13th

Menjadi matahari yang sempurna untuk menerangi semua pandanganmu adalah hal mustahilku. Aku hanya akan menjadi lilin untukmu, yang menerangi sekitarmu kala gelap.

***REVIVE***

"Regina, bangun ..."

Sempat terpikir olehku bahwa suara itu hanyalah suara imajinasiku, bahwa aku mendengar suara Rex secara tiba-tiba. Tapi akhirnya, aku sadar bahwa itu bukanlah suara khayalan belaka, sebab tiba-tiba aku merasakan sesuatu meraba keningku.

"Rex?"

Aku membuka mataku dan mendapati diriku berbaring di salah satu sofa merah panjang di ruang tamu. Gorden merah marun masih membatasi kastel ini dan dunia luar, tapi tampaknya hari sudah mulai menggelap. Sudah senja.

Rex menarik tangannya.

"Kenapa tidur di sini?" tanyanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan mudahnya, aku berusaha untuk duduk. Rex yang masih berdiri di tepi sofa hanya menatap datar, menungguku bicara. Dari sini, aku bisa melihat bahwa pintu yang kukunci belum bergerak sedikitpun, masih terkunci.

"Hei, kenapa tidur di sini?" Rex mengulang pertanyaan saat menatapku kesal karena telah mengabaikannya. "Halo? Selamat pagi, Nona."

"Ini sudah sore," gumamku.

"Iya, memang sudah sore. Aku kan mencoba menyambutmu bangun tidur dengan ramah," balasnya sambil menaikkan sebelah bahunya tak peduli.

"Ini sudah lewat dua jam, kan?" tanyaku sarkas.

Rex menatapku dengan tatapan seolah aku adalah makhluk paling aneh di dunia. "Kau ini kenapa?"

"Harusnya aku yang bertanya."

Aku berdiri tegak, mengabaikan rasa pusing yang melanda, karena bangkit tiba-tiba tanpa menyesuaikan keadaan.

Sedangkan Rex hanya berdiri memerhatikan, atau lebih tepatnya menyimak dalam diam.

"Kenapa kita bisa dilahirkan seperti ini?" tanyaku frustrasi. "Kenapa? Makhluk apa sebenarnya kita ini?"

"Hey, tenang dulu...." Rex memaksaku untuk duduk. "Kubuatkan kopi ya? Aku tidak punya teh."

"Aku tidak minum kopi," tukasku. "Dan jangan mengalihkan topik. Kamu benar-benar tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa sebenarnya kita?"

Rex terdiam untuk beberapa saat, ia mengelus dagunya seolah tengah berpikir keras, "Jadi, kau lebih suka teh hitam, teh hijau atau teh herbal?"

"Rex, aku serius. Jangan mengalihkan topik."

"Ayolah, Regina. Jangan menyusahkan hidupmu dengan memikirkan hal seperti itu," ucap Rex sambil melangkah menuju sofa di seberangku, ia lalu mengambil remote AC dan menyalakannya.

"Aku bahkan tidak yakin kalau aku sedang hidup," sahutku putus asa. "Defenisi kehidupan itu ... apa? Sesuatu yang indah dan memiliki akhir? Tapi ini tidak indah dan ini tidak akan berakhir, kan?"

Rex menatapku dengan kening berkerut, "Kau pernah baca kamus tidak, sih?"

Tidak ingin berdebat dengan Rex, aku akhirnya membuka suara lagi, "Rex, kita ini makhluk apa?"

Rex menatapku dalam, seperti tahu bahwa aku ingin mengatakan hal lain setelah pertanyaan itu.

"Apa kita ini objek percobaan seseorang?"

"Apa ada yang datang tadi?" tanya Rex, tiba-tiba saja waswas.

Setelah ketegangan yang sedaritadi Rex coba untuk cairkan, akhirnya keadaan berubah serius. Nada bicaranya bisa menjelaskan semuanya.

Aku menjelaskan apa yang terjadi saat aku di ruang perpustakaan tadi. Rex mendengarkan tanpa memotong sama sekali, hingga aku selesai bercerita. Ekspresinya serius, sepertinya dia percaya semua kata-kataku begitu saja--walaupun aku memang tidak berbohong sama sekali.

Agak lama setelah aku selesai bercerita dan keheningan menguasai keadaan di sana, Rex akhirnya berdiri dari duduknya dan membuka suara.

"Aku mengerti."

"Mengerti apa?" tanyaku bingung.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah menghubungi seseorang di ponselnya dan berjalan ke arah pintu depan.

Di sana, aku baru sadar bahwa pintu depan masih dalam keadaan terkunci, sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya.

*

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi tiba-tiba saja Rex mulai menyimpan beberapa barang-barangnya dalam sebuah kotak kecil.

Rex juga menyuruhku menyimpan beberapa barangku, kalau aku mau. Masalahnya, aku baru datang ke sini beberapa hari yang lalu dan sesungguhnya aku datang kemari tanpa membawa apapun selain diriku sendiri, jadi, aku tidak punya apapun untuk dibawa.

"Rex, kita mau kemana?" tanyaku.

Dia yang sedang menata barang-barangnya, langsung mengangkat kepalanya, menatapku datar.

"Kita pindah."

"Ke mana?"

"Ke mana saja."

Aku berdeham. "Jadi kita akan terus pindah setiap profesor itu menemukan tempat tinggalmu?"

"Ya, itu yang kulakukan sampai hari ini," jawab Rex.

"Sampai kapan?"

"Sampai dia mati," jawab Rex enteng. "Kau tidak perlu berpikir untuk merasa cemas selamanya. Tenang saja."

"Kamu yakin kita akan baik-baik saja?"

"Hmm, entahlah. Mungkin kita harus berpencar? Aku tidak mau mereka menemukanmu."

Sebenarnya, tidak ada apapun yang spesial dari kata-kata Rex, tapi entah mengapa itu berhasil membuatku bingung, tidak tahu harus menjawab apa.

"Kamu ... kenal dengan profesor itu?"

Jeda hampir tiga detik.

"Kenal dalam artian mana? Kenal nama atau mengenal dia sepenuhnya?" Rex balik bertanya.

"Apapun itu," balasku.

"Entahlah, dia orang paling niat dan paling nekat yang pernah aku tahu. Banyak yang bilang, mungkin dia gila," ucap Rex sembari menutup kotak kecilnya. "Aku sudah siap berberes, mungkin besok subuh, kita sudah boleh pergi."

"Besok?"

"Iya, besok. Sebenarnya akan lebih bagus kalau hari ini, tapi aku masih lelah."

"Oh."

Hening.

"Rex, apa kamu baru saja mati?"

Rex menoleh singkat, "Darimana kau dapat kesimpulan seperti itu?"

"Mobil yang kamu pakai tadi tidak ada ... dan juga, pintu masih dalam keadaan terkunci saat kamu kembali," jawabku ragu. "Jadi, kamu baru mati?"

Rex mengusap kepala belakangnya sambil menatap ke arah lain, "Ah, iya, ada mobil yang menabrak mobilku ke jurang dengan sengaja. Sayangnya aku tidak sempat melihat si Sialan mana yang melakukannya."

Dan detik itu, aku merasa beruntung karena tertidur. Akan sangat berbahaya kalau saat itu aku dalam keadaan terbangun. Aku kan tidak tahu dia akan terlahir di mana.

"Kurasa aku harus tersanjung karena kau memerhatikan hal kecilku seperti itu," ucap Rex terdengar bercanda.

Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, "Bukan, sungguh."

"Bukankah sebaiknya kau tidur?"

Topik berubah dengan cepat, lebih cepat daripada lemparan kapur pada kepala yang pernah dilakukan guru SMA-ku saat dia menangkap ada siswa yang tertidur.

"Aku belum ngantuk. Tadi kamu bilang kamu capek, kan? Tidak tidur?"

Rex mengerutkan keningnya, menatapku heran, "Tidakkah kau pikir percakapan kita terdengar aneh?"

"Percakapan yang mana? Sejauh yang aku tahu, percakapan kita memang selalu aneh, apalagi saat kita membicarakan kematian."

"Barusan kau terdengar seperti gadis yang menyuruh lelakinya tidur lewat pesan, tahu?" tanya Rex tanpa menolehkan kepalanya ke arahku.

Bulu kudukku sepertinya berdiri selama beberapa saat.

"Benarkah?" tanyaku gugup.

Seumur hidup aku belum pernah memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis, karena selain sibuk bersekolah dan (sok) sibuk memikirkan banyak hal, aku tidak tertarik untuk mencobanya sama sekali.

"Bercanda, kau mirip ibu-ibu yang berbicara pada anaknya," balasnya yang malah membuatku jengkel sekali.

Menurutku, Rex adalah makhluk teraneh. Dia seperti dirasuki oleh dua jiwa dengan kepribadian berbeda yang bisa berubah lebih cepat daripada angin. Sedetik yang lalu, dia bisa saja sehangat sinar matahari, tetapi nol koma sekian milisecond kemudian, dia menjelma kembali menjadi setan. Iya, setan.

"Kalau kau merasa tidak punya bawaan apapun, kuanjurkan kau membawa pisaumu." Rex memberi saran. "Oh, atau tidak perlu. Satu mobil punya satu pi--"

"Baiklah, akan kubawa, berhenti membicarakan itu."

Rex tersenyum miring sambil mengangkat kotak kecil yang sedaritadi ditatanya dengan hati-hati. "Tangkap."

Aku terkejut setengah mati--tunggu, aku tidak bisa mati dalam keadaan setengah-setengah--dan untungnya aku berhasil menangkap kotak kecil itu saat Rex melemparkannya padaku.

Perlototan tajam buatnya rasanya tidak cukup.

"Apa ini?"

"Banyak hal. Ada racun dari bentuk cair, pil, dan bahkan bubuk. Kau tinggal pilih saja mana yang kau suka."

Aku menatapnya garang, "Aku tidak suka racun."

"Ya, memangnya siapa yang suka? Terakhir aku meminumnya, obatnya terasa pahit sampai di lambung begitu aku menelannya, semua organ tubuhku mulai lumpuh, lalu pelan-pelan aku kehilangan napas. Tidak menyenangkan."

"Deskripsi yang bagus, tapi aku tidak tertarik. Akan kukembalikan."

"Itu bukan buatmu," kata Rex yang membuat langkahku untuk mendekat ke arahnya terhenti seketika. "Kau bisa memberikan itu pada manusia yang kau rasa tahu soal rahasiamu."

"Rahasia yang ma--"

Aku terdiam saat menyadari bahwa sebelumnya, aku belum pernah memiliki rahasia besar dalam hidupku. Ini yang pertama, dan paling berpengaruh pada kisah hidupku selanjutnya.

"Ya, bunuh manusia yang tahu soal kau yang terus hidup walau mati berulang kali," sahut Rex, mengiyakan apa yang baru saja kupikirkan. "Membiarkan mereka tahu tentangmu, sama saja dengan memberi jalan bagi mereka untuk membatasimu."

...membatasiku.

Tidak, saat ini aku sudah terlalu terbatas.

"Kau harus percaya padaku, Regina."

Dan setelah kupikir-pikir, ancaman kami saat ini, yang membuatku harus terkurung di sini dan terus melarikan diri ...

Memanglah manusia.

***TBC***

6 Mei 2018

a/n

So sorry for the superlate update. I've tried my best to post this before midnight tho 😭

Makasih buat yang sudah meneror aku dengan tertib, hahaha. Maaf lho yaaa. Aku bukan tipe yang suka mengingkar janji, jadi jangan kecewa denganku, yaa.

Semalam sebenarnya aku sudah mengetik 2k kata, dan semuanya hilang dengan imutnya, tanpa bekas dan tanpa jejak. Mau nangis tapi gabisa, yasudahlah.

Somehow aku belum bisa mulai konfliknya, karena masih super gantung dan aduh, aku bakal digebukin massal kalau mendadak gantung kayak Aqua.

Minggu depan aku UAS lab, jadi belum tau bisa update atau enggak. Aku nggak bisa janji, tapi aku bakal berusahaa!

BTW apakah kalian tahu kalau aku bikin work baru?

Judulnya Another Dimension Kingdom I : MIZAPH.

Genre fantasi, tema kerajaan, dan rencananya aku bakal up tiap senin sampai jumat. Dibaca yaa kalau tertarik! Dan jangan lupa baca note sebelum mulai membaca.

LOVE YAA. SEE YOU AGAIN.

Mata - 238k
Bintang - 25.5k

-Cindyana

🔪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top