17th
Kalau kau ragu dengan keputusanmu, jangan memilihnya. Suatu hari, mungkin kau akan menyesali hari ini.
***REVIVE***
"Kenapa kepalamu?" tanyaku saat melihat Rex memegang kepalanya disuapan cepatnya karena buru-buru menelan es serut yang dipesannya.
"Brain freeze," jawabnya.
"Makanya, makannya pelan-pelan." Aku menatapnya dengan tatapan datar. "Sudah tahu buru-buru, mengapa malah pesan es serut?"
Rex sampai di sini lima belas menit yang lalu, dengan kemeja hitam dan warna mobil yang sudah berubah. Dia sampai di sini kurang lebih tiga jam, sejak menelepon. Katanya, macet panjang adalah salah satu alasan mengapa dia terlambat.
Dia memesan makanan berat bersama semangkok es serut. Bukan sarapan yang sehat, tentu saja. Aku tidak mau lagi menegurnya dan malah dibalas, "Memangnya kenapa, kalau tidak sehat?" oleh seseorang yang bisa hidup kembali dari kematiannya. Cukup sekali saja saat aku menegurnya ketika dia terlalu sering makan junk food dan dibalas seperti itu.
Kedatangan Rex membawa kabar baik, karena Verlyn tidak berani mendekat dan menegur seperti sebelumnya. Tidak juga Andrea yang hanya memperhatikan dari kejauhan.
"Aku sedang ingin makan es serut," balasnya tanpa merasa canggung.
Tentu saja aku tidak akan bertanya, kalau saja aku tahu jawabannya akan seperti itu.
"Ngomong-ngomong, setelah kupikir-pikir, mungkin kau harus memakai beberapa lapis pakaian lagi, agar tidak kedinginan," ucapnya sambil kembali menyendokkan makanan.
Kuperhatikan kaos lengan panjang yang dilapisi jaket yang kukenakan, celana jeans, sampai sepatu boots coklat yang membuat penampilanku seperti tengah mencoba french fashion. Padahal, aku ingat betul kata teman-teman kampusku dulu. Kata mereka, aku lebih cocok dengan dolly fashion.
"Aku tidak merasa kedinginan," balasku sambil mengerutkan kening.
"Pakaianmu ada di mobil, nanti lapisi saja banyak-banyak," ucapnya lagi, seperti berpura-pura tak mendengarku.
"Memangnya kenapa, sih?" tanyaku lagi.
Mataku melebar, saat aku menyadari sesuatu yang mungkin saja terjadi.
"Apakah kita akan keluar negeri? Ke negara yang bersalju?" Aku bertanya dengan antusias. Terlebih ketika aku mengingat bahwa ini memang sudah memasuki bulan desember.
Rex mengibaskan tangan tak peduli, "Mungkin, tapi lihat dulu jadwal penerbangannya."
"Aku belum pernah keluar negeri, lho," ucapku sambil melemparkan senyum antusias.
"Oh ya?"
Tengah memikirkan diriku di tempat yang tidak kukenal bersama salju-salju sebagai latar belakang di gambarku, membuatku tidak bisa menahan senyum. Sampai akhirnya mataku tidak sengaja bersitatap dengan mata Verlyn yang tampaknya tidak merasa nyaman saat melihatku tersenyum.
Ada apa lagi, ini?
Verlyn memalingkan wajahnya.
Baiklah, memang ada yang janggal di sini.
"Kau ingin ke mana?" Rex bertanya.
Dulu, aku ingin bisa keliling dunia. Sekarang, aku hanya ingin menemukan tempat yang aman, damai dan nyaman.
"Entahlah. Aku ikut saja."
Berikutnya, Rex tidak bertanya lagi. Sampai-sampai aku mencoba memutar ulang percakapan kami di kepalaku, menganalisis apakah memang ada yang salah dengan kata-kataku.
Rex makan dengan buru-buru, dia bangkit dari duduknya untuk membeli beberapa air mineral, membayar tagihan makanan kami, lalu segera berjalan ke pintu.
"Regina, kau tunggu di sini, aku ambilkan dulu pakaianmu," ucapnya sambil memasang sarung tangan kulitnya.
Begitu Rex keluar dari Pearl Cafe dan berjalan menuju mobil biru navy-nya, Verlyn langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa.
"Kau akan pergi? Kau yakin?" tanyanya sungguh-sungguh.
Tepat saat Verlyn mempertanyakan begitu, Rina turun dari lantai atas dan menatap ke arah kami dengan datar.
Dan kalimat yang tak kusangka-sangka, muncul dari seorang Rina yang tadinya tampak seperti seorang anak manis di depanku.
"Biarkan dia pergi dengan Rex. Urusan mereka bukan urusanmu."
Aku dalam keadaan yang sangat tidak percaya. Ucapan itu diucapkan oleh seorang anak SMP kepada kakaknya dan hal yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa dia mengetahui nama Rex.
*
Perjalanan hening bersama Rex tidak pernah terasa seaneh ini.
Mungkin hanya dari persepsiku, sebab Rex masih bisa menyetir sambil mengganti siaran radio yang membosankan.
"Kamu sering ke sana?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
"Kemana?" tanya Rex tanpa mengalihkan pandang dari jalanan.
Dia pasti sangat multitalenta karena bisa menyetir sambil mengganti siaran radio, sambil berbicara kepadaku pula. Tetapi, jujur saja, kalau aku bisa mati, mungkin aku akan mengatakan bahwa multitalenta-nya ini adalah sejenis tantangan bunuh diri.
"Pearl Cafe," jawabku sembari menatapnya lekat-lekat.
"Hanya dua kali."
"Dua kali?" ulangku untuk sekadar memastikan.
"Iya. Hari itu dan hari ini. Kenapa?"
Mungkin seharusnya aku menerima tawaran Verlyn untuk melihat CCTV-nya walau hanya sebentar. Sekarang, aku benar-benar tersesat dan tidak tahu. Siapa yang sebenarnya sedang berbohong?
Kuharap Verlyn yang berbohong, walau ini hanyalah kebohongan kecil.
Tapi, kalau Rex yang berbohong, memangnya apa alasannya melakukan hal sesepele itu?
"Tidak apa-apa," sahutku pada akhirnya.
Saat ini, aku memakai lebih dari tiga lapis pakaian. Ini karena sugesti buruk dari Rex. Dia mengambilkan tiga kantong besar yang kuestimasi berisi lebih dari lima pasang pakaian. Setelah memilah-milih pakaian, aku mencoba memasangkannya agar tetap matching--kebiasaan lamaku kambuh lagi. Aku memang tidak merasa kepanasan, karena kebetulan suhu dalam mobil mewah yang tidak kuketahui namanya ini memang dingin.
Akhirnya, tangan Rex berhenti menekan-nekan tombol pada layar touchscreen yang ada di mobilnya. Pilihannya jatuh pada siaran radio yang memutar lagu-lagu lawas semasa aku SD.
Lagu yang entah mengapa seperti membawaku kembali ke masa itu, saat aku masih hidup dengan tenang sebagai manusia. Entah mengapa, aku malah bernostalgia singkat tentang teman-temanku di panti asuhan. Padahal, aku sama sekali tidak pernah mendengar lagu ini, saat di panti asuhan dulu.
"Kamu kayak bapak-bapak, dengerin lagu lama," ucapku bercanda, hanya untuk memecahkan semua bayangan-bayangan itu.
"Hanya karena selera musikku begini, bukan berarti aku bapak-bapak, kan?" tanya Rex balik. "Memangnya kau mau disebut ibu-ibu, karena kau suka memasak dan mengomel?"
"Sayang sekali, aku tidak suka mengomel," balasku enteng.
"Tadi kau ingin marah, karena aku makan es pagi-pagi. Iya, 'kan?"
Sialnya, BINGO. Dia benar sekali.
Aku menyandarkan sandaranku pada tempat duduk empuk di belakangku, sambil memainkan seatbelt yang memelukku. "Bicara tentang bapak-bapak, umurmu berapa?"
Rex melirikku sejenak, lalu kembali memperhatikan jalan, "Tebak saja."
"Uh, sembilan belas tahun?" terkaku.
"Salah."
"Akan lebih mudah kalau kamu langsung mengatakannya," sahutku kesal.
Rex terdiam selama beberapa saat, "Dua puluh empat."
Aku mengangkat alis, "Eh? Kamu tidak kelihatan seperti dua puluh empat tahun."
"Itu karena umurku baru tujuh belas tahun, saat aku pertama kalinya mati," jawabnya dengan nada rendah. Hal yang entah mengapa membuatku terdiam selama beberapa saat.
"Huh? Maksudnya seperti apa?" tanyaku, setelah merasa bahwa ini waktu yang tepat untuk bertanya, sebelum aku kembali dihadapi oleh situasi rumit dimana aku tidak boleh menanyakan apapun.
"Aku mati pertama kalinya, saat aku tujuh belas tahun, jadi aku selalu hidup kembali dengan keadaan seperti saat aku tujuh belas tahun. Ini defenisi forever seventeen yang sebenarnya," jawabnya sambil tersenyum simpul. "Tapi aslinya, aku dua puluh empat tahun."
"Oh, jadi seperti Om-Om yang terjebak di tubuh remaja, ya?" tanyaku sambil menahan geli di perut.
Rex memutar bola matanya kesal. Meski begitu, bibirnya tetap melengkung ke atas, tersenyum.
Suasana kembali hening. Sangat hening sampai rasanya kendaraan yang melewati arah yang berlawanan dari kami, terasa sangat panjang suara kendaraannya. Rex juga tidak memperlambat kecepatan kemudinya, karena jalanan di depan kami hampir bebas dari kendaraan yang searah dengan mobil ini.
Musik di radio juga mendadak menjadi lucu. Yang tadinya lagu lawas kesukaan Rex, kini malah berganti menjadi instrumental musik pernikahan.
"Sudahkah Anda merencanakan pernikahan yang membahagiakan bersama kekasih Anda?! Jasa Wedding Organizer kami kini dalam paket lengkap yang murah dan mewah! Custom undangan pernikahan, oleh-oleh untuk lebih dari 500 tamu undangan--"
Rex mengganti siaran radio dengan cepat, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan kosong di depannya. Siaran radio kini beralih ke lagu luar yang memang cukup populer.
"Oh, aku suka lagu ini," ucapku, memberikan petunjuk kepadanya bahwa aku tidak berharap dia mengganti siarannya lagi.
Rex tidak mengatakan apapun. Mungkin dia akhirnya memutuskan untuk ikut mendengar lagu ini karena musiknya yang memang enak untuk didengar.
"Apakah kamu sensitif dengan hal-hal berbau pernikahan?" tanyaku, setelah tidak tahan untuk terus merasa heran dengan sikap Rex tadi.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Rex malah mematikan radio dan beralih ke GPS. Hal mengejutkan lainnya terus berlanjut, saat dia memindahkan tuas transmisi mobil dari D ke S, menancap gas dan mempercepat laju mobil itu tanpa mempedulikan keadaanku yang sedang tidak waswas.
Akibatnya, tubuhku seperti tertarik ke belakang. Punggungku menyatu dengan sandaran mobil. Aku cepat-cepat mengangkat tangan kiriku dan memegang pegangan yang sedang terlipat, memosisikan diriku seperti sedang berpegangan pada ring pegangan yang biasa kutemui di bus.
"Aku hanya bercanda," cicitku pelan.
Kupikir Rex akan menurunkan kecepatan lajunya, rupanya aku salah. Dia tetap tidak menurunkan kecepatan mobilnya, bahkan saat jalan di depan kami melengkung agak tajam. Kepalaku hampir sama terbentur kaca jendela, jika seandainya sabuk pengaman yang kugunakan tidak menangkap adanya gerakan tajam yang mendadak.
Aku menatap ke arah Rex. Pandangannya ke depan terlihat serius. Dia tidak terlihat akan menertawakan reaksi kampunganku dalam waktu dekat. Ngeri sekali rasanya, saat aku tidak sengaja melihat jarum merah sudah bersiap-siap menunjuk angka 140 km/jam. Belum berminat menurunkan kecepatan, jarum merah itu seperti menunjukan tanda akan menunjuk 160 km/jam.
"Kamu marah?"
"Tidak," jawabnya singkat.
Alarm dalam kepalaku mulai berbunyi keras, saat jarum merah benar-benar menyentuh angka yang tidak kuharapkan.
"Rex! Aku tidak mau mati!" seruku.
Aku tidak bercanda. Kalau aku mati, aku bisa terlahir kembali, di manapun. Mungkin di rumah Rex, mungkin di toilet Pearl Cafe, mungkin pula di jalanan yang kosong dan penuh dengan hutan-hutan di kiri-kanan ini.
"Sabar. Sebentar lagi kita sampai di jalan besar," balasnya dengan serius.
Dan aku menemukan fakta baru. Sedaritadi kami lewat di jalan dua arah yang memang sepi, ini bukanlah jalan besar. Jika dilihat dari GPS di layar, kami memang sudah dekat dengan jalan besar.
"Iya, tapi tidak perlu balap-balapan seperti ini, kan? Memangnya kita dikejar siapa?"
CKIIIIT. Suara gesekan ban yang keras dari belakang kami, membuatku tersentak.
Dari spion kiri yang memang paling dekat denganku, aku melihat keberadaan tiga mobil hitam di belakang kami. Memang mereka tidak terlalu dekat dengan posisi mobil ini, tetapi saat aku mengingat kecepatan laju mobil ini yang sudah 160 km/jam, aku menyadari sesuatu.
Kali ini, aku yang terdiam.
Kami benar-benar dikejar oleh sesuatu.
Rex mengetahui tentang ini sejak tadi, dan dia tidak mengatakan apapun.
Dan hal yang paling membuatku semakin ngeri adalah saat aku menyadari bahwa ketiga mobil hitam itu adalah mobil yang pernah mampir di mansion Rex, membicarakan rencana untuk membunuh Rex.
Dan mungkin juga, aku.
***TBC***
24 Oktober 2018, Rabu
[A/N]
Hohohola!
Mulai tegang lagi ini ahahahaha /seneng/
Bukankah aku sangat baik karena membiarkan mereka tetap bertemu? IYA, MEMANG.
Maaf untuk janji palsuku di chapter lalu. Aku beneran minta maaf, sedalam-dalamnya. Sejak masuk semester lima itu, kayaknya aku mulai oleng sama tugas-tugas yang menumpuk luar biasa.
Minggu depan aku UTS. Kuusahain setelah itu aku akan buru-buruin nulis untuk Aqua World dan Revive, mengingat sekarang work di Wattpad memang tinggal dua ini. Tapi aku nggak bisa janji juga, soalnya aku memang diharuskan buat fokus sama real life oleh Mama dan Papa.
Uhm, diharuskan fokus buat kesehatan sih, terutama. Nggak tahu dah, sudah berapa kali aku sakit dalam sebulan ini. Papaku sampai sudah beli obat sama temennya. Mama dan semua saudara aku juga temenin aku buat konsul ke dokter, tapi sekarang aku sudah lebih baik dari sebelumnya.
But It's okay, sekarang aku sudah sehat, kok :3
Views 355K
Votes 39.6K
^ Ini dokumentasi, bukan target yang aku ingin kalian capai untuk next chapter.
Banyak yang salah paham di Aqua World saat aku membuat dokumentasi seperti ini dan malah dipaksa lanjut karena sudah melebihi angka itu. Yaiyah, udah lebih. Itu kan angka yang sudah dicapai sebelum aku update -_-
Oh ya, maaf aku curhat kepanjangan hari ini.
Have a really great day! <3
Cindyana
(Karena aku kalem, aku ga akan mainin piso mulu :3)
(lalu ditabok karena masih hutang banyak piso di chapter lalu, lalu, lalu)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top