16th
Awal dari sesuatu selalu terikat pada akhir.
Akhir adalah kehilangan.
***REVIVE***
"Ledakan terjadi di sebuah SPBU di kota...."
Sejam setelah Rex menelepon, Verlyn membuka saluran televisi. Bayangkan saja apa yang kami tonton selama menunggu Rex datang (baiklah, aku sedikit bersyukur karena Verlyn tidak lagi menceramahiku panjang lebar), tetapi pikirkan saja apa yang kami lakukan selama itu--hanya menonton siaran swasta yang bergosip ria tentang selebritis tanah air dan segala tebar pesonanya.
Aku yang semula sedang berpikir untuk keluar dan memeriksa keadaan, akhirnya tertahan kembali di tempat dudukku.
Dalam hati aku menertawakan fakta bahwa jasad Rex yang telah terbakar itu ditayangkan di televisi nasional.
Yang mana halnya, Rex masuk TV.
Mungkin ini bisa menjadi olokan buat Rex yang paling pantas.
Raja panggang!
"Satu korban berjenis kelamin laki-laki ditemukan tewas di dalam mobilnya. Belum diketahui identitas korban...."
"Astaga!" pekik Verlyn yang membuatku tersentak.
Aku tidak bercanda, aku benar-benar tersentak kaget. Padahal sebelumnya, aku sedang tersenyum menertawakan Rex dalam hati. Mati dan dipublikasikan itu pasti sangat memalukan sekali.
Verlyn menatapku ngeri, membuatku berpikir bahwa dia mungkin mengingat mobil yang pernah Rex gunakan saat menjemputku beberapa waktu yang lalu. Tetapi aku langsung membuang semua prasangka buruk itu saat mengingat bahwa Rex nyaris tidak pernah menggunakan mobil yang sama setiap dia pergi.
"Kenapa?" tanyaku sembari memperhatikan ekspresi wajah Verlyn yang pucat.
"Bukankah itu pom bensin di dekat sini? Kasihan sekali orang itu," lirih Verlyn, bersimpati.
Aku bersyukur Verlyn tidak melihatku tadi, karena aku sempat mengukir senyum dan berpikir untuk memberikan nama baru untuk teman sejenisku, untuk membalasnya karena biasanya dialah yang terus meledekku.
"Teman lelakimu, Rex tidak apa-apa, kan?"
Aku bersumpah bahwa wajahku yang kesal semakin jelek saat aku mengerutkan kening, saat dia mengatakan tentang teman lelaki. Saking kesalnya, aku nyaris melupakan fakta bahwa aku telah mengetahuinya satu jam lebih awal daripada publik.
Jeda satu jam untuk diketahui media massa mungkin terjadi karena ini masih pagi dan kebetulan hari sabtu, selain itu lokasi yang sepi dan hanya dilewati beberapa mobil dalam sekian menit mungkin juga mempengaruhi.
"Rex tidak apa-apa, dia tidak jadi mengisi bensin sepertinya," dustaku.
"Regina! Bagaimana kalau Rex bukan lelaki baik yang selama ini kau pikirkan? Bagaimana kalau ternyata--"
Aku menghela napas dengan berat. Mengapa topik pembicaraan kami kembali pada Rex?
"Dengar, Verlyn, hubungan kami tidak seperti yang kamu kira," ucapku, lalu menjeda setelah beberapa detik aku mengucapkan hal itu. "Ralat! Kami sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun."
"Tapi--"
"VERLYN! Kau sudah lihat berita?!"
Suara Andrea tiba-tiba saja terdengar dari arah pintu dan semakin keras saat dia membuka pintunya dan membuatnya mengeluarkan suara bel yang kerasa. Kami langsung menoleh ke sumber suara, yang membuatnya langsung terbungkam.
"Oh, hai, Regina."
"Hai," balasku sembari melemparkan senyum.
"Ngomong-ngomong, apakah kalian tahu kalau tempat pengisian bensin di dekat sini tadi meledak?" tanya Andrea sembari menghampiri mejaku dan duduk di kursi yang ada di depanku.
"Sudah." Verlyn menggantikanku menjawab.
"Untung aku terlambat bangun, kalau tidak aku sudah masuk TV," gumam Andrea dengan wajah pucatnya.
"Kau tidak kuliah?" tanya Verlyn, mengubah topik.
"Habis dari kampus, sudah duduk anteng di kelas, bapak dosennya bilang nggak ada kelas," jawab Andrea dengan muka bosan. "Jadi, daripada aku menjadi fosil di kelas karena menunggu kelas jam dua nanti, lebih baik aku ke sini."
Aku hanya diam saat mendengar perbincangan mereka berdua. Tidak perlu repot-repot menyambung topik pembicaraan mereka, karena kupikir aku tidak perlu bertemu dengan mereka lagi besok.
"Regina ke sini dengan siapa?" tanya Andrea.
"Dengan lelaki yang kemarin menjemputku, tapi dia sedang ada urusan mendadak," jawabku.
"Oh. Pacarmu?" tanya Andrea kepadaku, yang membuatku hampir saja cemberut episode dua.
Kuputuskan untuk membiarkan Verlyn yang menjawab. Pandanganku kembali ke televisi yang kini telah membahas perkara dan berita tentang hal lain.
Rex mungkin sudah setengah jalan dan dia tidak lagi menelepon. Kupikir, dia sangat hebat karena bisa menghafal nomor Verlyn (aku pernah meneleponnya dengan ponsel Verlyn). Menghafal nomor itu tidak mudah dan alasan aku dulu aku menghafal nomor Rex adalah karena aku menganggap itu adalah nomor daruratku.
Dan sepertinya ponselnya sudah terbakar bersama mobilnya, entahlah.
Semoga saja ponselnya rusak parah, agar tidak ada yang mengetahui identitasnya sekalian.
Pintu lain terdengar terbuka lagi, kali ini dari arah belakangku, yang membuatku langsung menoleh.
Seorang gadis perempuan masih dengan piyama tidurnya yang berwarna putih, dan mata bulatnya menatap ke arahku. Umurnya mungkin baru berumur tiga belas tahun atau di bawahnya.
Ah, aku paling tidak bisa berurusan dengan anak-anak.
"Kak Verlyn, ini siapa?" tanya gadis itu kepada Verlyn.
"Oh, ini teman kami, namanya Regina." Verlyn menatap balik ke arahku, "Regina, ini adikku, tahun ini masuk SMP. Namanya Rina."
Aku terpaksa tersenyum ke arahnya saat dia menunduk dan melemparkan senyum lebar yang sangat manis.
"Kupikir nama kita sangat dekat, iya kan, Kak Gina?"
Aku tersentak saat mendengarnya memanggilku dengan nama pendekku. Sebenarnya aku juga sudah sangat melekat dengan nama itu, mengingat itu memang nama yang selalu ditujukan kepadaku sebagai nama panggilanku selama ini.
Tetapi, siapa yang menyangka bahwa hal sekecil itu bisa menyakitiku semudah itu?
"Kak Risa, Kak Dan dan Kak Thur belum datang, ya, Kak Rea?" tanya Rina sambil menatap ke arah Andrea.
"Mungkin Arisa tidak datang," gumam Andrea sambil melirik ke arah jam tangannya. "Kalau Arthur dan Ardan ..., sepertinya mereka memang agak terlambat, ya?"
"Sepertinya jalan dari sana macet karena kebakaran di SPBU," gumam Verlyn
"Ada kebakaran?" tanya Rina, memperlihatkan ekspresi kaget.
"Iya, kau kembali ke atas saja," pinta Verlyn sambil bangkit dari bangkunya.
Di sana, aku baru sadar bahwa Verlyn mungkin tinggal di tempat ini, bersama dengan adiknya. Menurutku selisih umur mereka cukup jauh, untuk ukuran kakak-adik.
"Aku bosan di atas," jawab Rina sambil mengembungkan pipi. "Ini kan, sudah pagi."
"Jadi kau mau apa?" tanya Verlyn.
Aku dan Andrea hanya menyimak perbincangan dua saudari itu.
"Aku mau keluar sebentar. Boleh, kan?"
"Tidak ada apapun yang bisa dilihat di luar sana," jawab Verlyn.
Ucapan Verlyn entah mengapa membuatku merenung. Tidak ada apapun yang bisa dilihat di luar sana, sama seperti keadaanku yang sangat miris ini. Masa depan hanyalah kata kiasan, harapan dan kenangan seperti sebuah ilusi panjang yang tidak bisa kucapai. Yang kulihat selanjutnya hanyalah kekosongan, kehampaan dan ketidakpastian yang menyakitkan.
Mengapa saat aku mengira bahwa aku adalah manusia, hidup sampai enam puluh tahun terdengar sangat sedikit?
Mengapa sekarang aku merasa ketakutan?
Aku bahkan tidak mengerti apa yang sebenarnya kutakutkan. Mungkin bukan kematian, mungkin bukan kesengsaraan.
Aku takut dengan sesuatu yang tidak memiliki akhir.
Dan bukankah manusia takut dengan akhir?
Lagi-lagi aku menyesali mengapa aku harus berada dalam kondisi seperti ini. Mengapa aku bukan manusia?
"Regina?" Suara Verlyn menyadarkanku dari lamunanku.
"Ah, iya?"
"Kau kenapa?"
Aku tersenyum masam. Rasanya benar-benar hampa. Semuanya terasa begitu kosong, sampai-sampai terasa begitu memuakkan. Aku benci dengan perasaan yang kini tengah menyergapiku. Aku benci dengan keadaan ini.
"Aku mau ke toilet sebentar," lirihku sembari berdiri dan berjalan ke belakang.
Karena sempat bekerja di sini selama sehari, aku masih ingat di mana letak toiletnya. Rina membuntutiku dari belakang. Aku bisa melihat bayangannya dari depan dan juga bisa mendengarnya bergerutu kesal, mungkin karena Verlyn tidak mengizinkannya keluar dari sini.
"Kak Gina," panggilnya yang lagi-lagi membuatku bergidik ngeri.
Aku benar-benar benci dengan panggilan itu.
Segeralah aku berbalik dan menatapnya dengan senyuman yang kubuat-buat, "Iya, Rina?"
"Tidak bisakah kau membujuk Kak Verlyn? Dia suka sekali mengurungku dalam cafe yang membosankan ini," ucapnya sambil menggembungkan pipi.
"Verlyn melakukan itu karena dia takut ada hal buruk yang terjadi padamu, kakakmu menyayangimu," balasku dengan sok bijaknya, padahal kenyataannya aku tidak lagi memahami apapun yang namanya kasih sayang.
Saat mengetahui bahwa semuanya hanya kepalsuan belaka, rasanya seperti tidak pernah merasakannya sama sekali.
"Apakah kalian tidak bisa membicarakan ini baik-baik? Aku hanya orang luar," ucapku pada akhirnya.
"Teman kak Verlyn, kan? Orang luar darimananya?" tanyanya tanpa merasa bersalah.
Aku bahkan terlalu payah sampai tidak bisa menjelaskan defenisi 'teman' pada masa-masa umurku. Teman sekolah jelas berbeda dengan teman pungut--maksudku, teman di usia sekarang, semuanya jelas tidak sama lagi.
Memangnya apa yang bisa kujelaskan kepada anak yang baru mau masuk SMP ini?
Rina tersenyum, "Saat dewasa nanti, aku akan seperti Kak Gina."
Aku tersenyum miris, menjadi diriku sangat menyedihkan. Buat apa?
"Soalnya kakak cantik," pujinya.
Dan wajah ini, aku membencinya tanpa alasan. Semuanya terasa tidak ada artinya.
"Terima kasih, tapi lebih baik kamu menjadi dirimu sendiri. Kamu tidak bisa bahagia kalau kamu berkeinginan seperti itu," jawabku, lagi-lagi dengan lagak sok bijak.
Kenyataannya, saat ini aku merasa tidak bahagia karena tidak memiliki keinginan di dunia fana ini. Yang kuinginkan hanyalah hidup normal, seperti orang-orang pada umumnya. Sekolah, bekerja, menemukan lelaki idaman, menikah, lalu membina keluarga baru dan bukannya malah harus lari dari sesuatu yang bahkan aku tidak tahu jelas apa.
Semoga saja Rex benar, aku bisa menemukan alasanku untuk tetap bertahan dalam situasi seperti ini.
"Dan ngomong-ngomong, pacar kakak keren," ucap Rina sambil mengedipkan sebelah matanya, sebelum akhirnya dia mulai melangkahkan kakinya di tangga dan meninggalkanku.
Kepalaku sudah mendidih beberapa kali hanya untuk pagi ini.
***TBC***
3 Juli 2018
a/n
Hweeee ketik revive itu capek banget hweeeee. Mau nangis.
Oke, ZEMBLANITY akan aku up hari ini. Semoga aku nggak ngaret lagiii.
Kapan lagi scene tegang-tegangnyaaaaaa AAAAAA PAUS PAYAH.
Mata 297k
Bintang 33.6k
Cerita ini kayak nggak punya tujuan jelas kayak Regina yang nggak punya tujuan di hidupnya yang immortal itu. Menyedihkan sekali.
See you in revive, two weeks to go.
CINDYANA
(Piso menyusul lagi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top