6th

Warning! 18+
Another bloody scene.

Dedikasi untuk Cherry yang manis dan menambah selera makan.

Sudah diperbaiki sebanyak mungkin agar lebih layak dibaca.
Happy Reading~

***REVIVE***

"Aku akan memberikanmu hadiah, Gina."

Aku mengeraskan rahang. Jika dulu aku begitu menantikan kejutan yang diberikan oleh lelaki tua ini, maka hari ini adalah kebalikannya. Aku sama sekali tidak menginginkan 'kejutan' yang dikatakannya.

Nafas lelaki tua itu terdengar berat, saat langkahnya mulai mendekat, aku mundur ke belakang, menjauhi diriku darinya. Aku tahu, tidak ada jalan lain lagi.

Tentu saja.

Ini ujungnya.

"Tenang, Ayah tidak akan membuatmu mati, Gina." Lelaki tua itu mendekat dan menggoreskan pisau itu perlahan pada pipiku, menciptakan goresan luka baru di pipiku. "Ini hanya salah satu hadiah kecil yang akan Ayah berikan jika kamu nakal."

Pisau itu turun ke leherku, mengoyak kulit tipis di sana dan membuat darah-darahku berdesakan keluar dan bebas melewati daratan yang bisa diluncurinya. Aku meringis saat Lelaki tua itu meraih jari-jariku, dan memotong jempolku dimulai dari kuku, bagian pertengahan sampai ke ujung.

"Katakan kamu menyesal, dan kamu tidak akan mengulanginya lagi. Katakan itu dan Ayah akan berhenti."

Tidak akan.

"Cepat katakan sebelum Ayah memotong lidahmu dan kau tidak bisa lagi berkata apa-apa. Cepat katakan sebelum kau menyesal!"

Tidak akan!

"Mana tadi tanganmu yang membuka pintu itu?"

Lelaki tua itu meraih sisa keempat jari kananku dan langsung memotongnya sejajar tanpa sedikitpun tanda. Aku menjerit saat merasakan bagaimana lelaki tua itu memotong jariku dari kulit, dia sempat mengalami kesulitan saat hendak memotong bagian tulang jari. Tapi dia tetap memaksanya dan dengan sekali hentakan keras dari pisaunya, bagian-bagian yang ingin dipisahkannya, terlepas begitu saja.

Jari kananku kini hanya memiliki empat jari yang ukurannya bahkan tidak lebih panjang dari jari kelingking kaki. Darah-darah mengalir keluar, berlomba-lomba sampai di atas tanah yang berlumpur itu terlebih dahulu.

"Ini masih jari kananmu, Gina."

Lelaki tua itu melempar jari-jariku ke tanah dan menginjaknya dengan keras. Dia menatapku tajam, sepertinya dia begitu menginginkan diriku memohon maaf kepadanya, memintaku mengungkapkan penyesalanku dan baru dia akan berhenti?

Ini gila! Dia pasti seorang psikopat yang akan merasa begitu bahagia saat dia menyiksaku hingga mati pelan-pelan.

"Cepat katakan, monster!"

Siapa sebenarnya monster di sini?

Aku membuang muka, mengabaikannya yang berteriak di depan wajahku. Aku benar-benar ingin menangis, tetapi aku berusaha keras untuk tidak menangis di depannya. Dia tahu aku merasakan sakit yang sangat di bagian-bagian yang dilukainya, dia tahu. Dia benar-benar ingin aku menyesal dan segera meminta maaf padanya.

Tapi itu hanya akan terjadi di dalam mimpinya! Sebab aku tidak mau lagi menjadi orang yang diikat oleh orang sepertinya!

Aku tidak mau dimanfaatkan olehnya lagi.

"Mana tadi kakimu yang berlari?"

Dia mengoyak kulit betisku perlahan, mengarahkannya di sekeliling kakiku hingga menciptakan garis merah yang mengikat bagian betisku. Darah muncul dari sana dan menuruni kakiku perlahan.

Selanjutnya, layaknya kegilaan, dia langsung memukul kakiku yang terluka itu dengan pisau dapur dengan cepat, seperti gerakan menyincang, namun lebih tak terkendalikan. Aku tak bisa menahan suara yang sedaritadi telah kusembunyikan di tenggorokanku. Aku memejamkan mataku erat-erat, tak berani melihat kenyataan yang sedang kuhadapi ini.

Saat aku membuka mata, bagian bawah kakiku yang dimulai dari betis, sudah hancur tak terbentuk. Tulang-ku tampak masih tersambung dengan bagian kakiku, namun dagingnya..., telah hancur tak terbentuk.

Pemandangan ini...menjijikan.

"Cepat katakan, Gina!"

Aku masih dalam pendirianku, meski dengan luka di tubuhku yang membuatnya serasa mati rasa, aku tetap menggeleng cepat. Aku menatapnya tajam, seperti tak takut sama sekali dengan keberadaannya, meskipun aku tahu aku akan disiksa lebih parah dari itu.

"Mana telingamu yang sedaritadi tidak mendengarkanku?!"

Lelaki tua itu langsung menusuk telingaku dengan sudut pisau, mengoyak rahang, lubang telingaku dan kepalaku. Aku merasakan sesuatu yang panas dan berair di dalam sana meluncur turun. Saat dia mencabut pisau itu, telinga kananku serasa begitu hening.

"Ini kesempatan terakhir, Gina. Aku menyuruhmu untuk menyatakan penyesalanmu. Kalau kau mengatakannya, aku akan berhenti."

Samar-samar aku mendengarkan kata-kata itu lewat telinga kiriku. Masih terdengar cukup jelas meskipun lebih buruk dari biasanya.

"Cepat!"

Aku menegak ludahku, dalam hati aku berdoa. Aku mencoba melafalkan doa-doa yang kuingat dibenakku, aku mengharapkan kematian yang dipercepat saja disini.

"3."

Dan kalaupun aku tidak lahir kembali, itu tidak masalah. Setidaknya aku lepas dari semua penderitaan ini. Aku ingin keluar dari penderitaan ini.

"2."

Aku ingin mati. Aku ingin mati. Aku ingin mati.

"1."

Lelaki tua itu menangkup kedua pipiku dengan satu tangannya yang memegang pisau itu. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, tak ingin membiarkan tangannya memasuki mulutku begitu saja. Mengetahui ketidakinginanku untuk membuka mulutku, dia mengiris lenganku dengan cepat.

Saat aku membuka mulut untuk berteriak, tangannya yang lain pun mencoba mengeluarkan lidahku untuk di potongnya. Tampaknya dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Detik itu, aku benar-benar menyesal, seperti yang dikatakan oleh lelaki yang tak kukenal tempo hari lalu, saat dia menyuruhku pergi dan aku menolaknya, aku benar-benar menyesalinya.

"Salahmu, Gina!"

SRAP!!

Aku menjerit histeris saat pisau dapur itu menembusi bagian lain lidahku. Pita suaraku serasa sudah putus saja, tenggorokanku terasa sakit akibat terus berteriak melengking.

Hal pertama yang kurasakan di lidahku adalah sesuatu yang sakit, lebih sakit daripada saat kita tak sengaja mengigitnya, atau saat panas dalam terjadi di area lunak itu. Jauh lebih sakit daripada itu, sangat sakit. Selanjutnya mati rasa yang membuat lidahku kelu dan bergetar.

Aku ingin mati saja.

Saat pisau dapur itu hendak digunakannya untuk mengiris kelopak mataku, aku merebutnya dengan tangan kiriku dan langsung saja kutusukan dengan paksa ke arah jantungku.

Aku tidak tahu, meskipun kematian memang mengerikan, tapi setidaknya aku tidak merasakan kematian dari monster yang ingin menikmati jeritan, kehancuran, dan tangis orang lain.

Benar-benar sudah tidak waras!

"Kau bunuh diri?"

Lelaki tua itu tersenyum sinis. Dia pasti belum tahu, setelah ini aku akan bebas. Dia pasti tidak tahu tentang potongan terakhir tubuhku yang sudah kulepaskan diam-diam tadi.

"Aku pernah mendengar banyak orang bodoh yang mencoba lari dari masalahnya dengan cara bunuh diri. Semua orang bisa melakukan itu terkecuali kau, Gina."

Lelaki tua itu tersenyum meremehkan, barulah saat itu aku mengeluarkan suara.

"Aku..." Suaraku terdengar tidak jelas, pasti karena lidahku terpotong tadi. Tapi aku tak peduli. Aku memperdalam tusukan itu, lalu tersenyum menyeringai. "Aku sudah lolos darimu, Monster."

Matanya melebar menatapku tak percaya. Aku makin tersenyum sinis saat pandanganku menggelap, dan terdengar suara bisikan tanda ajal menjemputku.

Tidurlah, dan aku akan membawamu bersamaku.

.

.

Aku mendengar suara teriakan frustasi yang cukup keras. Spontan mataku terbuka dan aku melipat kakiku, menyembunyikan sosokku dari pandangan orang yang mungkin menemukanku di sini.

Perkiraanku tepat, aku hidup kembali di dalam semak berlukar yang cukup padat. Semak-semak seperti ini kerap ditemukan di sekitar hutan ini. Jaraknya tidak terlalu dekat dengan lelaki tua itu, mungkin sekitar ratusan meter. Namun aku masih mampu melihat lelaki tua itu di depanku.

Karena itu, aku memutuskan untuk bersembunyi di sana saja.

"ARRGHH!"

Lelaki tua itu mencabut pisau dapurnya dari jantung mayatku. Mayat itu tergeletak tak bernyawa dengan daging yang terkoyak dari telinga hingga leher, dari ujung bibirnya, dari ujung kelopak matanya seolah dia baru saja menangis darah disana. Darah paling banyak berada di kakinya, menampakan tulang yang masih berselimut darah, mengalir bersama darah dari jari-jari tangannya yang membuat tanah lumpur itu terkontaminasi jejak merah kelam disana.

"SIALAN!" umpatnya dengan suara yang keras, dia mengertakkan rahangnya, meratapi mayat perempuan dan pisau dapurnya yang kini di dominasi oleh warna merah. "Anak itu..."

Lelaki tua itu menatap tajam ke arah mayat yang kini tergeletak tak bernyawa disana. "Kau di sana? Apa kau benar-benar sudah mati?"

Diam, mayat itu tak menjawabnya. Sedangkan aku hanya diam memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh lelaki tua itu selanjutnya.

"AKU TAHU KAU MASIH DI SANA!"

Dia membentak mayat itu. Bahkan dengan emosinya dia menendang mayat itu sampai membuat mayat itu bergerak sedikit, hanya bagian tangannya yang meluncur turun di atas lumpur dan tergeletak begitu saja.

"AKU TAHU KAU MASIH MENDENGARKANKU, MENGAKULAH!"

Aku hanya mampu mengatup bibirku rapat-rapat. Bernafaspun, kuusahakan mengeluarkannya perlahan dan tanpa suara. Apalagi disaat hutan ini begitu hening dan tenang, tidak menutup kemungkinan bahwa lelaki tua itu bisa saja mendengarkannya.

Tak kunjung mendapat respon dari mayat yang dianggapnya sebagai lawan bicara, Lelaki itu naik pitam. Dia berjongkok sambil membelah satu-satu tubuh mayat itu tanpa sedikitpun rasa perikemanusiaan disana.

Wajahnya dipenuhi obsesi. Tetapi tidak lebih mengerikan saat dia menyiksaku pelan-pelan tadi, menikmati jeritan dan sakit yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.

Aku pernah membaca situs tentang hal-hal berbau psikopat. Aku bahkan tidak tahu harus memberinya kategori apa.

Apakah lelaki tua ini hanya memiliki obsesi untuk membunuhku?

Setahuku, seorang psikopat tidak akan tertarik untuk memotong-motong sesuatu yang sudah tak bernyawa. Tapi entahlah, dia terlihat masih begitu menikmatinya saja.

Lelaki itu membuka jaket kulitnya, menaruh satu persatu organ tubuh mayat di sana. Setelah merasa cukup, dikuburnya mayat itu di atas lumpur yang basah, hanya dengan tangannya.

Dibungkusnya jaket kulit itu yang berisikan ginjal-ginjal, hati, jantung dan organ-organ lain yang dianggapnya perlu. Lalu, dia beranjak meninggalkan hutan yang semakin gelap meskipun hari kini baru saja hendak beranjak siang.

Aku masih tak berani keluar dari tempat persembunyianku. Bahkan setelah aku mendengar suara deruman mesin mobil yang menjauh dari kejauhan, aku tetap bertahan di semak berlukar.

Tanpa mempedulikan sakitnya ranting-ranting kecil yang menusuk kulitku, nyamuk-nyamuk yang menghisap darahku, atau suara-suara binatang yang terdengar begitu mencurigakan.

Seolah terhipnotis, bibirku terangkat tanpa kusadari. Senyuman tanda hari baruku akan dimulai. Aku tidak perlu lagi dibunuh atau dilukai oleh siapapun. Karena aku akan melindungi diriku, menutupi idetitasku selamanya dengan pergi ke tempat yang jauh.

Aku tidak perlu lagi berurusan dengan dua orang yang selama sebulan ini terus membunuhku berulang-ulang.

Aku tidak perlu lagi mempedulikan perasaan orang lain.

Aku tidak perlu lagi melakukan semua hal tidak penting yang selama ini kulakukan.

Karena aku adalah..., seorang monster.

***TBC***

14 Maret 2017, Selasa.

Note

LOL, hari ini white day ya? Sorry not sorry, I made today bloody day hahahaha /jomblo kesenengan.

As I said, saya sudah mencoba memperbaiki chapter kali ini agar lebih layak dibaca. Err, mungkin akan saya private. Tapi kalau melewati chapter ini, gapapa, saya akan mencoba menerangkannya kembali di next chapter tanpa ada gore.

Ini ga serem loh ya. Banyak yang lebih serem dari ini. Gapercaya mongo cari di wattpad, banyak!

Harusnya sih saya centang mature. Iya, saya tau. Tapi gore-nya cuma sampai di sini (semoga).

See you on Sky Academy!

Cindyana H

🔪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top