11th
Tempat terbaik di dunia ini adalah tempat di mana tidak ada seorangpun yang mengenalmu.
***REVIVE***
Aku tidak bisa tidur nyenyak kemarin malam. Sebenarnya bukan karena aku merasa tidak familiar dengan kamarnya—mungkin tidak, sebenarnya aku juga tidak pernah merasa nyaman dengan kamarku sendiri sejak sebulan yang lalu.
Aku selalu mengunci kamar di malam hari, waktu malamku dihabiskan dengan ketakutan yang melanda. Duniaku terasa begitu berbahaya.
Tapi, kini aku sudah bebas dari dua orang itu. Dua orang yang sudah membuat hidupku selama sebulan ini penuh teror dan ancaman.
Aku aman, ya. Aku bahkan menemukan seseorang yang juga memiliki kemampuan sepertiku—Rex.
Kata Rex, di dunia ini hanya ada dua orang yang memiliki kemampuan ini, dan itu adalah aku dan dia. Regina dan Rex. Aku tidak tahu Rex begitu cerdik sampai-sampai dia bisa menemukanku di dunia seluas ini.
Sebenarnya aku baru mengenalnya, tapi apalah diriku ini, gadis tak tahu malu yang kini menumpang tinggal di rumahnya.
Ah, dasar tidak tahu diri.
Meskipun Rex sudah berbaik hati mengizinkanku tinggal di sini, tetap saja aku belum mempercayainya sepenuhnya. Pintu kamar dan pintu balkon kukunci demi keamanan.
Dan Rex masih seperti Rex kemarin, yang menyuruhku menyimpan pisau. Untuk jaga-jaga, katanya. Entahlah berjaga-jaga dari hal apa, sementara hanya ada aku dan dia, di sini.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kuketahui. Sangat. Contoh terdekatnya, siapa sebenarnya orangtua kandungku? Apa mereka juga mempunyai kemampuan ini?Darimana Rex tahu bahwa di dunia yang luas ini hanya ada aku dan Rex yang memiliki kemampuan ini?
Dan, siapa Rex sebenarnya?
Daripada pusing memikirkan jawaban yang pastinya tak akan datang secara tiba-tiba itu, sebaiknya aku tidur, mengistirahatkan otakku dan membiarkannya sadar bahwa kini aku telah bebas.
*
Kuperhatikan Rex duduk di sofa sambil menyesap kopinya perlahan. Matanya sedaritadi tidak lepas dari pandangan monitor di laptopnya.
Mulutku benar-benar gatal ingin bertanya. Sungguh, aku sangat ingin tahu.
Tiba-tiba saja matanya melirik ke arah mataku, membuatku gelagapan seperti habis tertangkap basah. Aku pun memperbaiki posisi dudukku dan pura-pura melihat ke lantai. Mata abu-nya itu masih menatapku mengintimidasi, aku bisa merasakannya tanpa perlu melihat.
"Apa? Kau tidak nyaman dengan pakaianmu?"
Aku menggeleng. Tidak juga, pakaian yang ada di almari di kamar itu, semuanya adalah kemeja yang umumnya berlengan panjang yang ukurannya lebih besar dari badanku, membuatku tampak tenggelam saat memakai pakaian itu.
Rex memperhatikan lenganku yang tertutup pakaian, membuatku risih juga.
"Kenapa?"
Rex meletakan laptopnya di sisi tangan sofa, lalu meletakan cangkir kopinya di atas meja kaca. Dia berdiri lalu menunduk mengangkat lenganku.
"Ada apa dengan tanganmu?" tanyanya dengan nada dingin, membuatku cepat-cepat menggeleng.
Rex dengan tak sabaran melipat lengan pakaianku ke atas, dan matanya menatapku galak saat dia menemukan beberapa goresan dengan kulit mengelupas dan bagian luka yang mengering sana-sini. Aku tidak akan lupa bagaimana perihnya tanganku saat terkena sabun mandi.
"Kenapa tidak bilang?"
Aku gelagapan, "D-darimana kamu tahu kalau tanganku luka?"
"Jangan bertanya balik!" bentaknya.
Aku menjawab dengan kesal, "Karena aku tidak ingin menyusahkan!"
Rex menatapku datar sebelum melepaskan lenganku dan pergi meninggalkan ruang tonton, sedangkan aku masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
Beberapa saat kemudian Rex kembali membawa box putih transparant. Aku bisa melihat ada perban, betadine, alkohol, kapas, dan segala perlengkapan pengobatan di kotak pertolongan pertama. Lengkap. Juga beberapa papan tablet di sana.
"Sudah mengering," gumamnya sambil mengeluarkan kapas. Keningnya mengerut, matanya fokus memperhatikan setiap goresan yang ada. "Ini luka kapan?"
"Kemarin."
Rex hanya diam, bahkan dari saat dia membersihkan luka sampai selesai mengobatinya. Setelah itu dia mengembalikan kotak first aid itu dan kembali duduk di sofa-nya tadi dan kembali memperhatikan monitor laptop.
Hanya diam.
Ini bisa membuatku mati penasaran lama-lama.
Tunggu, aku akan hidup lagi.
Eh, bukan. Aku bisa gila lama-lama!
"Rex, kamu tidak kerja?" tanyaku memecah keheningan.
Rex melirikku sejenak, lalu menunjuk laptopnya dengan dagunya. "Nih, lagi kerja."
"Enggak, maksudku—kamu tidak keluar?"
Rex langsung menutup laptopnya keras, matanya menyipit menatapku curiga membuatku bertanya-tanya dan nyaliku menciut drastis. "Kau berniat kabur?"
"Tidak, sama sekali tidak," balasku cepat-cepat.
Sedetik kemudian, aku bertanya-tanya. Memangnya aku dikurung di sini?
Lagipula aku masih sayang nyawa—ralat, sayang diri. Aku sudah bebas dari dua manusia gila itu dan aku tidak ada apapun selain diriku. Gila saja aku mau keluar.
Tapi memang, jika aku sudah punya pilihan lain yang menurutku aman, aku akan dengan senang hati keluar dari mansion ini.
"Kau tidak membuat sarapan?"
Mataku membulat dan ujung bibirku terangkat tanpa kusadari. "Aku boleh menggunakan dapur, maksudmu?"
"Tentu saja. Aku sudah memenuhi kulkas dan aku tidak bisa memasak. Sudahlah, pakai saja kalau kau mau," balasnya dengan sedikit kesal.
Matanya masih fokus melihat laptopnya, seolah aku tidak lebih penting daripada isi di layar. Eh, memang, kan?
Tapi biarlah. Aku ke dapur dengan perasaan berbunga-bunga.
.
.
"Enak?" tanyaku penasaran, saat Rex mengangguk dan menunjukan Ibu jarinya kepadaku, aku tersenyum senang, "Benarkah?"
"Akhirnya kau berguna juga disaat seperti ini," ucapnya tanpa merasa bersalah, "tidak perlu cemberut begitu, aku sedang memujimu, kok."
Memuji dari mana-nya coba?
"Sudahlah, makan saja. Tubuh barumu ini masih sehat dan belum kena maag, kan? Aku tidak mau kerepotan."
Selain membeli sayur-sayuran di departement store kemarin, dia juga membelikanku peralatan seperti sikat gigi, dan hal-hal yang hanya boleh dipakai seorang individu lainnya.
Setelah kami selesai beres-beres sayuran di kulkas, Rex tiba-tiba saja memberikan sepapan tablet obat pereda sakit maag kepadaku.
Katanya, itu untuk jaga-jaga.
(Di sini, aku tahu kalau Rex punya sifat yang preventif, suka mencegah).
Dan kemarin, saat aku baru saja hendak bertanya darimana ia tahu soal riwayat sakit maag di tubuh lamaku yang dulu, dia langsung naik ke atas dan menutup pintu kamarnya.
Aneh.
Darimana dia tahu, ya?
"Bagaimana perkembangan hal yang kamu teliti? Ada kemajuan?"
Rex menggeleng tanda tak mampu memberi jawaban. Dia masih mengunyah makanannya sambil sesekali menatap kosong ke meja yang tak berisi apapun.
"Aku ingin bertanya ...," Aku menarik piringku mendekat dan menggerakan sendok, "apa orangtua kita punya kemampuan seperti kita?"
"Bukankah sudah kubilang kalau di dunia ini hanya kita berdua yang memilikinya?" tanyanya dengan nada sinis, "Dan sepertinya aku perlu memberitahumu, meskipun hanya kita yang memiliki kemampuan ini, kau dan aku bukan saudara."
Aku tak mengerti hal apa yang membuatnya tersinggung, sebab aku menginginkan sosok adik sejak dulu.
Aku memang sempat berpikir bahwa kami memiliki orangtua yang sama—karena kemampuan kami yang kebetulan sama pula. Tapi ucapannya membuat semua harapanku pupus.
Aku tidak pernah bertemu dengan Ibu kandungku sejak lahir. Sejak kecil aku dibesarkan di sebuah panti asuhan bersama dengan beragam usia anak-anak yang juga dititipkan di sana—atau tepatnya dilantarkan di sana.
Aku tidak ingat persis sejak kapan aku tinggal di panti asuhan, ingatan terjauhku saat kecil pun sudah di panti asuhan itu.
Tidak ada kenangan lain selain saat aku berumur sepuluh tahun dan di adopsi oleh sebuah keluarga menengah atas yang tidak mampu mempunyai keturunan.
Sejak itu hidupku berubah, barang-barang yang biasanya tak mudah kudapat pun didapatkan dengan mudah.
Kedua orangtua angkatku memanjakanku dengan sepenuh hati, menjagaku layaknya anak kandung mereka sampai—kejadian buruk itu terjadi.
Ah, aku malas mengingatnya.
"Nanti bantu aku mengubur mayat itu," ucap Rex sambil membawa piring kotornya ke wastafel, meninggalkanku seperti membiarkanku merenung dan berpikir tentang kenyataan yang terjadi sebenarnya.
*
Aku merasa ucapan Rex soal 'membantu'nya tidak benar-benar terjadi. Aku tidak merasa membantunya sedikitpun.
Rex yang menggali lubang itu sendirian, dia jugalah yang membawa mayat itu turun dari lantai dua di punggungnya.
Ini hal yang lucu. Maksudku, dia bisa membawa 'dirinya sendiri' yang punya berat badan yang sama. Atau mungkin, setelah kematian, tubuh seseorang akan bertambah ringan? Oke, itu tidak masuk akal.
Atau mungkin karena Rex sudah terbiasa mengangkat bawaan berat, sehingga dia terlihat familiar dengan kondisi ini?
"Kau sudah lakukan apa yang kuminta?" tanya Rex sambil meletakan mayat itu di atas tanah.
Aku mengangguk, lalu memperhatikan Rex lain yang tengah memejamkan mata.
Ada bagian daging yang terkoyak di bagian perut. Aroma tidak sedap, muncul dari sana. Wajahnya benar-benar tirus, pucat dan hampir mengkerut.
Sedikit mual, aku mengalihkan pandanganku pada Rex hidup.
"Memangnya ini buat apa?" tanyaku sambil menyerahkan sebatang ranting yang ukurannya tidak terlalu kurus dan tidak terlalu besar.
Kebetulan, begitu Rex memintaku mencari ranting dengan bentuk yang aneh, aku langsung menemukannya di depan mataku.
"Ini kau dapatkan di mana?" tanya Rex sambil melipat tangan di depan dada.
"Di sana, tertancap di atas tanah," balasku sambil menunjuk tanah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lubang galian.
Rex berdecak, "Cari yang lain."
"Kenapa?"
Rex melangkah ke tanah tempat aku mencabut ranting sedang itu tanpa berbasa-basi. "Ini kuburan mayat sebelumnya."
Aku memiringkan kepala, bingung. "Buat apa kau menandainya?"
"Agar saat aku menggali, aku tidak menemukan tengkorakku sendiri," balasnya sambil menancapkan ranting ke tanah.
Rasanya pembicaraan kami benar-benar lucu.
"Kenapa kau masih berdiri di sana? Kau sudah menemukan rantingnya?" Ucapannya yang arogan membuatku tanpa sadar memutar bola mata kesal.
"Sebentar. Kamu tidak sabaran sekali," gumamku sambil memperhatikan halaman belakang mansion ini.
Halaman belakangnya luas. Ada pagar besi tinggi yang mengelilingi mansion ini, jaraknya mungkin bisa berkisar puluhan meter. Rumputnya pendek, sedikit dan tanah lebih mendominasi, pemandangan inilah yang kulihat dari balkon kamar tempat aku menetap sekarang.
Akhirnya, aku menemukan pohon kering yang tak jauh dari sana, kupungut acak salah satu ranting yang jatuh, lalu kembali ke Rex yang sedang menyeret mayat itu untuk masuk ke liang lahat.
"Ini."
Aku menaruh ranting itu di tanah, lalu mulai memperhatikan bagaimana Rex mengurus mayatnya sendiri. Dia cukup telaten (mungkin karena terbiasa) aku juga, terbiasa mengurus mayatku sendiri sejak kecelakaan itu, jadi aku tidak merasa perlu bersusah payah memujinya, karena aku juga bisa.
Lalu, aku menyadari sebuah goresan luka yang cukup dalam pada punggung tangan di mayat itu.
Goresan itu sangat dalam dan sangat jelas. Bekas jahitan. Aku berani bertaruh, saat dia mendapat luka itu, dia berdarah cukup banyak.
"Itu luka apa?" tanyaku ke Rex saat dia mulai menimbun lubang dengan tanah.
"Apanya?"
"Di tangan kirimu," balasku, kembali menunjuk mayat itu, lalu beralih ke punggung tangan kiri Rex hidup yang bebas dari goresan luka itu.
Rex menjeda agak lama, "Luka kecil saat aku bekerja."
Aku menaikkan sebelah alis. Bukannya dia bekerja di depan monitornya?
Tidak sengaja, kulit di wajahku merasakan rintik gerimis dari atas sana. Yang benar saja, keadaan di tempat ini memang sunyi sejak awal. Redupnya langit bukan karena banyaknya pohon yang menutup keberadaan matahari, tetapi karena mendung.
Dan langit seperti memberi tanda akan menangis lebat.
"Kau, masuk!" pinta Rex sambil menunjuk pintu.
"Lalu, kamu?"
"Ini tinggal sedikit," jawabnya sambil terus melanjutkan timbunannya, "masuk."
Akupun akhirnya mengalah dan memilih masuk ke dalam mansion itu.
Lewat jendela, aku memperhatikan Rex yang meratakan tanah. Diambilnya ranting yang kuletakan tadi dan ditancapkannya dalam-dalam di atas tanah yang telah rata itu.
Kupikir dia akan segera masuk ke dalam, begitu selesai.
Meskipun gerimis berganti menjadi hujan deras, dia masih berdiri di depan ranting yang tertancap, merenungi hal yang tidak kuketahui.
***TBC***
12 Januari 2018, Jumat.
A.N
Ya lord, ini chapter yang sangat membosankan! Aku edit bagian ini dan menghela napas berulang kali saking bosannya.
Nikmati saja bagian Rex-Regina sampai kalian muak.
Kalau nanti kayak kasus Ath-Skye, kalian protes minta Ath-nya dimunculin.
Lalu aku sebagai yang nulis, bingung setengah mati gimana munculinnya.
Aku gabisa munculin dia tiba-tiba. Emangnya Ath itu setan?
Sifat Rex ini nyebelin yak, aku keingat Ketua songgong kita di LMP -_-
Oh ya. KENAPA REGINA SAMA REX KAYAK PENGANTIN BARU AJA SIH DI CHP INI? NYEBELIN DEH.
//ksl ksl ksl//
Semoga next chapter di script, latarnya bukan di mansion yang membosankan ini lagi. Aku nulisnya udah agak lama, jadi aku agak lupa.
Kapan yak aku nyenggol konflik? :(
Kalian udah bosen belum? Kalau belum makasih yaaa.
And, thanks for 161k views and 17.5k votes. Ini dokumentasi aja, but you all are amazing!
Rex udah keliatan belum itu-nya? //ambigu euy//
See you!
-Cindyana
🔪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top