5th
Perlahan mataku terbuka seusai tidur. Untuk pertama kalinya aku merasa bangun begitu damai setelah kecelakaan yang menimpaku sebulan yang lalu. Ujung bibirku telah terangkat tanpa sadar.
Ya, aku begitu bahagia.
Hari ini adalah harinya, hari dimana semuanya akan kembali seperti sedia kala. Ya, semuanya akan kembali seperti sebelum kecelakaan itu menimpaku. Aku akan baik-baik saja dan tidak akan dibunuh lagi.
Hari ini akan menjadi hari terakhir aku mencium bau amis darah itu, atau melihat kantong sampah berwarna hitam yang berisi organ tubuhku. Hari ini adalah akhir-nya.
Hari ini akan menjadi hari terakhir penderitaanku.
Ya, hari ini.
Kemarin malam, spanduk D'Delicioustar yang diletakan di perempatan jalan besar telah di lepaskan, dan papan bertuliskan D'Delicioustar yang digantung di depan pintu rumah pun sudah di turunkan. Tempat makan yang sempat terkenal di kota kecil itu telah resmi ditutup.
Aku segera beranjak menuju ruang makan. Ayah membaca koran dan Ibu menghidangkan sarapan di atas meja. Aku melirik dapur, pintu dapur telah dikunci rapat-rapat. Aku tidak perlu takut lagi akan dibunuh di sana.
Karena semuanya telah kembali.
"Gina, mengapa kamu berdiri di atas tangga sana? Cepat turun."
Aku pun menuruni anak tangga, dan bergabung dengan mereka di ruang makan. Roti dan selai kacang sebagai sarapan pagi, yah semuanya telah kembali seperti sebelumnya.
"Ayo, makan."
Aku pun meraih cangkir putih yang tersaji di depanku dan meminumnya beberapa teguk. Roti selai kacang di depanku bahkan juga sudah disiapkan oleh Ibu. Semuanya benar-benar kembali seperti sedia kala, jauh sebelum kebangkrutan Ayah.
"Jadi...," Aku memulai pembicaraan dengan mereka sambil menyantap roti itu. "Pekerjaan apa yang akan kita lakukan setelah ini?"
Ayah melirikku sejenak. "Pekerjaan yang tidak melelahkan Ayah atau Ibu. Kamu tahu kan, Gina...," Ayah melipat korannya dan menatapku dalam. "Kami sudah terlalu tua untuk bekerja."
Aku menerjapkan mataku, lalu tersenyum saat mengetahui apa yang dimaksud Ayah. "Apa Ayah dan Ibu mengizinkanku bekerja?"
Ibu menuangkan kembali teh di cangkirku yang tadinya setengah hingga penuh kembali. "Kami mengizinkanmu. Sekarang tergantung, kamu mau atau tidak."
Aku mengangguk antusias. "Tentu saja aku mau, Bu." Aku kembali meminum teh setelah selembar roti habis kumakan. "Jadi, apa pekerjaan yang akan Gina lakukan?"
"Dengan keterbatasan pendidikanmu hanya SMA..." Ibu mengunyah rotinya sambil berpikir. "Kira-kira..., apa yang bisa kamu lakukan?"
"Erm, aku bisa..., menjadi koki di sebuah tempat makan kecil-kecilan, oh atau mungkin pelayan? Aku sudah mendapat pengalaman setelah menjadi pelayan sendirian selama sebulan ini."
Ayah menyesap kopinya pelan. "Bagaimana kalau, kamu pikirkan pekerjaan lain yang lebih..., bisa mendapat banyak?"
Aku mengerutkan keningku. "Mendapat banyak apa?"
"Uang."
Aku menunduk, mencoba memikirkan peluang dan pekerjaan yang mungkin kulakukan. Aku hanya seorang remaja yang baru saja lulus SMA jurusan sosial setengah tahun yang lalu. Aku tidak bisa melanjutkan kuliahku karena tiba-tiba saja perusahaan Ayahku bangkrut bulan lalu. Kuliahku terhenti saat aku baru sempat menamatkan satu semester.
Karena itulah aku kembali ke kampung halamanku bulan lalu.
Lalu, memangnya hal apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan banyak uang hanya dengan pendidikan SMA?
"Saat ini, hanya itu yang kupikirkan." Aku bergumam setelah sekian lama berpikir.
Ibu merangkul pundakku. "Gina, Ibu mau bertanya sesuatu padamu."
"Apa?"
"Dimana luka-luka tusukan yang selama ini diberikan Ayahmu?"
Keningku mengerut. Jujur, aku tidak suka pembahasan yang mengenang masa-masa mengerikan itu. Tapi kali ini, hal yang tidak kusukai adalah nada pembicaraan Ibu yang tiba-tiba saja terdengar mengintimidasi.
"D-di tubuh lamaku," jawabku ragu.
"Semua luka-luka di tubuhmu, akan menghilang saat kamu hidup kembali, kan?"
Entah mengapa nada bicara Ibu...terdengar semakin mengerikan saja.
"I-Iya."
"Kalau begitu, Ibu tahu satu pekerjaan yang bisa kamu lakukan."
Perasaanku makin tak enak, apalagi saat Ibu mendekatkan bibirnya di telingaku dan berbisik dengan suara pelan namun terdengar jelas di telingaku. Aku bahkan yakin Ayah juga mampu mendengarkannya.
"Menjual-"
Aku langsung berdiri sebelum Ibu menyelesaikan kata-katanya. Dengan tegas aku menggeleng menolak tawarannya. Ibu memang belum menyelesaikan kata-katanya. Tapi aku, seorang remaja yang tahu kemana arah pembicaraan itu. Apalagi disaat nada-nada mereka terdengar begitu mencurigakan.
Ternyata, pemikiranku tentang semuanya akan kembali normal, salah besar.
"Aku tidak mau."
"Bukankah kamu bilang kamu ingin bekerja?"
Aku tetap menggeleng. "Iya, tapi bukan pekerjaan seperti itu..., yang kuinginkan."
"Terlambat, Gina." Ayah kemudian bangkit dari duduknya dan disusul Ibu. "Kami sudah melakukan perjanjian dengan seseorang. Kamu tidak boleh menolaknya."
"T-tapi..."
Jantungku tiba-tiba saja berdebar cepat saat kulihat wajah Ayah semakin menggelap, begitupun wajah Ibu. Seluruh tubuhku mati rasa, membuatku secepatnya menopang tubuhku pada kursi agar tidak langsung terjatuh di atas lantai dengan kasar.
"A-apa yang kalian lakukan p-padaku?" tanyaku terbata-bata.
"Tidak banyak, hanya sedikit dosis obat tidur di dalam minumanmu." Ayah menjawab.
"Me-ngapa kalian b-bisa setega itu?"
Sempat ada jeda dua detik sebelum samar-samar aku bisa melihat Ibu berjongkok dan membisikan sebuah kalimat yang tidak pernah kupikirkan selama ini, bahkan di mimpi burukku sekalipun.
Kalimat yang membuatku...seketika itu ingin mati, selamanya. Dan tidak pernah bangun kembali.
"Karena hanya manusia-lah yang perlu dikasihani, kamu bukan salah satu dari itu. Kamu..., hanya monster yang bertopeng dibalik tubuh seorang gadis yang rupawan."
Saat itu juga kesadaranku menghilang, sama seperti saat aku hendak merasakan kematian seperti biasanya. Bukan bisikan malaikat yang membuatku takut untuk bangun. Tetapi, hal yang akan kuhadapi saat bangun nanti.
Mimpi buruk ini..., akan terus berlanjut.
.
.
Saat terbangun, aku sudah berada di dalam mobil Ayah. Mobil itu bergerak cepat di tengah-tengah sepinya jalan. Jalanan itu hanya dipenuhi oleh pepohonan di kiri kanan. Tidak ada lampu jalan yang terlihat di siang terik itu, tidak ada bangunan-bangunan pencakar langit yang menjadi pertanda kami tengah di kota besar.
Kami seperti makin masuk ke pelosok dalam, di daerah yang bahkan jauh lebih terpencil daripada tempat itu.
Neraka.
Aku berpura-pura memejamkan mata, berpura-pura masih terlelap karena efek obat sialan itu. Bahkan saat ada getaran kuat yang membuat kepalaku terbentur kuat, aku masih diam saja, tidak berani meringis atau mengeluarkan suara sedikitpun.
Hal yang bisa kulakukan hanyalah diam, menetralkan nafasku, dan berkamuflase seolah aku masih tertidur. Jadi, mereka tidak akan mengawasiku lebih ketat.
Aku selalu menunggu peluang saat getaran atau belokan ke kiri datang lagi, agar bagian atas tubuhku bisa semakin dekat dengan pintu sebelah kanan dan tubuh bagian atasku bisa ditutupi oleh tempat duduk Ayah, sehingga aku tetap terlihat masih tertidur dari spion.
Kulirik dari spion, Ibu tengah tertidur pulas, sedangkan Ayah fokus mengemudi. Entahlah, tapi dari setiap decitan ban terdengar suara lumpur yang mendominasi bagian luar, membuatku yakin bahwa kami berada di jalan yang becek.
Kecepatan mobil tidak secepat biasanya, karena usaha Ayah menghindari lumpur yang dalam.
Saat itulah aku tahu bahwa aku punya kesempatan.
Tanganku bergerak perlahan hingga membuatnya terjatuh dari perutku. Setiap ada sedikit pergerakan, aku akan memajukan sedikit tanganku ke atas untuk menjangkau pintu.
Ya, sedikit lagi.
Beep, Beep... Tanganku berhenti bergerak saat kudengar suara telepon genggam Ayah berbunyi dengan lantang, mengisi keheningan yang mencekam di dalam mobil. Beberapa saat kemudian, Ayah mengangkat telepon itu.
"Halo? Ya. Kami sedang dalam perjalanan ke sana."
Aku membuka sedikit celah mataku dan melihat Ayah tengah melirikku lewat spion. Lalu dia tersenyum menyeringai.
"Aman. Tentu saja dia masih gadis."
Siapa sebenarnya monster di sini?
Aku atau orangtua-ku?
Tunggu. Apa mereka pantas mendapatkan gelar terhormat itu? Mereka bahkan tidak punya hati! Jauh lebih buruk daripada aku, makhluk yang mereka katakan monster itu.
Setelah membunuhku, memasak dagingku dan menjual organ-organ tubuhku..., mereka masih tidak tahu terima kasih?
Mengapa..., mereka bisa sekejam itu?
"Tidak. Belum pernah ada lelaki yang menyentuhnya, aku berani jamin."
Kalau saja,
"Hahaha, baiklah. Aku terima tawaranmu."
Kalau saja, aku lebih kuat.
"Hm, mungkin sekitar 15 menit dari sini? Mansionmu terlalu jauh dari khalayak."
Kalau saja, aku lebih berani.
Tapi, siapa sebenarnya yang bisa menyelamatkan diriku sendiri?
Aku memejamkan mata selama beberapa saat, tanganku sudah sampai di bagian pintu. Jari-jariku juga sudah menemukan pembuka kunci mobil. Gagang itu sudah berada di dalam genggamanku.
Hanya dengan sekali tarik.
Ayah-ralat lelaki tua itu sudah mematikan telepon genggamnya beberapa saat yang lalu. Wanita di sampingnya masih tertidur lelap, tak terganggu oleh suara lelaki tadi saat bertelepon atau getaran kuat yang tengah terjadi di sekitarnya. Aku tahu kenyataan itu dari nafasnya yang masih tenang.
Baiklah, hanya dengan sekali tarik dan aku akan bertemu kebebasan.
Tanganku menarik gagang dan secepatnya aku langsung bangkit dan meloncat turun tanpa mempedulikan apapun lagi. Aku terjatuh di atas lumpur selama dua detik, sebelum akhirnya aku tersadar bahwa aku masih belum dalam keadaan aman.
Aku berlari secepatnya, secepat kilat dari lari yang pernah kulakukan selama ini. Aku lari dari dua orang yang merawatku nyaris tujuh tahun ini. Lari dari dua orang yang menyakitiku sejak bulan lalu.
Tak kusempatkan diri untuk berbalik ke belakang. Hal yang kulakukan hanya menatap lurus ke depan dan terus berlari. Bahkan saat kakiku menginjak tanaman berduri disaat aku tidak memakai selembar alas kakipun, aku terus berlari.
"Dasar, Sialan!"
Aku mendengar umpatan dari belakang. Tentu saja suara lelaki tua itu. Suara lumpur terdengar jelas, juga suara dua buah besi yang saling bertabrakan. Semuanya terdengar jelas. Aku sampai yakin dia membawa dua pisau dapur karena saking seringnya aku mendengar suaranya saat dia tengah mengasah dua pisau dapur pagi-pagi.
Aku terus berlari, tak berani menengok ke belakang. Meskipun saat aku merasakan bagian tajam yang memotong tumit kananku. Aku bisa menebak bahwa dia baru saja melempari pisau itu ke kakiku, namun meleset sedikit dan terkena daging tumitku.
Saat itu aku merasakan jelas tumitku yang dagingnya sudah terpotong, namun sarafnya masih tersambung pada diriku. Yang mana halnya, aku merasakan sakit dan pedih yang amat dalam saat isi dalamnya bercampur dengan air lumpur.
"Berhenti kau, Gina!"
Kali ini, aku bukanlah Gina yang akan menurut. Aku akan menjadi Gina yang menjalani apa yang diinginkan olehku. Aku akan melepaskan diri darinya. Aku terus berlari meski makin memasuki daerah hutan yang tidak pernah kuketahui keberadaannya. Hutan yang semakin lama semakin gelap dan semakin mengerikan.
Namun hal yang paling mengerikan bukanlah hal yang ada di depanku. Tetapi sesuatu di belakangku. Karena itulah aku memutuskan untuk tidak berhenti.
Semoga saja dia berhenti mengejarku saat sudah memasuki hutan ini.
"Kau akan menyesal jika kau tidak berhenti sekarang!"
Justru aku akan menyesal jika aku melakukannya. Aku bukan lagi gadis bodoh yang mau saja di bunuh dan dimanfaatkan seperti itu. Sungguh, setiap mereka membunuhku, aku selalu merasakan penyiksaan berat di dalam diriku. Mereka tidak pernah meminta persetujuanku saat hendak membunuhku, semuanya dilakukannya secara tiba-tiba, saat mereka ingin melakukannya.
Mereka akan memulainya dengan menusuk perutku. Saat benda tajam itu sudah menembusi diriku, aku lebih menginginkan kematian yang lebih cepat saja. Tidak ada gunanya aku bertahan dengan tajamnya benda-benda itu.
Saat itulah..., aku tidak pernah mengira akan menemukan jalan buntu berupa tebing besar di depanku. Jalan buntu yang membuatku kehilangan kesempatan itu.
"Mau lari kemana lagi, kau?"
Lelaki tua itu mengangkat sebelah pisau dapurnya tinggi-tinggi. Pandangan dalam matanya, dan senyumannya terlihat begitu mengerikan. Keningnya dipenuhi titik-titik peluh, namun tak dihapusnya dengan segera.
Ekspresi wajahnya yang mengerikan membuatku menengak ludahku sendiri tanpa sadar.
"Aku akan memberikanmu hadiah, Gina."
***TBC***
22 Februari 2017, Rabu.
[Note]
Kalau saya jadi kalian, saya akan senang diupdate dua kali di dua cerita gantung yang kampretnya asdfghjkl! Jadi kalian nunggu sekali doang. Itu bukti nyata saya sayang kalian /uhuk. Eh, di update tiga kali, maksudnya. Kelupaan SA-nya -_-
Nah, halo, semuanya! Bagaimana chapter kita hari ini?
Regina sayang, mengapa hidupmu sekelam ini? /dilempar bakpao sama Gina.
LFS 2-5, kayaknya bakalan saya bagi setengah ke dyana_h. Saya kasian aja sama akun yang satu itu, sepinya bikin saya males buka. Pembagiannya, nanti saya pikirin deh. Mungkin LFS 1-3-5 di Prythalize, LFS 2-4 di Dyana. Atau mungkin LFS 1-5 di Prythalize dan LFS 2-3-4 di Dyana. Masih ambang-ambang.
BTW, saya suka sama LFS 2-5 /kibas-kibas. Semuanya keren sih topiknya, menurut saya. (Baca: sayamembuatceritakarenasayasuka, sayamembuatceritakarenatopiknyakeren)
Udah dulu, sekian.
Cindyana H / Prythalize
🔪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top