9th
Kalau kau kehilangan arah,
Aku akan menjadi kompasmu.
Kalau kau tersesat,
Aku akan mencarimu.
***REVIVE***
Namaku Regina, tanggal lahirku 31 Oktober. Umurku 17 tahun mendekati 18 tahun bulan depan. Golongan darahku adalah O. Tinggi badanku 160 cm dan berat badan tidak perlu dibicarakan.
Selama bersekolah dulu, aku punya banyak teman yang menyenangkan, guru-guru yang menyayangiku, dan orangtua yang mencintaiku. Hidupku sebenarnya sudah lengkap dan bahagia meskipun aku sudah tahu bahwa orangtuaku saat itu bukanlah orangtua kandungku, atau kabar tentang perusahaan lelaki tua yang sudah gulung tikar itu. Hidupku sebenarnya baik-baik saja.
Selama tujuh belas tahun, aku menjalani hidupku dengan normal dan tidak ada beban berat yang pernah kuemban.
Baiklah, katakanlah aku pernah punya masalah dengan seorang gadis yang tak pernah menyukai keberadaanku. Kata temanku yang lain, dia hanya iri padaku. Iri dengan kehidupanku yang menurutku teramat sempurna itu. Dan beberapa dari mereka mengatakan bahwa ia iri dengan rupaku yang sedikit ... hm, bagaimana menyebutkannya ya? Cantik?
Aku tidak sedang menyombongkan diri, percayalah. Tapi sepuluh orang yang melihatku akan mengatakan hal serupa. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya, lagipula rupa bisa berubah seiring berjalannya waktu.
Rupa tidak kekal.
Aku berharap itu berlaku untukku, semoga saja.
Semuanya berubah begitu saja. Diawali dengan kecelakaan yang menimpaku sebulan yang lalu. Kecelakaan membuat orangtua angkatku mengetahui sesuatu yang ada dalam diriku, sesuatu yang tidak ada pada manusia pada umumnya.
Aku sendiri baru tahu tentang hal ini. Kalau saja aku tidak pernah mati, semuanya akan baik-baik saja. Atau ... seandainya aku langsung mati, aku akan baik-baik saja.
Setelah penderitaan berat yang kuhadapi, aku berhasil lepas dari mereka. Aku bukanlah tipe penutup atau yang sering kita sebut sebagai tipe introvert. Tidak, aku masih terbuka dan tak sungkan membuka apapun yang bisa kubagikan.
Barulah aku menemukan Rex, lelaki yang ternyata adalah orang yang juga memiliki hal yang sama sepertiku. Dan..., aku baru saja melihat itu di depan mataku.
"Kita ini ..., bukan manusia."
Bibirku terkatup rapat, aku benar-benar tidak tahu bagaimana merespon kalimatnya. Semuanya terasa tidak logika, ini di luar nalar, meskipun aku tahu bahwa aku punya sesuatu yang aneh dan tidak bisa dibandingkan dengan manusia lainnya.
Tetap saja, aku punya banyak pertanyaan di benakku yang sedaritadi menuntut keluar dan tidak langsung kuumbarkan karena masih belum dapat menerima kenyataan ini.
"L-lalu? A-apa?"
Rex menutup pintu kamarnya. Kami berdiam di luar pintu itu selama beberapa saat. Ia lalu bersandari di pintu kamarnya dan terlihat berpikir keras. Sepertinya dia sedang menyusun kata-kata yang tepat agar aku langsung memahami perkataannya.
"Kita ini mirip dengan sejenis cacing planaria," ucapnya yang membuatku mengernyit sejenak. "Kau pasti tahu kalau kita ini tidak bisa mati. Apalagi setelah kejadian di tempat makan itu," cibirnya terlihat tak senang.
Aku tidak berkomentar, kata-kata yang pernah dilontarkannya kepadaku membuatku membeku. Aku benar-benar menyesalinya, setelah dia dengan baik hatinya mengajakku pergi dan memperingatiku hari itu.
"Ada tiga sifat manusia yang sebenarnya mengerikan. Kau harus benar-benar mempelajarinya," ujarnya sambil menyilangkan kedua tangannya. "Pertama, manusia itu serakah. Lihat saja Ayah dan Ibu-mu yang terus-terusan membunuhmu, menjual organ-organ tubuhmu dan memasak dagingmu. Meskipun sudah mendapatkan banyak uang, mereka tetap saja melakukannya lagi." Rex berhenti berbicara. "Ah, atau aku harus bilang, orangtua angkatmu?"
Tubuhku tersentak. "Darimana kamu mengetahui itu?" tanyaku sambil memincingkan mataku menatapnya curiga.
"Mengetahui yang mana?" tanyanya balik.
"Soal mereka yang merupakan orangtua angkatku?"
"Karena kalau mereka orangtua kandungmu, mereka tidak akan membunuhmu begitu, kan? Dan menurutmu, bagaimana kau bisa begini sementara mereka berdua normal?"
Aku tidak suka dengan dua hal yang diucapkan Rex barusan. Pertama, mereka berdua tidak normal. Mereka gila. Kedua, orangtua kandungku mungkin tidak menginginkanku, karena itulah aku berada di panti asuhan, kan?
"Lalu, darimana kau tahu soal aku yang diperlakukan begitu?"
"Akan kuceritakan nanti, oke? Kedua, manusia itu tidak pernah merasa puas. Mereka yang sudah memakan apapun yang ada unsur dirimu di dalamnya akan merasa sehat bugar, dan kau akan merasa semakin lemas. Orangtua-mu pasti menyadari itu dan tetap saja mereka menyiksamu tanpa mempedulikanmu."
"Aku tidak tahu apa yang kamu lihat sampai-sampai kamu bisa tahu semua itu."
Rex menggeleng kecil. "Tidak banyak," ucapnya.
"Lalu, apa satu lagi sifat manusia yang kamu anggap mengerikan itu?"
"Yang ini ..., yang paling berbahaya, Regina." Rex berbicara dengan nada serius. "Mereka..., sangat pandai menyembunyikan jati diri mereka yang sebenarnya."
Aku yang menyadari semua kata-katanya benar pun hanya bisa terdiam meratapi pertanyaan-pertanyaan yang terus kupertimbangkan dalam hati setiap mereka membunuhku. Seperti, dimana hati nurani mereka? Atau hal-hal menyedihkan yang tidak akan mungkin bisa dijawab bahkan sampai saat ini.
"Orang yang mempunyai kemampuan ini di dunia ini hanya ada kita berdua. Aku dan kau," ucapnya sambil menunjuk kami dengan jempolnya bergantian. "Planaria ..., apa kau pernah mendengarnya?"
"Tidak," jawabku jujur.
"Apa saja yang kau lakukan saat di sekolah dulu?"
"Aku masuk jurusan sosial, oke?" balasku sambil memutar bola mataku kesal.
"Kalau begitu, apa kau tahu tentang cacing planaria? Cacing ini bisa hidup meskipun tubuhnya terpotong. Aku akan memberi perumpamaan, karena sepertinya kau terlalu bodoh untuk mencerna ini."
Aku mendesis. "Tidak perlu memberitahuku alasannya. Katakan saja perumpamaannya!"
"Misalnya ini cacing planaria." Rex memungut sehelai rambutku yang terjatuh. "Aku memotong nya menjadi dua bagian." Rex menarik sehelai rambutku itu hingga terputus. "Maka kedua bagian ini ..., bisa tumbuh dan hidup kembali. Mereka melakukan regenerasi."
"Jadi mereka tidak bisa mati?" tanyaku.
Rex berdecak. "Bisa. Tapi kalau misalnya tubuhnya terpotong sebelum waktunya dia untuk mati, maka bagian tubuh lainnya bisa hidup lagi. Tapi bedanya kau melakukan regenerasi setelah kau terbunuh dan bagian dirimu yang terakhir akan menciptakan dirimu yang baru."
"Oh, aku mengerti sekarang!" Aku menjentikan jariku dengan semangat. "Lalu? Bagaimana caranya agar aku bisa mati?"
"Kau ingin mati?" tanyanya tak percaya.
Aku ingin mengangguk, tetapi aku malah menggeleng di depannya. "Aku hanya penasaran. Kalau misalnya rambutku terus rontok, berarti aku harus mengumpulkan semua rambutku di bumi ini?"
"Ya. Tapi pada dasarnya memang, kita mati dan kita akan hidup kembali. Jadi, itu namanya mati atau bukan? Lagipula di kasus cacing planaria yang sebenarnya, kedua tubuh yang terpisah punya peluang mati. Di kasus kita tidak, kau akan hidup lagi. Tubuhmu juga tidak akan hidup 'berdua'. Aku hanya bilang bahwa kita mirip dengan cacing planaria dan bukan berarti serupa. Mengerti, kan?"
Tubuhku melemas mendengar perkataannya. Aku sudah membayangkan bagaimana bosannya hidupku ke depannya. Aku pernah membaca buku biografi seseorang—yang aku lupa namanya. Sepertinya orang itu menuliskan sesuatu panjang lebar dan aku hanya dapat menangkap inti dan maksud dari penjelasannya. Pokok intinya, dia sudah bosan hidup dan ingin tahu tentang kemana jiwa manusia yang telah mati.
Pemilik biografi itu baru tujuh puluhan—sepertinya, dan dia sudah bosan. Apalagi aku yang terus menetap di sini sampai selamanya. Kurasa dari abad dua puluh satu sampai aku bisa melihat teknologi yang makin maju dan canggih dengan diriku yang bisa menjadi rekor manusia yang paling tua dan paling menua. Ugh, aku tidak bisa membayangkan gambarannya!
"Kenapa wajahmu pucat begitu?"
Aku menatapnya horror yang tampak tak mempermasalahkan hal itu, atau mungkin hanya aku yang berpikir terlalu jauh dan kritis?
"Kita bakal berada di bumi ini selamanya dan menikmati hidup kita yang membosankan?!"
Rex menggangguk dan tersenyum miring. "Kalau begitu, kau bisa mulai mencari sesuatu yang bisa membuatmu tidak bosan."
"Aku tidak mungkin bisa menemukannya," ujarku pesimis.
Lagipula kalau kalian yang berada di posisiku, kalian juga pasti akan berpikiran dengan hal yang sama denganku, kan? Bagaimana bisa kalian menemukan sesuatu yang bisa membuatmu tidak bosan dan terus ingin melanjutkan hidupmu? Itu tidak logika. Bukannya kata orang hidup ini harus punya tujuan?
Tidak mungkin kamu hidup sampai seratus tahun dan belum mendapatkan tujuan itu, kan? Ini sungguh tidak masuk akal.
"Pasti bisa. Cari saja dulu," ucap Rex datar. Rex menarik kembali pergelangan kiriku dan membawaku ke depan pintu coklat yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya. "Ini kamarmu mulai hari ini."
"Tunggu, aku akan tinggal di sini?"
"Lalu kau mau kemana?" Dia menatapku sinis. "Kalau kau masih tidak percaya padaku, langsung saja tusuk aku," ucapnya sambil melirik pisau yang ada di tanganku.
"Mengapa kamu selalu menyudutkanku dengan menyuruhku membunuhmu?" tanyaku sambil memincingkan mataku. "Lagipula setelah aku membunuhmu, kamu akan hidup kembali. Bukankah itu sama saja?"
"Yah, setidaknya kau bisa membalasku dengan melukaiku. Itu cukup, kan?"
Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju. "Kurasa cukup," ucapku ragu. "Oh iya! Kembali ke pertanyaan tadi. Darimana kamu tahu tentang aku yang, uhm, diperlakukan dengan buruk oleh mereka?"
"Sup itu memiliki bau yang sama denganmu," jelasnya. "Mengenai organ tubuh..., entahlah, aku hanya menebaknya saja."
Aku hanya bisa mengembungkan sebelah pipiku. Benar-benar bukan jawaban yang memuaskan. Bagaimana mungkin dia bisa menebak semuanya dengan benar?
"Mungkin kamarmu akan berbau bangkai. Mayat itu sudah seminggu berada di sana."
"Kenapa kau tidak segera menyingkirkannya?" tanyaku.
"Aku sedang menelitinya, cukup sulit sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan darah dan organ lainnya. Semuanya hampir mirip dengan milik manusia normal," ungkapnya, "Kalau kau merasa terganggu, semprotkan saja pengharum ruangan yang ada di nakas."
"Oh, oke." Aku merenung di depan pintu coklat itu, larut dalam pemikiranku sendiri. "Rex?"
Rex berbalik menatapku. Aku tak percaya baru saja menghentikannya membuka pintu kamarnya. "Kenapa?"
"Apa ..., kamu sudah menemukan sesuatu yang membuatmu tidak bosan hidup?"
Rex tersenyum miring, lekukan senyumnya penuh dengan hal yang misterius. "Tentu saja sudah."
"Apa itu?"
Senyuman Rex tiba-tiba sirna. Wajahnya yang menyebalkan itu kembali lagi. Ia memutar bola matanya malas. "Mengapa tiba-tiba kau mencampuri urusanku?"
Aku buru-buru menggeleng. "Bukan, bukan. Kukira ..., kalau sesuatu itu adalah hal yang menyenangkan, mungkin kita bisa sedikit berbagi?"
Rex terlihat berpikir sejenak. "Akan kupikirkan."
Setelah mengucapkan itu, Rex memasuki kamarnya. Aku pun membuka pintu coklat yang ada di depanku dan memasuki ruangan itu. Aku hanya bisa mendecak kagum dengan perabotan-perabotan di sana yang benar-benar membuatku serasa berada di dalam sebuah kastil kerajaan.
Tampaknya Rex menyukai warna gelap, sebab hampir seluruh penjuru mansion ini adalah dominan warna hitam, merah dan hanya sedikit yang berwarna putih. Rasanya kristal lampu yang besar di atasku tidak akan sanggup untuk menerangi ruangan dengan wallpaper gelap ini.
Ck, ck, ck. Rex ini pasti orang yang sangat kaya.
Aku membuka sebuah pintu yang berada jauh di depan pintu coklat di belakangku. Aku meyakini itu adalah pintu balkon karena samar-samar aku dapat melihat sinar bulan di balik tirai hitam tipis yang berenda itu.
Sambil meratapi kamar baruku, aku terus memikirkan setiap hal yang disampaikan Rex. Aku benar-benar masih tidak menyangka sesuatu seperti ini akan terjadi padaku.
Semuanya, sama seperti saat aku menyadari bahwa aku akan terus hidup setiap aku mati. Aku akan merasakan kematian yang pahit dan harus mengulang kembali.
Semuanya terlalu ..., menyedihkan.
***TBC***
9 Juni 2017, Jumat.
Note
Hai semuaa! Adakah yang nunggu updatean cerita ini?
AKHIRNYA PHRAITELIS UPDATE SETELAH DUA BULAN GA UPDATE REVIVE. IYA SERIUS. HARI INI PAS DUA BULAN NIH. /pakai topi ultah /tiup lilin /peyuk balon /tebar bunga.
Oh ya, kalian lihat label di cover REVIVE? Iya yang merah itu //pls, cover revive emang merah.
Jadi sebenarnya aku pernah sampai di batas dimana aku beneran gakuat terima komen LANJUT, KAPAN UPDATE, LANJUT, KAPAN UPDATE dari kalian. Dan aku pasang on hold di AQUA dan REVIVE.
Nah kalau kalian peka, tau dong kalau REVIVE aku tarik hiasan [ON HOLD]-nya setelah pasang label itu?
Ah, aku tahu kalian ga nyadar, kalian kan ga peka//diinjek rame-rame.
BTW, itu adalah stiker Marathon Writing Month yang diselenggarakan oleh grup NPC untuk menguji membernya. Jadi kami harus pasang target nulis minimal 10K selama bulan juni. Iya, aku copot hiasan on hold dan nulis REVIVE biar bisa menuhin target. Ini waktunya uji nyali //nyalain senter.
Doain lancar yaaa. Jangan sampe next update malah dua bulan kemudian wkwkwk (?) //galucu, cin.
DAAAAN YANG RAJIN, cek reading list aku yang judulnya 'Peserta Ma(so)raton' yaa!
Thanks a lot buat 51.3K views dan 6.54K votes. Aku gatau kenapa naiknya bisa drastis gini, but yash, you guys are real amazing!
Big creepy smile, CINDYANA (a.k.a Ratu Paus).
🔪
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top