untuk mengonfrontasi arti senyumannya begitu besar, tetapi lagi-lagi, Jaz sadar banyak media di acara pembukaan butik Mandala Putra. Hal terakhir yang diinginkannya adalah masuk berita gosip. Dengan Richard Ackles. Ewww! seru Jaz dalam hati.
Jaz sebenarnya ingin langsung pulang, tapi ajakan Karin sulit ditolak. Dia perlu berada di keramaian agar nama Richard tenggelam sedalam-dalamnya. Maka dengan beberapa teman—sekalipun tidak dekat, tapi Jaz mengenal mereka—Jaz berpindah ke lokasinya saat ini.
Sejujurnya Crescent Moon—nama club tempatnya berada sekarang—adalah satu dari sedikit tempat hiburan yang membuatnya nyaman. Kerumunan yang masih masuk akal, pilihan musik yang enak dan tidak bising, dan atmosfer yang membuatnya betah berada di sana hingga sering lupa waktu. Seperti sekarang, dia sedang duduk menikmati mojito-nya sementara pandangannya beredar ke seluruh penjuru klub. Jumat malam tidak membuat tempat ini menjadi penuh sesak. Teman-temannya sudah turun ke dance floor dan Jaz masih mengumpulkan niat.
Jaz berniat menuju ke toilet sekadar memastikan dandanannya masih tampak flawless ketika tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Keduanya sama-sama terkejut sedangkan Jaz merasakan tumpahan minuman pada gaun yang dipakainya. Begitu menyadari yang membasahi gaunnya adalah red wine, Jaz bersiap mengeluarkan bermacam caci maki untuk siapa pun yang telah menumpahkan minuman ke bajunya.
Namun makian tersebut tertahan di tenggorokan saat dia melihat pria yang berdiri di depannya. Jaz mengenal tatapan bersalah dari wajah pria itu.
"I'm so sorry!"
Hanya dari permintaan maaf yang terucap dari pria yang ditaksir Jaz bukan orang Indonesia itu, dia mengambil kesimpulan bahwa kejadian yang baru saja menimpa mereka jauh dari sebuah kesengajaan. Untuk alasan yang sulit dipahami Jaz, dia bisa merasakan pria itu benar-benar menyesal.
"Here!" Dengan cekatan, pria itu melepas jaket yang dipakainya dan menyodorkannya ke Jaz. "Aku nggak mau bersikap kurang ajar dengan mencoba mengeringkan bagian baju kamu yang basah. Tapi setidaknya, semoga ini bisa sedikit mengurangi dingin."
Tatapan Jaz masih belum beralih dari sosok di hadapannya. Jika sebelumnya dia yakin pria di depannya bukan orang Indonesia, kalimat yang diucapkannya baru saja mematahkan itu. Bahasa Indonesianya terdengar lancar, bahkan Jaz tidak mendengar sedikit pun logat yang biasanya identik dengan orang asing tiap kali berbicara bahasa Indonesia. Hanya saja, bukan itu yang membuatnya tertegun. Jaz sampai harus berdeham pelan supaya dia tidak terus-terusan memandang pria itu.
"Gue baik-baik aja. Permisi, gue mau ke toilet."
"I'll be here."
Sekalipun bingung, Jaz mengabaikan balasan pria itu untuk menuju toilet. Beruntung sesampainya di sana, tidak banyak perempuan lain yang sedang menggunakannya.
Dengan pelan, Jaz berusaha mengeringkan bagian yang kena tumpahan wine—dia sangat mengenali bau minuman itu—dan merasa sedih harus mencampakkan gaun hijau muda ini ke tempat sampah sesampainya di rumah nanti. Tidak peduli sekeras apa pun usahanya, noda yang ada di gaun ini tidak akan bisa hilang. Ingin rasanya dia menanggalkan gaun ini untuk benar-benar mengeringkan tubuhnya, tetapi selain tidak membawa baju ganti, ide berganti pakaian di klub cukup membuatnya mengernyit.
Setelah yakin bagian yang basah tadi sedikit lebih kering, Jaz merapikan rambut dan dandanannya sebelum kembali ke meja. Langkahnya sempat terhenti karena pria itu menepati janji untuk tidak pergi ke mana-mana.
"Masih di sini?"
Pria itu tampak kaget dengan pertanyaan Jaz karena dia kemudian mengalihkan pandangan dari ponsel yang ditekurinya. "Aku tadi bilang akan tetap di sini, kan?"
"Buat apa?" tanya Jaz bingung.
"Karena aku merasa perlu melakukan lebih dari sekadar minta maaf." Dia lantas memotong jarak yang ada di antara mereka. "Aku perlu mengganti gaun kamu. Aku tahu nodanya nggak akan hilang." Pria itu mengecek arlojinya. "Aku tahu ada beberapa shop di hotel yang belum tutup. Shall we—"
"You don't need to buy me a new dress," potong Jaz. Tidak peduli betapa baik niat pria ini, Jaz tidak akan menerima sesuatu dari orang yang baru dikenalnya. Lagipula, dia tetap perlu waspada. Bagaimanapun juga, pria ini tetaplah orang asing.
"Please?" Seolah menyadari jalan pikiran Jaz, pria itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dompetnya dan mengulurkannya ke Jaz. "Itu kartu namaku. Kamu bisa telepon ke sana untuk memastikan aku nggak akan melakukan hal yang aneh-aneh, jika memang itu yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin bertanggung jawab."
Mengulurkan tangan, Jaz menerima kartu nama yang disodorkan kepadanya. Matanya menangkap nama yang tertulis di sana DANIEL PAOLO WIJAYA beserta posisi yang tertulis di bawahnya CHIEF MARKETING OFFICER. Perusahaan tempat Daniel bekerja tidak cukup familier di telinga Jaz hingga dia mengabaikannya. Menelan ludah, Jaz kemudian mengangkat wajah untuk menatap pria yang akhirnya bisa dia panggil dengan nama.
"Aku tunggu jika kamu mau telepon ke kantor lebih dulu."
Persistensi Daniel meyakinkan Jaz bahwa pria itu mengatakan yang sesungguhnya. Jaz menggeleng. "Gue percaya."
Senyum di wajah Daniel tersungging bersamaan dengan lengannya yang terulur. "Rasanya nggak sopan kalau aku belum mengenalkan diri secara langsung. I'm Daniel, you can call me Dan, Danny, or Dani. Terserah kamu."
Jaz pun menerima uluran tangan Daniel. "Gue Jazmine, tapi lebih sering dipanggil Jaz," terangnya. "Nice to meet you, Daniel."
"You have such a beautiful name."
"Beneran, lo nggak perlu beliin gue baju. No offense, tapi gue nggak terima hadiah dari orang yang baru gue kenal. Gue nggak tahu apakah lo bakal minta macem-macem ke depannya."
"Bisa dipahami, tapi seenggaknya, kamu bisa terima jaketku supaya nggak kedinginan?" Daniel kembali mengulurkan benda yang dia sampirkan di lengannya yang lain. "Please?"
Menatap wajah Daniel yang memohon, akhirnya Jaz menyerah. Dia pun menerima jaket pria itu dan langsung mengenakannya. Meski tidak mengenali aroma yang tercium dari jaket tersebut, Jaz menyukainya dengan segera. "Puas?"
Daniel tertawa, menunjukkan lebih jelas lesung pipinya yang sebelumnya tidak begitu diperhatikan oleh Jaz. "Lebih cocok dipakai kamu."
"Apakah ini cara lo supaya gue balikin jaket lo kemudian hari?"
Pertanyaan itu mendapatkan kerutan kening dari Daniel. "Maksudnya?"
"Yah, trik lama cowok supaya bisa ngajak nge-date cewek," jelas Jaz singkat.
"Oh no! Sama sekali nggak!" seru Daniel cepat. "Aku benar-benar nggak ingin kamu kedinginan. Kalau kamu nggak mau mengembalikan jaket itu, aku sama sekali nggak keberatan. Tolong jangan salah sangka. Nggak ada sedikit pun niat tersembunyi."
Jaz mengamati Daniel lebih saksama selepas pria itu menjelaskan niat yang hanya bisa dilabeli Jaz sebagai sebuah ketulusan. Maka dia pun mengangguk, memberikan Daniel benefit of the doubt.
"Lo mau nemenin gue minum?" Ajakan itu spontan terucap dari mulut Jaz.
"Are you sure?"
"Gue nggak bakal ngajakin kalau nggak yakin. Kecuali lo ke sini sama temen-temen atau cewek lo, then you should say no."
"I'll buy the drink, then. Deal?"
Senyum di wajah Jaz mengembang. "Deal!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top