7th

Menelusuri hutan yang lebat dan rimbun bukanlah hal yang mudah bagiku. Aku harus menahan lapar dan haus. Aku juga harus menahan rasa dingin yang menusuk kulitku begitu malam yang tak bersahabat datang menjengukku.

Semua ini karena lelaki tua itu. Aku menunduk menatap pakaian yang kemarin kukenakan. Semula warna pakaian yang kukenakan tadi jelas bukan warna coklat, tetapi putih. Aku sudah mengabaikan sobekan di perut dan di bagian jantung. Mengabaikan beberapa bercak darah yang kemudian kurendam kembali dalam lumpur dan membuat pakaianku kaku mengering dan kini berwarna coklat lumpur yang kotor.

Bercak darah telah tertutupi sepenuhnya oleh lumpur, baik di pakaian maupun di celana. Namun masih terlihat kepekatannya di sana.

Sudah dua hari ini aku berjalan sembarangan arah, mencari jalan keluar dari hutan ini, namun tak bisa kutemukan dimana jalannya.

Kalau saja aku dibekali oleh selembar peta, aku bahkan tidak yakin bisa membedakan utara dan selatan. Jangankan itu, melihat peta pun aku tidak bisa. Selama ini dikehidupan sekolah menengah atas di kelas sosial di pelajaran geografi, aku hanya tahu cara menghitung skala dan bukan membaca peta. Apalagi kalau peta itu sama sekali tidak punya linear yang jelas.

Perutku lagi-lagi mengeluarkan suara, seperti memberontak lapar memintaku mengisinya dengan segera. Yang kutahu, di tubuh baru, tak seharusnya aku terkena maag seperti biasanya. Tapi apa daya, perutku sudah kosong sejak aku dilahirkan, dan itu membuatku cukup lemas untuk melangkah lebih cepat lagi.

Pandanganku berkunang-kunang, otakku seperti memberi urgent kepadaku untuk segera memberi makan pada diriku dengan peringatan keras. Kakiku melemas seperti tak punya tenaga tambahan untuk melangkah lagi. Tenagaku benar-benar terkuras habis.

Pemandangan yang kulihat sedari kemarin hanyalah pohon tinggi yang lebat, menutupi sinar matahari di atas sana, semak berlukar yang padat seolah tak ada habisnya dan rerumputan liar yang panjangnya melebihi tinggi pinggangku.

Setengah putus asa, aku melanjutkan langkahku dengan paksa. Tanganku lelah terus menyibak rerumputan liar, mencoba mencari keberadaan jalan keluar yang mungkin tampak. Kepalaku makin terasa berat, tenggorokanku terasa kering dan sakit setiap aku mencoba membasahinya dengan menegak ludahku sendiri.

Menyedihkan, pikirku meringis dalam hati.

Kuratapi sejenak telapak tanganku yang lecet sana-sini akibat terus tergores oleh rumput yang terkadang memiliki sisi yang tajam, luka yang menyerupai paper cut. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain melanjutkan langkahku.

Harapanku terangkat saat keberadaan rerumputan liar semakin berkurang. Aku melihat sebuah turunan yang akhirnya menampakan cahaya terang, seperti memberi petunjuk bahwa jalur di hutan sudah selesai.

Di bawah sana pastilah bukan area hutan lagi.

Aku meyakini itu karena tidak terdengar suara arus sungai yang mengalir, tidak ada pepohonan yang menciptakan bayangan baru disana.

Aku mencoba turun, mengintip dimana sebenarnya aku berada. Entahlah karena kurang berhati-hati atau memang efek kelelahan, aku tak mampu menopang berat tubuhku.

Semuanya terjadi begitu saja, aku terguling disepanjang rerumputan pendek yang kulewati tanpa merasakan sakit yang mendominasi selain tajamnya rumput-rumput yang baru dipangkas.

Aku terjatuh dalam keadaan berlutut, membuat jeans di bagian lututku sobek akibat bergesekan dengan aspal. Aku meringis saat merasakan sakitnya luka di lututku.

Saat kuperhatikan kiri kanan, aku sudah sampai di jalan besar yang sepertinya jarang dilewati. Tidak ada mobil atau satupun kendaraan yang melintas di sana.

Jam berapa ini?, aku berpikir dalam hati sambil mencari keberadaan matahari, namun tak kutemukan dan hanya langit biru kelam yang kutemukan di atas sana. Mungkin masih subuh?

Dengan langkah setengah terseret, aku pun mencari keberadaan sebuah tempat yang mungkin bisa menjadi tempat peristirahatanku. Aku harus mencari tempat kerja di sekitar sini, aku harus makan dan minum hari ini. Atau aku akan mati.

Eh, bukannya aku baik-baik saja meskipun aku mati?

Aku menggelengkan kepalaku, menepis jauh pemikiran itu. Aku tidak ingin mati lagi bagaimanapun ceritanya. Aku harus bertahan hidup.

Tapi, baru saja pemikiran itu lewat di benakku, kurasakan kepalaku semakin berat. Pandanganku makin menghitam dan kesadaranku makin menghilang.

*

"Nona, bangun."

Terdengar suara lembut seorang wanita yang membuat mataku terbuka perlahan. Cahaya silau di atasku membuatku harus menyesuaikan mataku terlebih dahulu. Harus kuakui bahwa aku sempat terkejut mendengar suara wanita yang terdengar lembut, mirip dengan malaikat kematian.

Tapi untunglah dia bukan menyuruhku tidur, malah suara lembut itu memintaku untuk bangun.

"Ah, akhirnya kamu sadar juga."

Seorang wanita yang kuperkirakan berusia duapuluhan tahun terlihat di indera penglihatanku. Dia tampak tersenyum dan menghela nafas lega.

"Uh, dimana aku?"

"Kamu berada di dalam cafe-ku. Ini, dimakan dulu." Wanita itu menyerahkan nampan yang di atasnya terdapat semangkok sup, sepiring nasi dan segelas susu. "Kamu pasti lapar."

Aku meratap sejenak sup itu, mengendusnya sejenak. Tidak, aku tidak curiga bahwa itu sup yang sama dengan 'sup' yang dibuat oleh dua orang itu. Tapi jujur, aku masih sedikit ngeri jika melihat sup.

"Ini sup Ayam, baru selesai dimasak oleh koki cafe ini sekitar lima menit yang lalu. Makanlah. Sup ini yang paling terkenal di cafe ini."

Aku menolak makanan itu, meskipun perutku malah memintaku untuk segera menyantapnya. "Maaf. Aku tidak punya uang."

"Makan saja. Salah satu pelayan cafe-ku yang mengambil jurusan kedokteran bilang, kamu kelaparan dan dehidrasi." Wanita itu menyerahkan mapannya. "Tidak perlu sungkan. Kamu bisa membayarnya kapan-kapan."

Aku menatap ragu ke arah makanan itu, perutku benar-benar tidak bisa di ajak berkompromi. Apalagi saat sakit maag-ku makin terasa saja.

"B-baiklah." Aku mengangkat piring berisi nasi putih yang hangat itu dan menurunkan keningku hingga sejajar dengan tepi piring, barulah aku melafalkan doa. "S-selamat makan."

Wanita itu tersenyum saat melihatku makan dengan begitu lahapnya. Aku tidak bisa untuk tidak malu karena tingkah bodohku yang membuatku merasa rakus saja. Tapi ini yang kurasakan setelah dua hari tidak menelan makanan apapun.

"Namaku Averlynda. Siapa namamu?"

Aku menelan makananku terlebih dahulu sebelum menjawab. "A-aku Regina."

Wanita itu termanggut-manggut. Dia hanya diam, menatapku hingga aku menyelesaikan makanku. Begitu aku menyelesaikan makanku, barulah dia membuka pembicaraan kembali.

"Uhm, Regina, kalau boleh tahu, mengapa kamu bisa...," Dia menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Uhm, begini?"

Tentu saja dia bingung tentang keadaanku saat ini. Lihat saja rambutku yang acak-acakan dan goresan luka nyaris di semua tubuhku. Pakaianku yang dipenuhi lumpur dan tanah, jeans yang sobek di bagian lutut dan bagian betis yang sobekannya benar-benar tak masuk akal, juga kaki telanjang yang sudah memar dan membiru.

Jangan tanya aroma tubuhku, lebih parah daripada bangkai tikus yang sudah membusuk semalaman.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Sungguh, wanita ini baik sekali.

Bahkan disaat keadaanku yang sudah berantakan seperti ini, dia masih sudi memberiku makan dan mempertanyakan keadaanku. Dia baik sekali!

Aku menunduk, mengingat kembali kejadian yang menimpaku sebelum aku sampai kemari. Dimulai dari tabrakan yang membuat penderitaan ini dimulai, sampai kejadian kemarin lusa dimana dua orang itu nyaris membawaku disuatu tempat dan memaksaku menjual diriku.

Sungguh miris sekali hidupku ini.

"E-eh, Regina, jangan menangis." Dia nampak gelagapan, membuatku buru-buru menghapus airmataku. Dia terlihat begitu bersalah, meskipun ini bukan salahnya sepenuhnya.

"A-aku hampir ..., dijual."

Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Aku tidak mungkin menceritakan diriku yang bisa hidup kembali setelah kematian terjadi padaku. Entahlah, mungkin aku takut Averlynda akan berubah sama seperti mereka.

Mereka yang awalnya baik dan tak pernah kuprediksikan bisa sekejam ini, berubah menjadi monster setelah mengetahui keanehan dalam diriku.

"Uhm, ma-maaf."

Aku menggeleng cepat. "Sama sekali bukan salah anda."

Averlynda menatapku sedih. "Pasti sulit bagimu."

"Lagipula semuanya sudah berakhir," ucapku mencoba tegar. "Aku tidak bisa membayar anda sepeserpun, uhm, Bu."

"Kamu memanggilku Ibu?"

"Erm, setahuku itu formal, kan?" tanyaku takut-takut.

Averlynda tertawa renyah. "Umur kita pasti tidak beda jauh. Jangan memanggilku 'Ibu', aku jadi merasa tua."

"M-maksudku bukan begi-"

"Iya-iya, aku tahu kok," potongnya sambil tersenyum geli. "Panggil saja aku Verlyn."

"V-Verlyn, aku ..., tidak tahu kapan harus membayarmu. Ehm, berapa total harga seluruhnya?"

"Uhm, aku tidak tahu. Bagaimana kalau bayarannya..., kamu bekerja di cafe ini selama sehari ini? Kalau kinerjamu bagus, mungkin aku bisa mempertimbangkan kelanjutannya."

Aku tersenyum mendengar penawarannya. Verlyn benar-benar orang yang baik! Aku mengangguk tanpa ragu.

"Ya, baiklah."

KREK, terdengar suara pintu terbuka dari arah belakang. Sepasang lelaki dan perempuan memakai seragam putih bertuliskan 'Pearl Cafe' berjalan ke arah kami. Mereka berdua tersenyum lebar melihatku.

"Akhirnya kamu bangun juga." Gadis berseragam itu tersenyum, dia melirik mapan yang kini hanya disisakan oleh peralatan kosong. "Sudah makan ya? Tidak bagus kamu kelaparan dan dehidrasi seperti itu."

"Bagaimana? Apa supnya enak?" tanya pemuda itu dengan penuh harap.

"Apa kamu yang memasaknya?" Saat pemuda itu mengangguk, aku langsung tersenyum. "Sup-nya enak, rasanya pas. Terimakasih, ya."

"Sama-sama," jawab pemuda itu malu-malu.

"Oh iya, namaku Arisa," ucap gadis itu.

"Namaku Arthur. Yang sedang menggantikanku di dalam sana kembaranku, Ardan," ucapnya yang membuatku baru tersadar bahwa aku samar-samar dapat mendengar suara kuali dan sendok masak bergesekan.

"Ada satu lagi yang belum datang. Namanya-"

KRING. Suara pintu terbuka menampakan seorang gadis lain yang tengah berlari kemari dengan ngos-ngosan.

"Aih, Boss Verlyn. Huft..., huft... Ini sudah jam berapa ya?"

Kulihat Verlyn menatapnya datar, lalu menatap ke arah arloji di tangannya. "Kamu terlambat setengah jam lagi, Andrea."

Gadis yang bernama Andrea itu hanya memberikan cengiran saja diwajahnya. Bertepatan dengan itu, seorang laki-laki membawa mapan ditangannya keluar dari pintu belakang. Lelaki itu pastilah Ardan-kembaran Arthur. Wajahnya benar-benar persis, hanya saja ekspresi Ardan lebih datar dari Arthur.

"Ardaaaan!"

Andrea berlari ke arah Ardan dan memeluk tubuhnya tiba-tiba, membuatku kaget setengah mati. Sedangkan Ardan hanya mengangkat mapannya tinggi melebihi tinggi Andrea. Wajahnya masih saja datar meski sedang dipeluk oleh gadis cantik seperti Andrea.

"Andrea, ada orang disini." Verlyn mengingatkan, membuat Andrea langsung menghadap ke arahku.

"Oh?" Andrea menatapku dari atas ke bawah. "Dia siapa?"

"Namaku Regina," ujarku mengenalkan diri, kebetulan aku langsung mengenalkan diriku kepada empat orang lainnya.

"Kenapa penampilanmu seperti orang yang baru keluar dari hutan?" Andrea bertanya to the point, membuat Verlyn dan Arisa refleks memukul kepala Andrea. "E-eh, sorry! Typo-Typo," ujarnya cepat.

"Sehari ini, Regina akan menjadi bagian dari kita. Arisa, cari size seragam yang cocok untuk dia, oke?"

"Roger, Boss."

*

Aku memperhatikan diriku di depan cermin. Aku sudah tampak normal setelah mandi dan memakai seragam bersih bertuliskan 'Pearl Cafe'. Rambutku kuikat dengan style ponytail, yang merupakan salah satu aturan dalam Cafe ini. Sudah lama aku tidak mengikat rambutku seperti ini. Karena biasanya aku akan membiarkannya tergerai.

Luka-luka di lengan dan kakiku sudah ditutupi oleh panjangnya kemeja dan celana yang kukenakan, aku tampak normal.

Kuperhatikan jam dinding yang kini menunjukan pukul delapan pagi. Kata Verlyn tadi, cafe dibuka pukul delapan lewat limabelas. Akan ada banyak pengunjung yang datang sarapan di tempat ini karena tempat ini adalah satu-satunya tempat yang ada di sepanjang limaratus meter ini. Ada dua kota besar yang saling terhubung dan jalan itu adalah satu-satunya jalan penghubung.

Karena itulah pasti ada yang mengunjungi cafe itu. Meski aku kurang setuju untuk menyebutnya sebagai cafe, tapi kuakui nama itu tidak buruk untuk tempat ini juga.

Semoga saja..., aku bisa hidup normal seperti manusia biasa.

Jika bisa, aku akan melupakan semua hal buruk dan pengalaman tidak menyenangkan yang pernah terjadi padaku. Aku akan menganggap semua kejadian selama sebulan ini tidak pernah terjadi dalam hidupku.

Aku akan menganggap semuanya baik-baik saja.

Meskipun aku tahu kenyataan pahit tentang aku yang tidak bisa mati dan entahlah akan mati saat aku berusia berapa. Aku tidak tahu. Tapi jika ada satu saat seseorang mengatakan cara agar aku bisa mati, aku akan melakukannya demi kebahagiaanku dan oranglain.

KRING.

Terdengar suara pintu terbuka, membuatku menoleh ke arah jam lagi. Rupanya waktu berjalan begitu cepat. Sudah waktunya Pearl Cafe dibuka.

Aku berjalan ke arah pintu, memberikan senyuman tulus kepada para pengunjung yang mendatangi cafe ini.

"Selamat datang di Pearl Cafe!"

Yah, aku berada di Pearl Cafe, bukan lagi di D'Delicioustar. Jadi, semuanya akan baik-baik saja.

***TBC***

25 Maret 2017, Sabtu.

Note

Regina lepas, saudara-saudaraaa~

Oh ya, tentang Pearl Cafe dan para pelayannya, itu sebenarnya cerita lain saya yang belum pernah saya tuliskan sekalipun (lol). Mengapa nama mereka kebetulan huruf A semua? Dari Averlynda, Andrea, Arisa, Arthur dan Ardan? Ya karena memang gitu :v

Kalau saya iseng, mungkin saya bakal nulis di FoF.

Ayah-Ibu angkat Gina enaknya diapain? Oh ya, move on yuk :v

Kalau kalian nyadar, saya selalu memberi jeda santai setelah satu masalah kelar :v
Dedicated to Aqua dan juga SA. Mari bersantai sejenak, sebelum konflik lain datang /ketawa setan.

See You on SA!

Cindyana H

🔪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top