14th
Jika hidup ini adalah ilusi, apakah kematian adalah kenyataannya?
***REVIVE***
Sampai sekarang, aku belum tertidur sama sekali.
Sulit bagiku untuk terlelap kembali setelah kejadian yang menimpaku kemarin, saat ada banyak orang asing tak kukenal yang datang untuk mencari Rex dan berniat membunuhnya.
Menyatakan ambisi mereka untuk menangkap Rex membuatku ketakutan, pasalnya aku dan Rex adalah satu makhluk yang sama, dan keinginan mereka memanglah hal itu.
Kuturuni tangga pelan-pelan, mengintip keberadaan di lantai dasar. Tidak ada satu pun perabotan yang terbungkus seperti yang kubayangkan, karena dari apa yang kuingat dulu, akan ada banyak kardus yang membungkus barang-barang bawaan untuk pindah nanti. Hal ini membuatku percaya bahwa Rex sama sekali tidak mempunyai niat untuk membawa barang-barangnya.
Kotak yang diberikan Rex padaku semalam sudah kubawa di tanganku. Ukurannya yang pas dalam genggamanku, membuatku secara tidak sadar telah mengusapinya beberapa kali. Bahkan rasanya, jari jempolku telah familier dengan ukiran pada kotak itu, walau sebenarnya aku sendiri juga tidak merasa yakin.
Kuperhatikan jam dan sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Mungkin sebentar lagi Rex akan bangun dan kami akan segera pergi dari sini.
Suara sesuatu yang terjatuh, membuatku tersentak. Rasanya sangat yakin sekali bahwa suara itu berasal dari lantai bawah, karena itulah yang tertangkap oleh indra pendengaranku.
Dengan agak gemetaran, kulangkahkan kakiku pelan-pelan menuruni tangga yang baru kujelajahi setengah jalan. Tidak sulit untuk tidak membuat suara pada setiap langkahku, mengingat bahwa hampir semua lantai yang kupijak bermaterial karpet, tangga hanyalah salah satunya.
Aku bukan merasa takut dengan hantu--atau apapun mereka menyebutnya--karena semasa hidupku, aku sudah pernah mengalami hal yang lebih menakutkan dari itu (omong-omong, aku jadi merasa seperti seorang wanita tua karena hal ini). Setelah menginjak lantai berbahan keramik itu, pelan-pelan aku melangkah menuju lorong, melewati lukisan-lukisan dan guci mahal yang tampaknya akan ditinggalkan oleh Rex.
Setelah melihat pintu masuk dan keberadaan pintu itu masih tampak sama seperti sebelumnya, aku menghela napas sebentar. Walaupun dalam keadaan yang redup dan minim cahaya, besi gambok yang melengkung itu masih memantulkan cahaya, membuatku yakin begitu saja.
Demi mengurangi ancaman kembalinya mereka, Rex menutup sangat banyak lampu terang untuk mengurangi kecurigaan, seandainya ada yang datang untuk memeriksa kembali--walaupun peluangnya sangat kecil, kalau kata Rex.
KREK.
Aku menoleh ke sumber suara. Suara itu bersumber dari arah dapur, yang membuatku langsung mengambil sebilah pisau buah yang Rex letakan dekat meja di depan televisi. Melewati perjalanan yang gelap dan hanya merasa terancam dengan suara itu, aku melanjutkan aksiku.
Langkahku terhenti saat aku mendengarkan suara langkah kaki, yang membuatku langsung bersembunyi. Satu lampu di lorong dalam perjalanan ke dapur dalam keadaan menyala. Berkat hal itu, aku bisa melihat bayangan seseorang yang memanjang ke arahku.
Dan begitu aku memprediksikan kedatangannya, aku ...
"Eh, Regina?"
Mataku terbelalak. "Rex?"
Tinggal satu sentimeter jarak mata pisau dan leher Rex. Kami berdua hanya diam dan saling menatap satu sama lain, kebingungan.
"Kau sudah bangun?"
"Ah, iya," balasku sambil memalingkan wajahku.
Rex menarik daguku agar kembali menoleh ke arahnya, sambil tersenyum menyeringai. "Mau mencoba membunuhku sekali dulu? Untuk pemanasan?"
Di saat itulah, aku baru menyadari bahwa aku belum menurunkan pisau itu. Mata pisau buah itu masih menunjuk ke lehernya. Tatapan intimidasi dari Rex dan juga keadaan yang redup dan gelap ini membuatku ketakutan dan merasa iri sekaligus.
Takut karena aku akan menjadi seorang pembunuh dan iri dengan Rex yang sepertinya tidak takut terhadap apapun, termasuk kematian.
Aku ingin sepertinya, itu yang kupikirkan.
"Tidak, terima kasih," jawabku sambil menarik pisau itu.
"Mengapa tidak? Barusan kau ingin melakukannya, kan?"
"Bukan ingin, tapi harus!" jawabku membela diri. "Kukira kau masih tidur di kamarmu dan yang di sini adalah orang yang masuk."
"Oh, bagus. Akhirnya kau sudah waspada dengan manusia." Rex mengangguk-angguk dengan bangga, seolah telah mengajarkan putrinya sebuah makna kehidupan.
"Aku hanya mendengarkan saran. Lagipula ucapanmu memang ada benarnya." Aku menunduk memperhatikan jari-jari kakiku. "Mereka ingin membunuhku."
Jari kakiku masih terlihat, sampai akhirnya Rex menyerahkan sebuah kantong plastik kecil untukku.
Aku langsung mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan kening berkerut, "Ini apa?"
"Ini KTP, paspor, akta lahir dan semua identitasmu."
Aku membuka plastik itu dan membaca salah satu kertas itu. Selesai membaca, aku langsung mendongak menatap Rex.
"Ini ... bagaimana kamu mendapatkannya?" tanyaku bingung.
Nama yang ada di sana bukanlah namaku. Aku sangat mengerti apa yang dilakukan oleh Rex. Ini pasti adalah identitas palsu yang akan kugunakan untuk berpergian kemanapun. Aku tidak terlalu bodoh untuk memahami ini . Masalahnya, bagaimana Rex bisa mendapatkannya secepat dan di tempat seperti ini?
Seperti mengerti letak keherananku, dia menjawab dengan mudah, "Aku sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Sebenarnya kemarin aku mengambil data pelengkap lain, tapi datanya sudah terbakar bersama mobil di jurang itu."
"Oh." Aku mengangguk paham.
"Berarti sekarang kau sudah siap, kan?" tanyanya sambil melangkah melewatiktu."Ayo, kita pergi sekarang saja."
"Kamu tidak membawa apapun?" tanyaku memastikan.
Rex melirik ke belakang, memperhatikan pintu putih yang letaknya agak jauh dari kami. Sampai sekarang pun, aku tidak tahu ruangan apa itu. Mungkin aku tidak akan pernah tahu.
Rex memutus pandangannya dari pintu itu, lalu melangkah lebih dulu menjauhi, "Tidak ada. Ayo."
***
Sudah beberapa jam sejak kami meninggalkan mansion milik Rex dan menaiki salah satu mobil Rex yang dikoleksinya. Selama itu juga perjalanan kami dari mansion terpencil Rex untuk sampai ke jalan besar.
Tiang-tiang jalan masih menyala. Lampu mobil Rex juga ikut menerangi jalanan, ikut menerangi.
Aku menjadi sensitif sejak kemarin. Misalnya, saat aku melihat ada cahaya mobil pengendara lain yang menyorot ke arah kami dari belakang atau mobil yang mencoba menyelip mobil Rex meskipun Rex sendiri sudah ngebut dengan kecepatan yang bisa dikatakan sangat cepat.
Selalu saja, aku merasa bahwa dia akan menghentikan mobilnya di depannya secara tiba-tiba untuk membuat kami berhenti.
Aku merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Merasa seperti buronan yang diteror oleh seluruh dunia karena melakukan sebuah kriminal berbahaya, padahal yang nyaris kulakukan setiap mati dibunuh hanyalah hidup kembali dengan wujud yang sama.
Beginikah perasaan mereka? Terbebas tapi merasa berada dalam kurungan yang tak terlihat?
Atau malah, mereka sama sekali tidak merasa tertekan seperti ini?
Aku membenci diriku yang pernah mengira bahwa aku adalah manusia, namun aku tidak mengerti apapun soal mereka.
"Rex, kita mau ke mana?" tanyaku pada akhirnya.
Rex masih menyetir dengan kecepatan yang sama. Aku merasa tengah dilirik, walaupun aku tidak bisa melihatnya secara pasti karena terlalu gelap.
Rex menyerahkan ponsel pintarnya padaku, yang membuatku baru menyadari bahwa dia menggunakan fasilitas di salah satu aplikasinya untuk mencari tempat tujuannya. Dan aku cukup kaget saat menggeser ke arah tujuan dan menemukan bandara sebagai tujuan utama kami.
"Bandara? Benarkah? Sebenarnya kita mau kemana?"
"Carikan tempat makan terdekat," pinta Rex tanpa mengubris pertanyaanku sama sekali. "Kau tahu cara memakainya, kan?"
Tentu saja aku tahu.
Sejujurnya, aku sedikit merasa marah kepada Rex. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatku merasa marah, namun karena Rex tetap tidak memberitahuku kemana kami akan pergi. Aku sudah menanyakan ini padanya dari kemarin malam dan dia masih belum menjawabnya hingga hari ini.
Tidak ingin dikatakan sebagai makhluk tidak berguna yang hanya bisa menumpang hidup pada Rex seperti benalu, aku akhirnya menyanggupi keinginan Rex untuk mencari tempat makan untuk kami berdua.
Setelah dipikir-pikir, dia pasti kelaparan sepertiku karena kami tidak memakan apapun kemarin malam. Masalahnya, Rex baru hiduo kembali dengan perut kosong, tentu saja keadaannya lebih mengkhawatirkan.
"Tempat makan paling dekat di sini ..."
Aku menjeda selama beberapa saat, lalu menatap kembali ke arahnya.
"Pearl Cafe."
***TBC***
3 Juni 2018, Minggu.
a/n
Oke, aku mulai muak dan sempat berpikir buat unpub revive, tapi sirip-sirip mungil ini menahanku.
Untuk Cindyana yang akan membaca note ini suatu hari nanti, aku benar-benar berharap kamu masih kuat buat melanjutkan sampai selesai dan jangan pernah unpublish sampai tamat.
Oke. //tarik napas//
Aku agak ... Ya ... Kecewa sama chapter ini, sebenarnya. But life has to go on, jadi aku akan tetap publish dan chapter ini punya peluang besar buat ditebas jika seandainya revive kepanjangan dan saat kurevisi besar lagi.
I'll give all my all in next chapter. Semoga aku tetap bisa mempertahankan ketegangan revive sama seperti chapter-chapter awal.
Oke. Aku akan ketik appetence dulu.
Big loves, Cindyana
(piso)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top