12th
Warning!
18+ alert!
Bijaklah dalam memilih bacaan!
"Mereka bilang, tidak ada yang kekal di dunia ini.
Jadi, bukankah luar biasa kalau kita bisa bertahan selamanya, seperti ini?"
***REVIVE***
Hari ini sudah hari kelima setelah aku berada di dalam istana milik Raja Rex.
Kupikir aku akan menjadi pelayannya seumur hidup dan aku akan melakukan hal yang sama di sana selamanya. Dalam lima hari yang membosankan, tugasku hanya menyiapkan makan siang dan makan malam untuk Rex. Di sini aku tahu bahwa Rex tidak terbiasa sarapan dan karena kebetulan selera makan di pagi hariku cukup buruk, maka kami hanya makan dua kali sehari.
Persediaan makanan di kulkas juga masih cukup banyak untuk dua orang, jadi aku sama sekali tidak berpikiran untuk keluar dari tempat ini dalam waktu dekat, setidaknya sampai persediaan makanan habis lagi. Kami berdua akan terjebak di kastil ini sampai tidak ada apapun lagi yang bisa dimakan.
Oh, tentu saja itu kalau Rex tidak berniat memakanku. Aku masih ingat resep sup diriku sendiri, kalau kalian bertanya.
Hari ini Rex melakukan sesuatu yang ajaib. Aku tidak tahu apakah kepala Rex habis putus dan tersambung kembali atau karena hal lain, hari ini Rex menanyakan hal ini.
"Aku harus ke suatu tempat sebentar, dua jam mendatang aku akan kembali," ucap Rex di sela-sela makan siang kami.
Rex akan pergi dan bukankah itu kesempatan bagiku untuk pergi?
Atau jangan?
Setelah mengunyah dan menelan makanan, aku memberanikan diri bertanya, "Kamu mau kemana?"
Rex hanya diam tanpa sedikitpun minat menjawab pertanyaanku. Baru-baru ini aku menyadari bahwa Rex menerapkan prinsip mengunyah tujuh kali sebelum menelan makanannya. Sedikit kesal karena dia tak kunjung menjawab, aku bertanya sekali lagi.
"Apa aku boleh ikut? Aku bosan di mansionmu ini. Aku tidak berani keluar karena ini di tengah hutan."
Apa yang kutakutan sebenarnya? Maksudku, kalaupun aku bertemu dengan binatang buas dan dia memangsaku, aku bisa hidup kembali seolah tidak ada hal buruk apapun yang pernah terjadi denganku.
Ya, hanya memelas. Pergi dari sini bukan pilihan yang benar untuk saat ini. Rex sedang mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan kami. Dan kalaupun dia tidak bisa menemukannya, setidaknya aku sudah bertemu dengan seseorang yang bernasib serupa denganku.
"Kau tidak boleh ikut," ucapnya setelah menelan makanannya. Nadanya terdengar tegas tanda tak ingin kubantah lagi, "mungkin kau bosan, tapi di sini kau aman."
"Tapi—"
"Hanya dua jam, jangan manja."
Aku mengerutkan kening, "Aku tidak sedang bermanja padamu. Aku hanya bosan!"
"Aku tidak peduli, obati saja bosanmu dengan sesuatu."
Aku diam sampai seluruh nasi dan laukku habis. Bosan berbicara dengan Rex, aku berpindah duduk ke atas sofa merah yang terletak di atas karpet maroon besar di ruang tamu, tidak mau menatapnya yang masih di ruang makan.
Suara langkah dari belakang samar-samar terdengar, lalu pergerakan di samping sofa yang kududuki, tampaknya Rex memilih duduk di sana.
"Di lantai dua di sebelah kamarku ada perpustaka-"
Ucapan Rex terhenti, aku sempat mendengar dia bergumam pelan, "Ah, dia mungkin tidak bisa membaca."
Aku berbalik menatapnya garang. "Aku mendengarnya!"
"Di lantai dua ada perpustakaan. Lantai tiga ada banyak koleksi barang antikku, kau boleh lihat kalau kau mau. Kau ingin titip sesuatu?"
Aku menggeleng.
"Bagus. Aku akan kembali dua jam lagi." Rex berdiri dan menunjuk jam dinding yang ada di depanku. "Dua jam, paham?"
"Tentu saja aku mengerti. Kamu benar-benar meremehkanku sedaritadi!" seruku menggertakan gigi.
Rex hanya menatapku datar, lalu berjalan menuju pintu. "Di dekat TV ada telepon genggam dan nomorku sudah kutulis di sticknote. Kalau ada yang datang, jangan langsung membuka pintu. Hubungi aku dulu, oke?"
"Iya, iya," balasku malas.
Aku tidak mau bilang soal diriku yang sebenarnya telah menghafal nomornya di luar kepala.
Rex seperti Ayah yang sedang memberi amanah pada putrinya untuk tidak asal membuka pintu pada orang asing yang tak dikenal. Dia mungkin tidak tahu bahwa aku adalah orang yang cukup tahu diri, tidak mungkin aku dengan asal membukakan pintu di tempat yang bukan rumahku, kan? Dan daripada rumah, tempat ini lebih mirip penjara.
Dan satu lagi, memangnya Rex akan menerima tamu dalam dua jam ini?
Di siang yang mendung?
Di tengah hutan?!
Tidak mungkin, kan?
"Aku pergi dulu," ujarnya entah untuk yang keberapa kalinya. Lagi-lagi seperti yang kukatakan, mirip Ayah yang tidak mau berpisah dengan putrinya. "Regina, kuingatkan lagi kalau kau lupa. Hutan ini ada banyak binatang buas, kau jangan keluar sembarangan."
"Iya, iya." Jawaban malas itu membuat Rex berdecak kesal.
"Jangan mencoba pergi dan jangan coba-coba masuk di ruangan kemarin. Kau akan menyesal," tekannya sungguh-sungguh.
Aku memutar bola mataku malas, "Iya, kapan sih kamu perginya? Aku dengar, kok."
Rex tidak lagi mengatakan apapun, segera saja dia menutup pintunya dan aku beranjak dari dudukku untuk menguncinya dengan segera, sesuai pesannya. Aku sempat mengintip keberadaannya dari jendela, dan mobil hitam itu perlahan mundur, lalu memutar ke arah berlawanan dengan mansion ini.
Aku menghela napas, melangkah dengan pelan ke ruang tamu dan memperhatikan telepon genggam yang direferensikan Rex tadi, lengkap dengan nomor ponselnya dan pesan-pesan yang isinya tak beda jauh dengan pesan sebelum dia pergi tadi.
Kulirik keberadaan pintu putih yang cukup kecil ukurannya karena jarak. Rex melarangku masuk ke sana dan itu justru terdengar seperti undangan untuk membukanya. Semua aturan yang mengekang sebenarnya membuat para pemberontak bersemangat.
Aku hanya salah satu orang yang dari lubuk terdalam ingin melakukan pemberontakan sedaridulu, tapi tidak bisa karena aku terlalu tahu diri.
Aku memutuskan untuk naik ke lantai atas saat mengingat perkataannya tentang perpustakaan di lantai dua-nya itu. Jujur, sedari masa aku sekolah dulu, perpustakaan bukanlah destinasi yang ingin kutuju. Aku ingat persis bagaimana garangnya penjaga perpustakaan di sekolahku dan sepertinya karena dendam terselubung, dia selalu saja mencari alasan agar aku mendapat denda. Padahal, niat buat minjam buku pun, hampir tidak ada. Aku bukan si kutu buku yang suka berkencan dengan buku.
Ruang perpustakaan di rumah Rex tak sulit untuk dicari, hanya sekali tengok sajapun, aku bisa menemukannya. Itu karena tidak ada pintu yang menghalangi jalan masuk, rak-rak buku yang tinggi dan berjejer rapi sudah terlihat meski dari luar. Sebenarnya dari awal aku mendatangi tempat ini, aku sudah melihat perpustakaan itu, tapi aku tidak berani masuk, takut ada buku penting milik Rex yang hilang di tanganku.
Oh, dan juga, karena aku tidak tertarik untuk berada di sana.
Baru melangkahkan kakiku ke dalam, aku merinding. Rasanya seperti tengah diawasi oleh penjaga perpustakaan di sekolahku yang dulu. Tapi tidak ada yang benar-benar tengah memperhatikanku, hanya firasat bodohku yang membuatku berpikiran demikian.
Tangga untuk memanjat rak yang tidak dapat dijangkau, tinggi rak yang menyentuh langit-langit tinggi itu nyaris tidak terlihat ruang kosongnya sama sekali. Bahkan ada beberapa tumpuk buku yang dibiarkan tergeletak di lantai karena tidak mendapat tempat.
Lihat, bahkan ada pembagiannya! Histori, alam, ensiklopedia, dan lain sebagainya. Diantara semua yang ada, mataku terus saja menemukan banyak hal berlabel sains hampir disetiap sudut yang ada.
Darimana aku tahu bahwa semua itu berlabel sains? Karena aku familiar dengan tulisannya dan memang ada banyak -logi-logi di sana. Lalu ada banyak bahasa biologi--eh, latin di sini.
Jangan tanya betapa tebalnya buku-buku itu. Tebalnya menyamai kamus bahasa Inggris-Indonesia yang kumuliki saat semasa SMA dulu.
Aku menduga bahwa Rex adalah orang yang rajin, karena kalau aku diberi kebebasan untuk mengisi buku di perpustakaan yang luas ini, aku akan memilih mengisinya dengan manga, novel dan buku bergambar. Aku lebih suka mengisinya dengan hal yang memiliki alur jelas daripada teori yang bahkan kejelasannya masih dipertanyakan (dan aku benci teori, mereka membosankan).
Jendela yang besar namun penuh dengan jeluji besi yang menghalangi itu tak membuat perpustakaan ini terkesan layaknya penjara, sebab masih ada dunia luar indah yang terlihat.
Sebenarnya baru kali ini aku berpikir seperti itu karena jendela ini menghadap ke arah pintu masuk mansion ini, berbeda dengan balkon kamar yang kutempati atau balkon di kamar Rex yang menghadap ke halaman belakang yang penuh dengan kuburan Rex.
Tak ada apapun yang bisa kubaca—tepat persis seperti kata Rex tadi, tapi aku bisa membaca—aku pun duduk di kursi yang ada di samping jendela, dengan tangan menahan kepalaku.
Andai saja dunia tidak berubah secepat ini.
Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat. Keheningan di tempat ini memang tidak main-main. Suara cicitan burung yang tidak kutahu jenisnya, suara desiran angin dan gesekan daun ....
Kupejamkan mata sambil menikmati yang masih bisa kuratapi. Beban di kepalaku sedikit terangkat.
Sejenak, aku melupakan masalah-masalah yang menghantuiku.
Suara itu menyenangkan, sebelum pendengaranku menangkap suara yang janggal dari jarak yang tidak jauh, suara mesin mobil mendekat, mesin mobil dimatikan, lalu suara pintu mobil yang ditutup dengan keras. Bukan hanya satu suara.
Lalu, suara besi saling menyenggol kasar.
Aku berdiri dari dudukku, namun dengan cepat bersembunyi di balik tirai merah saat melihat ada beberapa mobil hitam terparkir di depan mansion.
Mobil itu jelas bukan milik Rex, karena seingatku semua mobilnya terparkir dengan rapi di perkarangan mansion dan mungkin ada beberapa lainnya yang bersembunyi di dalam garasi tua yang telah berkarat di samping sana. Bukan, bukan, mobil hitam itu jelas tidak ada di depan pagar itu sebelumnya.
Siapa yang datang?
Jadi Rex benar-benar kedatangan tamu?
Tidak, tidak, tamu tidak akan memanjati pagar, kan? Padahal gembok usang yang ada di pagar hanyalah pajangan belaka, itu kata Rex saat kami pulang dari aktivitas berbelanja kami.
Suara ketukan di pintu depan terdengar, lalu gedoran pintu semakin lama semakin keras, membuatku ketakutan. Aku terduduk di samping rak dan memeluk tubuhku sendiri. Ini menakutkan!
Mereka jelas bukan tamu yang baik.
"Salah satu dari mobilnya tidak ada."
"Cih, sepertinya dia tahu kita akan kemari, dia pasti sudah pergi!"
Aku diam-diam menghela napas lega mendengarkan itu, namun kelegaan itu hanya berlangsung beberapa saat.
"Jangan bodoh! Kalian benar-benar mau mencarinya? Tidak ada manusia yang immortal! Sudah kubilang sejak awal, perjanjian untuk membunuh sesuatu yang tidak ada adalah ide yang buruk!"
...membunuh?
"Tapi anak itu benar-benar immortal."
"Kalaupun iya, dia akan terus lahir, lahir dan lahir! Kita tidak akan bisa membunuhnya berapa kalipun kita mencoba membunuhnya!"
"Jangan banyak mengeluh! Bukan hanya kau yang sudah terikat kontrak kerja dengan profesor gila itu, tapi kita semua!"
Profesor gila?
Siapa?
"Jangan berisik! Kalian bisa memancing binatang buas!"
Hening, terlalu hening sampai aku harus menebak apa yang sedang terjadi di bawah sana. Kakiku terlalu lemah untuk berdiri memeriksa keadaan, aku terlalu panik dan bingung dengan apa yang harus kulakukan.
Menelepon Rex sekarang juga bukan ide yang bagus, sebab mereka mengincar kami berdua. Sebaiknya aku tidak meneleponnya.
"Huh, dia pasti akan pindah mansion lagi. Sebaiknya kita langsung mencari tahu daftar rumah tua yang akan dibeli anak itu," gerutu seseorang dengan kesal.
"Anak itu sangat cerdik, tapi juga bodoh. Dia sudah tahu persis kalau profesor tidak akan melepaskannya begitu saja, mana mungkin profesor gila itu ingin kehilangan objek eksperimennya yang paling berharga."
"Sudahlah! Jangan berisik! Kalau ada harimau yang tiba-tiba datang, kalian akan jadi orang pertama yang kulempar ke arahnya!" Orang yang sama berbicara lagi, "Sudahlah, sebaiknya kita berpencar di kota mencarinya, kalau dia tidak ada lagi di kota, kemungkinan besar dia keluar kota lagi."
"Benar-benar merepotkan."
Setelah itu, suara pintu mobil yang tertutup beruntun beberapa kali dan juga suara mesin mobil yang menyala dan pergi tiba-tiba saja membawa kembali keheningan, aku benar-benar tidak tahu harus bernapas lega atau malah merasa cemas.
Kami ada dalam keadaan yang terhimpit dan ada sesuatu yang tidak kuketahui, mengincar kami.
Rasanya, berlari kemanapun tidak akan bisa membebaskanku.
***TBC***
Selasa, 27 Februari 2018.
Note
Aku tau ini tidak greget sama sekali, kalau dibandingin sama bagian pas Regina dipotong-potong.
Dan hei, apakah kalian menunggu bagian 18+nya? Kalian nakal! Pasti umur kalian ada yang belum cukup, tapi kalian tetap lanjut baca, kan? /ceritanya paus lagi marah/
Apakah kalian senang karena masalahnya sudah mulai muncul? Karena aku senang :D
Kalian harus curiga kalau aku pasang scene manis antara dua tokoh lain kali, ok? Karena terakhir kali aku membuat Ath dan Skye manis-manis, mereka berpisah lebih dari sekian bulan dan sekian chapter. /oops/
Oke, dokumentasi lagi as always
Mata 191k, bintang 20.4k
BTW aku membuat kebijakan baru dalam mengupdate Revive dan Aqua. Untuk revive, aku akan update jika aku sudah mengedit dan memperbaiki Aqua yang akan dipublish next chapter. Aqua sebaliknya.
Jadi, ya, Aqua untuk next chapter sebenarnya sudah selesai dan akan dipublish kalau aku sudah mengedit revive. Harapanku, kalian mendukung caraku mendisiplinkan diri, karena aku ini biasanya cukup tidak sabaran untuk update jika satu chapter sudah selesai diedit dengan rapi.
Iya, aku sedang memaksakan diriku. Haha. Doakan lancar.
Makasiihh <3
Ditunggu Aqua-nya <3
Semoga aku segera bisa merapikan revive next chapter agar Aqua bisa update.
Cindyana H
🔪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top