8th

Daripada hantu, aku lebih takut dengan manusia.

***REVIVE***

Bekerja di Pearl Cafe seharian ini lumayan melelahkan, meskipun memang tidak selelah saat aku masih di D'Delicioustar.

Tentu saja.

Di Pearl Cafe, aku tidak melayani semua pengunjung sendirian, tetapi juga oleh tiga orang lainnya. Ardan dan Arthur bergantian menjadi koki sedangkan Verlyn menjadi penjaga kasir. Terkadang Verlyn melayani tamu yang membicarakan soal penyewaan cafe selama semalam untuk acara dan sebagainya. Sudah dua kali Verlyn melayani orang semacam itu hari ini.

Berbanding terbalik dengan D'Delicioustar dimana aku harus melayani semua pengunjung sendirian, belum lagi saat aku dibunuh dan tenagaku akan terkuras habis begitu aku lahir kembali.

Bohong besar soal pepatah orang-orang yang merasa segar dan mengatakan, "Ah, aku seperti terlahir kembali." Tidak juga. Daripada mengerjakan tugas yang banyak, terlahir kembali lebih melelahkan.

"Verl, limabelas menit lagi aku off ya." Arisa memperhatikan jam yang sudah menunjukan pukul empat dengan ragu. "Hari ini dosennya galak."

"Hm, lagipula cafe sudah tidak terlalu ramai lagi kok," balas Verlyn sambil melirik beberapa orang yang kini tengah berbincang di depan makanan mereka yang telah habis.

Barulah aku tahu bahwa Arisa mengambil jadwal kuliah malam, mengenai jurusan, aku tidak tahu. Aku tidak akan menyangkal soal perasaan iri yang membesit kala melihat Arisa membuka binder dan membacanya dengan kerutan kening.

Itu membuatku teringat dengan beberapa bulan lalu saat aku masih menjadi salah satu mahasiswi di universitas x. Aku kecewa dengan diriku sendiri yang sempat menyia-nyiakan pelajaran, tugas bertumpuk dan juga presentasi yang membuatku sakit kepala, karena hidup seperti saat ini lebih membuat kepalaku dan seluruh tubuhku sakit.

Ardan dan Arthur sudah keluar dari dapur sejak pengunjung terakhir tadi keluar dari cafe. Wajah mereka benar-benar mirip. Aku salut dengan Andrea yang tadi langsung mengenali Ardan dalam sekali tengok saja.

"Kurasa kita tutup saja deh untuk hari ini." Verlyn berjalan ke arah pintu dan membalikkan gantungan close ke depan. "Hari ini bukan weekend. Kita nggak bakal untung banyak meskipun ada yang makan lagi."

"Ah, Regina. Kamu hanya bekerja sehari, yakin?" tanya Arisa menyayangkan, begitupun halnya dengan Andrea.

"Erm, i-iya," jawabku apa adanya.

Aku memang nyaman dengan Pearl Cafe. Tapi tetap saja aku akan terus merepotkan Verlyn jika aku tetap berada disini. Apalagi disaat Verlyn mengetahui kondisiku dan dia akan mengasihaniku. Aku tidak mau itu.

Sekarang masalahnya... bagaimana tidurku malam ini? Dan bagaimana hidupku besok?

"Lalu kamu mau kemana? Bukannya kamu..." Verlyn mengantung ucapannya dan menatapku perihatin.

"Tidak masalah, kok."

Verlyn menatapku ragu, dia berjalan ke arah kasir dan mengeluarkan selembar amplop dan dia langsung menjulurkan amplop itu kepadaku.

"Ini bayaran untuk hari ini."

"T-tidak perlu, Verl. Ini untuk yang tadi pagi saja. Itu sudah terlalu lebih untuk menyelamatkanku," ucapku cepat. Tentu saja aku merasakan perasaan yang tidak menyenangkan jika aku menerima bayaran yang tak pantas kudapatkan.

"Apa yang kamu lakukan juga sudah lebih, terima saja."

"Tidak, tidak perlu."

"Ambil."

Andrea berdecak kesal. "Ini kalau kalian lempar-lemparan lagi, uangnya buat aku aja deh," ujarnya dengan bibir mengerucut.

"Lalu kamu bakal ..., tinggal dimana?" tanya Verlyn kepadaku, mengabaikan ucapan Andrea tadi.

Aku mengigit bibir bawahku. Sejujurnya selama aku bekerja seharian ini, aku terus-terusan memikirkan hal yang sama. Dan untuk informasi, aku bukan tipe orang yang bisa mencari jalan keluar setelah memutar otak selama beberapa jam. Ya, sampai sekarang aku tak tahu apa yang harus kulakukan. 

Lalu, otakku dengan kurang ajarnya membisikan sesuatu.

...dan aku tak menemukan pilihan lain.

"Pinjami aku ponselmu sebentar, boleh?"

*

Dua jam setelahnya, sebuah mobil berwarna gelap parkir di depan Pearl Cafe yang pintu depannya sudah setengah tertutup oleh pintu besi. Seorang lelaki berpakaian hitam keluar dari mobil, itu membuatku, Verlyn, Arthur dan Ardan bangkit dari duduk kami setelah hampir dua jam aku mendengarkan mereka bercerita soal bagaimana pertemuan lima A dan sejarah pembentukan cafe.

KRING.

Aku bisa melihat lelaki itu dengan kacamata hitamnya. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam dan celana hitam panjang. Oh, dan rambutnya yang terlihat rapi. Dia nampak lebih formal daripada saat aku bertemu dengannya terakhir kali. 

"Itu temanmu?" bisik Verlyn padaku.

Aku melirik Verlyn dengan ekor mataku, lalu dengan berat hati menganggukan kepalaku.

"Maaf menganggu kalian."

Lelaki itu mendekat ke arah kami dan melepaskan kacamata hitamnya. Aku terus berdoa dalam hati, berharap bahwa memanggilnya saat ini bukanlah hal yang seharusnya tidak kulakukan.

"Ayo, Regina," ucapnya sambil bersiap melangkah pergi.

Manik abu-abunya mengintip dari ekor matanya.

Ya, ini dia lelaki hari itu.

Lelaki aneh yang pertama kalinya menolak sup D'Delicioustar dan meninggalkan nomor telepon. Juga lelaki yang sama dengan lelaki yang kutemui saat aku membuang sampah dan dia hampir membawaku pergi.

Aku ragu untuk mengikutinya, tentu saja. Tapi selama dua jam di sini dan aku mencoba memperkuat keyakinanku dengan langkah yang telah kutetapkan, aku seharusnya langsung mengikutinya pergi tanpa berpikir dua kali. 

Tapi bukan berarti aku menyerahkan semua kepercayaanku pada lelaki ini. Tidak bahkan jika insiden itu tidak pernah terjadi. Aku selalu belajar untuk tidak mengikuti sembarangan orang dan itu yang harus kulakukan untuk meyakinkan Verlyn dan lainnya bahwa saat ini aku aman. Mereka bertiga (minus Andrea dan Arisa yang sudah pergi kuliah) bahkan tak mengizinkanku keluar dari cafe, padahal alasanku hanya untuk melihat apakah temanku sudah datang atau belum.

Pokoknya, setelah sedikit jauh dari Pearl Cafe nanti, aku akan langsung meminta lelaki ini berhenti dan pergi darisana secepat mungkin.

Sebelum aku mengikuti lelaki itu, aku berbalik untuk membungkuk dalam-dalam ke Verlyn, Ardan dan Arthur. Bagaimanapun juga mereka telah berjasa karena telah menyelamatkan hidupku--ralat, menyelamatkan perutku.

"Terima kasih sudah berbaik hati menjaganya," ucap lelaki itu penuh hormat dan begitu berwibawa. "Terima kasih sudah menyelamatkannya."

Mereka menjawabnya dengan terbata-bata. Kharisma-nya luar biasa berkilau. Aku dalam hati bertanya-tanya, darimana nyaliku kemarin saat melawan ucapannya?

"Sa...sama-sama."

"Oh iya, aku ganti baju dulu," ucapku begitu menyadari bahwa aku masih memakai seragam Pearl Cafe. Tadi aku terlalu keasyikan mendengarkan obrolan seru mereka sampai lupa dengan hal ini. Memalukan.

Baru saja aku hendak masuk ke ruang ganti, lelaki itu menahan pergelanganku, lalu memberikanku sekantung paper bag yang dipegangnya sedaritadi. Aku bingung saat dia menyerahkannya begitu saja kepadaku. Aku bahkan sampai menaikan alisku dan dia menganggukan kepalanya.

"O-oke. Sebentar."

Aku memasuki ruang ganti dengan gugup. Saat aku membuka paper bag itu, aku terdiam saat melihat isinya, pakaian santai yang layak dipakai—daripada yang kotor dan berlumpur tadi. Tentu saja aku kebingungan soal ini, darimana dia tahu aku butuh pakaian ganti?

Aku langsung memakai pakaian itu dan ajaibnya, pakaian dan celana itu pas di tubuhku.

Saat aku keluar, Verlyn memelukku seolah kali ini kali terakhirnya melihatku. 

"Kamu hati-hati ya, jangan ketangkap lagi."

Tentu saja aku shock mendengarkan salam perpisahan yang dilontarkan Arthur, Ardan memberikan senyuman tipis. Mereka seperti mengetahui apa yang terjadi padaku.

"Jangan langsung percaya pada orang lain ya." Arthur menambahkan.

"Kamu punya Pin BB? LINE atau WA?" tanya Verlyn bertubi-tubi.

"M-maaf, aku sudah tidak memakai ponsel." Sejak kebangkrutan lelaki tua itu, tambahku dalam hati.

"Hubungi aku kalau kalian ingin bertemu dengannya, aku akan membawanya kemari," ucap lelaki itu yang membuatku meringis dalam hati.

Kalau begini bagaimana kaburnya?

"Hati-hati ya, kalian."

Aku mengangguk. "Ya, terima kasih, ya." Sekali lagi membungkukan badanku dan tersenyum lebar.

Begitu meninggalkan Pearl Cafe, lelaki itu membuka pintu mobil depan dan mempersilahkanku masuk.

"Kita akan bicarakan ini di rumah," ucapnya setelah melihat tatapan tajamku.

Rumah.

"Rumah?"

"Bukan di tempat makan itu. Tidak apa-apa, kan? Kurasa kau berhak tahu sesuatu yang kuketahui."

Aku memincingkan mataku menatapnya tajam. "Mengapa aku harus percaya padamu dan bagaimana aku bisa berasa aman bersama dengan orang asing?!"

Lelaki itu mengambil nafas panjang. "Sudah kubilang, aku mengenalmu. Aku mengenalmu dan kita bukan orang asing, mengerti?"

Barulah aku sudi memasuki mobilnya karena takut Verlyn dan lainnya mencurigaiku terlalu lama di luar bersama lelaki ini. Lelaki itu menutup pintu dan berjalan ke seberang mobil, di bagian pengemudi. Aku memeluk paper bag yang berisi pakaian penuh lumpur itu dengan gemas.

"Kita akan bicara, tapi jangan di depan cafe ini, bagaimana?"

"Oke," jawabku menanggapi.

Mobilnya bergerak, membuatku teringat kapan terakhir kali aku menaiki mobil. Getaran mobil itu mengingatkanku saat aku berada dalam efek obat tidur dan tiduran di jok belakang. Untung saja lelaki ini menyuruhku duduk di depan dan bukan di belakang, kalau iya, mungkin saja aku sudah menjerit heboh di belakang karena kembali mengingat trauma itu.

Mata lelaki itu fokus pada jalan besar yang tidak terlalu ramai itu. Kecepatan mobilnya normal, tidak cepat dan tidak lambat. Sesekali lelaki itu melirik ke arah spion kiri dan membuatku gelagapan. Mungkin saja dia melihatku tengah menatapnya serius.

Entahlah, tapi apapun yang akan dia katakan kepadaku nanti, aku yakin ada sesuatu yang salah dengannya.

"Siapa namamu?"

Lelaki itu melirikku, lalu tersenyum miring. "Bukannya kau tidak ingin tahu namaku, Nona?"

"Ya, sekarang aku ingin. Katakan saja," ucapku menggeram.

"Baik, baik." Dia terkekeh sejenak, lalu matanya kembali fokus ke depan. "Coba tebak."

Mataku terbelalak menatapnya tak percaya. Ada miliaran juta nama lelaki yang mungkin dimiliki oleh orang-orang di seluruh dunia dan dengan gilanya dia menyuruhku menebak salah satunya? Ini gila!

"Aku akan memberimu sedikit petunjuk," ujarnya setelah keheningan yang lumayan panjang. "Nama kita sepasang."

"Regino?" terka-ku dengan sedikit ragu.

Lelaki itu malah tersenyum mengejek disela fokusnya matanya menatap jalan. "Aku bilang sepasang, bukan dekat. Apa kau tidak tahu arti namamu?"

Aku menggeleng. "Tidak ada yang pernah memberitahuku."

"Kalau begitu aku yang akan memberitahumu," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan. "Regina itu artinya ratu, dari bahasa Latin."

Bola mataku langsung membulat sempurna. "Serius?! Berarti namamu Raja, ya?"

"Iya, tapi bukan itu."

"Jadi? Raja dari bahasa Latin? Maaf saja, aku tidak bisa bahasa Latin. Aku saja baru tahu arti namaku hari ini." Aku tersenyum lebar, sesungguhnya senang dengan arti namaku yang rupanya meninggikanku yang rendah ini.

"Namaku Rex."

"Oh, oke Rex," gumamku.

Kemudian sepanjang jalan kami kembali hening. Tidak ada di antara kami yang membuka topik setelah aku mengetahui namanya.

.

.

Waktu berlalu dengan cepat. Aku ingat bahwa aku keluar dari Pearl Cafe pukul tujuh dan sekarang jam digital di mobil telah menunjukan pukul sembilan malam. Latar yang ada di sekeliling sini kebanyakan pohon yang menjulang tinggi. Hutan gelap yang membuatku teringat dengan kejadian kemarin saat aku masih berada di hutan.

Aku menatap Rex penuh curiga. Tidak ada yang tahu jika dia memang punya niat buruk. Di Pearl Cafe tadi, aku sempat mengambil satu pisau lipat. Ardan yang memberikannya padaku secara cuma-cuma.

Cahaya yang bersumber dari lampu mobil hanya memperlihatkan jalanan dari tanah yang bergelombang. Diam-diam, aku mulai mengeluarkan pisau lipat itu dari dalam saku, menunggu niat buruk Rex yang tak kunjung datang.

Tak lama kemudian kami sampai di sebuah mansion besar yang berada di perdalaman. Mansion itu tampak seperti rumah-rumah antik yang mewah. Aku sering melihatnya di film serial yang mengatasnamakan kehidupan makhluk lain.

Di dalam sana ada banyak mobil yang terparkir rapi. Aku seketika merasakan bahwa aku tengah berada di tengah forum mobil mewah.

"Kita sudah sampai."

Pagar mansion itu terbuka otomatis. Begitu kami berhenti, aku merasa sedikit takut dan ada saja imajinasi buruk yang menghantui diriku. Aku terus berpikir, bagaimana jika Rex bukanlah orang baik? Bagaimana kalau Rex penipu? Aku benar-benar takut.

"Ayo masuk," ajaknya dengan begitu tenang, aku pun hanya bisa mengekorinya dari belakang.

Aku dihadiahkan lukisan-lukisan antik dan beberapa guci antik. Rumah ini benar-benar nyaman untuk ditinggali meskipun bertema seperti ini. Malah, aku menyukai rancangannya. Bagaimana sudut, pintu dan juga tangga yang berputar-putar itu diletakan di ujung ruangan yang tampak mewah.

Aku menyukai bagaimana sofa merah maroon ini dipasangkan dengan meja kecil hitam gelap dan karpet merah gelap. Tirai di seluruh sudut jendela bahkan memiliki warna yang sama dengan sofa itu.

"Duduk."

Kami pun duduk berseberangan. Rex nampak serius menatapku, membuatku risih sekaligus penasaran dengan apa yang dipikirkannya.

"Apa kau tidak apa kalau aku membuka pakaian di depanmu?"

Aku tersentak, lalu bangkit dari dudukku segera mungkin. "Apa yang-"

Rex tanpa basa-basi membuka kancingnya satu persatu, membuatku panik dan berteriak heboh. Aku sudah berdiri dan bersembunyi di belakang sofa untuk menghindari mataku melihatnya. Lelaki ini sarap!

"Sudahlah. Coba lihat."

Aku masih tidak ingin melihat, untuk apa dia memperlihatkan badannya, huh? Dia kira aku menyukai badannya? Uh, aku tidak sama dengan perempuan yang umumnya menyukai roti koyak dan entah mengapa aku bisa geli kalau melihat benda kotak-kotak itu.

"Lihat saja Regina, bukan itu yang ingin kuperlihatkan."

Akhirnya aku pun mengintip, melihat apa yang dimaksudnya.

Mataku sukses terbelalak saat kulihat dia membalikkan tubuhnya dan menurunkan kemeja hitam-nya hingga setengah badan. Bukan, aku bukan kaget dengan otot-otot yang terbentuk disana, sepenuhnya bukan.

Tapi..., lambang Infinite yang terlukis di punggung di bagian sayapnya. Letak dan gambarnya sama persis dengan milikku.

Jangan-jangan...

"Kamu...mengapa punya ini?"

"Kau hanya bertanya padaku? Bagaimana denganmu?" tanyanya balik.

Aku melotot tak percaya. "Darimana kamu tahu aku mempunyainya?! Kamu mengintip?!"

Rex berdecak. "Kita makhluk yang sama, Regina. Aku bisa merasakan keberadaanmu, dan seharusnya kau juga bisa merasakan keberadaanku," ucapnya sambil mengancing kemejanya kembali.

"M-makhluk?" Aku menatapnya bingung. "A-apa...maksudmu?"

Rex tidak menjawabku, dia malah mengambil pisau potong dari tempat di mana piring berisi buah diletakan. Sempat kukira itu hanyalah pajangan belaka sebelum akhirnya kusadari itu adalah buah-buahan asli begitu aku melihatnya dengan seksama. Lalu dia menyerahkan pisau itu kepadaku.

"Bunuh aku, Regina."

Aku terbata sejenak sebelum akhirnya menggeleng secepat mungkin, aku nyaris menangis saat dia memaksaku mengambil pisau itu untuk membunuhnya. Aku tidak bisa, aku tidak bisa membunuh siapapun. Aku tidak sanggup.

"Pegang saja ini. Kalau aku macam-macam, kau boleh menusukku."

Rex menyerahkan pisau itu dan kuterima dengan tangan bergetar. Aku takut menyalahgunakan pisau ini dan malah membunuh Rex. Ini mengerikan, aku tidak tahu bahkan memegang pisau saja bisa semengerikan ini. Padahal, aku baik-baik saja saat memegang pisau lipat tadi.

"Sebelumnya, aku ingin kau percaya dulu kepadaku sebelum aku menjelaskan semuanya." Rex menatapku penuh harap. "Jadi, Regina... bunuh aku."

"B-Bisakah kamu langsung menjelaskannya? A-aku tidak mau melihat darah lagi," ucapku gemetaran.

Rex menaikan bahunya. "Kalau begitu ..., kau ikut aku ke kamar."

Mataku makin melotot tak percaya. "U-untuk apa?!"

"Mengapa kau terus bertanya?" Tanpa basa-basi Rex menarik pergelangan tangan kiriku dan menaiki tangga yang bentuknya memutar indah, aku ingin memberontak tetapi tak punya cukup kekuatan untuk melakukan itu.

Kuperhatikan pisau yang berada di tangan kananku. Sungguh, tubuhku bergetar dan aku makin takut akan ada sesuatu yang buruk terjadi denganku. Bukannya aku sudah mempercayai Rex, bukan. Aku benar-benar tidak ingin membunuhnya. Aku tahu bagaimana sakitnya dibunuh dengan cara apapun. Tidak ada pembunuhan yang membuat korban mati dengan damai, tidak ada. Bahkan dengan euthanasia atau racun lainnya, itu tetap akan menyakiti organ dalam tubuh kita.

Kategori meninggal dengan damai dalam kamusku adalah, mati dengan cara yang damai dan sama sekali tidak melukai tubuh manapun. Entah sudah berapa kali aku mati, tidak ada satupun kematian yang kurasakan dengan tenang.

Begitu sampai di atas tangga, Rex melepaskan tanganku, dia membuka pintu paling ujung dan segera melangkah menyingkir, memperlihatkan isi kamarnya kepadaku.

Aku hanya bisa terdiam saat kulihat seorang mayat laki-laki berbaring ditempat tidur dengan obat-obatan di nakas. Hal yang membuatku mulai percaya pada Rex adalah ..., lelaki yang berwajah pucat itu benar-benar mirip Rex.

Seperti Ardan dan Arthur yang kembaran, mereka sulit dibedakan. Tapi ini...

"Akan kujawab pertanyaanmu sekarang, Regina," Dia berbisik. "Kita ini ..., bukan manusia."

***TBC***

9 April 2017, Minggu.

[Note]

Lol. Kalau di naskah Aqua World, "Aku bukan manusia." Kalau di sini, "Kita."HAHAHA.

Lol. Kenapa saya ngerasa seperti membaca naskah romance tentang cowok kaya yang posesif ke cewek yang lemah ya? WAH! Apa jangan-jangan saya akhirnya bisa menulis cerita tema mainstream dan bisa mengikuti keinginan pasa- /Tydac, Cin, TYDAC.

Sebenarnya saya juga jarang baca romance sih, jadi saya gatau ehehe. Mungkin ini cuma perasaan saya karena ini pertama kalinya saya nulis bad boy kayak Rex? Weit, emang ini Bad boy? Entahlah.

Jadi, namanya sepasang deeeh. Rex-Regina, Raja-Ratu, King-Queen (?)

Saya harus bocorinkah siapa deuteragonist di cerita ini? Haruskah? Perlukah? Tidak. Oke, tidak perlu. (Mohon dicari arti Deuteragonist jika tidak ingin salah paham berkepanjangan).

Rasanya tepat sekali, Ath pergi chapter Aqua World kemarin dan Rex muncul chapter Revive hari ini. Ibaratnya kayak... "Habis Ath terbitlah Rex" /pls.

Soal nama latin saya ga membual. Nama mereka matching meskipun nama Rex itu... /lirik satu author /lirik ini /lirik itu /lirik anu.

Oh ya, buat orang-orang yang akan menghadapi UN senin nanti, semangat yaaaa! Satu pelajaran doang kan per hari? Tahun kemarin saya dua lho! :'

Thanks for 23.2K views and 3.3K votes! I lime yoouuuu~

Err, lalu... apa lagi yak?

SEE YOU ON SA! (Entah kenapa komenan di inline ini selalu lebih rame daripada inline lainnya)

Big Hugs, Cindyana

2/03/16—01:30

*
🔪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top