Part 13

Pagi menyingsing bertanda kesibukan di hari pertama segera dimulai. Aku bangkit dari posisi tidur saat seseorang mengguncangkan tubuhku. Raven, ialah orang pertama yang aku lihat-seperti biasa ia bangun lebih awal dariku. Mungkin ini terakhir kalinya ia membangunkanku di pagi hari.

"Selamat pagi, Putri Tidur," sapanya tersenyum simpul. "Waktumu tiga puluh menit untuk bersiap-siap dan pergi ke ruang makan untuk sarapan bersama."

Setelahnya Raven mendorong troli penuh tea set ke tepi ranjangku. Selagi itu dia mendumel, "Dasar. Kau harus biasa bangun sendiri mulai sekarang."

Aku mengambil cangkir yang telah diisi Raven. Seketika indra penciumanku dimanja oleh aroma lembut dari seduhan teh [jenis teh favorit] di dalamnya.

"Nanti juga ada maid yang membangunkanku, kok," sahutku menggampangkan, sambil menghirup aroma dari dalam cangkir.

Sang servant menghela napas pasrah. "Ya. Dan aku sudah mengajari maid yang akan mengurusmu nanti. Mereka sudah tahu apa-apa saja yang kau butuhkan," katanya.

"Hm-m ... memang hebat Tuan Servant. Terima kasih," balasku.

Raven mentoyor belakang kepalaku hingga tersuntruk ke depan. Untung saja hidungku tidak tercelup ke dalam cangkir. Memang kurang ajar pengasuhku ini!

"Pokoknya, tugasku di sini sudah selesai. Aku dan rombongan akan kembali ke Nightford setelah sarapan. Setelah itu agendamu diatur oleh Sir Jefferson," jelasnya.

Beberapa maid masuk membawa peralatan seperti pakaian dan perlengkapannya. Mereka berjumlah tiga orang; satu orang memegang nampan berisi pakaian, satu orang memegang nampan berisi sepatu dan aksesoris, satu orang lagi memegang nampan berisi perlengkapan mandi. Mereka membiarkanku memilih aroma apa yang aku suka untuk dipakai mandi, tetapi aku serahkan semuanya pada Raven. Lagipula dia tahu semua yang kubutuhkan, mengapa aku harus repot?

***

Setelah selesai dengan segala rutinitas pagi, aku diantar menuju ruang makan. Raja Leo telah menunggu sembari menyeruput kopi panas. Lucu melihatnya begini, nyaris saja membuatku mengira dia itu manusia normal.

"Selamat pagi, Yang Mulia," sapaku penuh senyuman, meski Raja Leo hanya membalas dengan anggukan kecil.

"Nah, mari isi gelas sang putri," ucap beliau dan seorang pelayan datang mengisi gelas kosongku seperti yang diperintahkan. Perjamuan pengawal hari kami pun dimulai.

***

Tibalah pada saat perpisahan dengan orang-orang yang mengantarku. Raven berdiri di hadapanku untuk terakhir kalinya, membenarkan ikatan pita di pucuk kepalaku. "Jangan lupa bercermin. Kau berada di luar Nightford, jangan bikin malu dengan penampilanmu yang tidak rapi," katanya.

Bibirku mengerucut, bertanda tidak suka dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan padaku. "Kau mengejekku, ya? Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."

Kemudian satu sentilan melayang ke keningku. Raven ini benar-benar! Tidakkah ia paham bahwa kami harus menjaga wibawa? Sebenarnya yang tidak tahu situasi dan tempat itu aku atau dia, sih?!

"Kau, kan, kebiasaan. Selalu mengandalkanku untuk berbuat ini-itu. Wajar, kan, kalau aku khawatir?" omel Raven. Ia seperti ibuku saja.

"Iya, iya," aku menghela napas panjang dan Raven terkekeh-kekeh.

Sebuah dehuman menginterupsi kami. Rupanya Satomi tengah berjalan menuju posisi kami berdiri. Mimiknya masih saja serius seperti biasa, dan lagi-lagi wajah itu menyiratkan ketidaksukaannya padaku. Raven membungkukan kepalanya padaku untuk pamit, lalu berlari menuju kereta. Kini bersisa aku dan Satomi.

"Tidak ada barang tertinggal, kan?" ucapku menyambutnya.

"Ada," jawab Satomi. "Kau."

Jawabannya membuatku mengerjap. "Aku?"

Wajah serius sang jendral seketika tergantikan dengan senyuman tipis. "Jangan lupa kirim surat. Jangan turunkan kewaspadaanmu. Dan jangan lupa untuk selalu membawa botol darahmu. Warewolf biasanya punya penciuman yang tajam. Mereka akan curiga dengan aromamu yang sangat manusia. Dan botol darah itu--"

"Akan menjadi alibiku. Aku tahu," selaku lalu menunnukan sebuah botol kaca kecil berisi sedikit darah segar. "Aku selalu membawanya. Terima kasih sudah khawatir, Jendral!"

Keempat jari tangan kananku merapat dan bersanding di samping pelipis. Sambil berpose salute aku berucap, "Hanya satu atau dua minggu, aku akan segera kembali ke Nightford," sambil tersenyum.

Satomi menepuk pucuk kepalaku dua kali sebelum berpamitan. "Kami berangkat."

"Semoga selamat sampai di tujuan!" balasku.

Rombonganku kembali ke Nightford segera setelah perjamuan. Agak sepi rasanya, butuh waktu satu minggu lagi untuk melihat wajah mereka.

Segera setelah itu, aku ikut rombongan Raja William menuju istana di pusat, Istana Royal Escalus. Perjalanan kami sungguh sunyi, baik di luar maupun dalam kereta.

Mungkin aku bisa mati bosan jika saja pemandangan hijau di balik kaca kereta kuda yang kunaiki tidak ada. Nuansa langit pada pagi menjelang siang hari ini pun sangat menawan. Mataku tidak dapat terlepas dari pesonanya.

Istana itu memiliki bangunan yang cukup menjulang ke langit dengan berbagai menara. Ada benteng, bahkan medan sihir pelindung. Padahal negara ini saja sudah dimantrai agar tidak dapat dilihat manusia biasa, sama seperti kastil ini. Sedangkan di Nightford, istana kami tidak bermedan sihir. Menurut Alex, medan sihir di luar perbatasan saja sudah cukup untuk menyembunyikan kerajaan kami dari pengelihatan manusia.

Segera setelah turun dari kereta, Sir Jefferson menyambutku. Ia membawa seorang pria muda yang bediri di belakangnya.

Pemuda itu memiliki rambut keemasan dan senyum secerah mentari. Dengan penuh hormat dia membungkuk, menunjukan betapa tegasnya tubuh di balik seragam ala servant tersebut.

"Ini Finn Stewarts. Dia yang akan menggantikan posisi servant-mu di sini," ucap Sir Jefferson.

Ia pun menjelaskan, "Segala jadwalmu sudah ia pegang. Yang Mulia Raja memerintahkanku untuk membuat jadwal yang mendukung pemahamanmu atas kerajaan ini. Semoga kau tidka masalah dengan banyaknya pelajaran di sana.

"Tetapi pertama, sebelum memulainya Stewarts akan mengajak Anda berkeliling terlebih dahulu," sambungnnya lagi.

"Terima kasih, Sir Jefferson," sahutku, tetapi beliau menggeleng.

"Panggil saja Steve. Hanya Steve. Raja William adalah keponakanku dan kau akan menjadi pengantinnya bulan depan. Tolong biasakan, dan tidak perlu formal kepadaku. Tidak enak jika harus berkata formal terus, apalagi dengan keluarga sendiri," katanya.

Jujur saja, aku baru tahu kalau beliau dan Raja William itu memiliki hubungan darah. Tetapi aku menghargai niat baiknya.

"Baiklah, Steve," ucapku.

Steve tersenyum ramah. Setelahnya ka bergegas pamit untuk kembali bekerja. Lalu bersisalah aku dan servant baruku.

***

Finn Stewarts, merupakan sosok servant yang penuh energi. Tidak seperti warewolf lain, ekor miliknya lebih sering terlihat. Terkadang itu mengibas-ngibas dan membuatku teringat dengan seekor anjing.

Stewarts gemar sekali menubar senyum. Nada bicaranya juga selalu riang. Meski begitu, ucapannya tetap hati-hati dan berkelas. Terlebih, ia memiliki gaya yang unik, sangat stylish sehingga membuat mataku tidak dapat berpaling darinya. Tubuh dan posturnya sangat mirip dengan yang dimiliki para model di dunia manusia. Serupawan wajahnya dan sangat proporsional.

Stewarts mengajakku berkeliling seperti yang sudah dijanjikan. Perpustakaan, dapur, kamar tamu, ruang raja, taman, ruang tahta, ruanganku untuk belajar, dan lain semacamnya. Namun, terdapat satu keganjalan yang kutemui ketika sedang jalan-jalan bersama Stewarts. Entah mengapa, semua staf istana seolah menjauhiku.

Misalnya saja, saat tidak sengaja bertabrakan dengan salah satu maid di lorong dekat dapur istana. Wajahnya seketika pucat pasi saat mengetahui bahwa akulah yang ia tabrak hingga terjatuh. Tea set yang ia bawa berhamburan di mana-mana. Sebagian isi tekonya mengenai pakaianku, pakaiannya, juga lantai. Panas memang, apalagi saat airnya mengenai lenganku yang terbuka. Refleks, aku sempat mengaduh.

"Apa yang kau lakukan?! Kau memecahkan tea set-nya dan melukai Putri!" Stewarts menjambak frustrasi rambutnya sambil memekik pada sang maid.

"A-ah, aku tidak apa-apa-" elakku, "kecelakaan seperti ini sering terjadi."

"Tidak, Yang Mulia! Ini bisa berbekas!" dengan paniknya, Stewarts mengeluarkan saputangan dari dalam saku. Tangannya yang bebas menarik lenganku. Dengan piawai ia bungkus bagian yang memerah akibat tersiram air panas dengan kain itu. "Mari kembali ke ruangan Anda untuk membenahi diri!"

"Ma-maaf-" ucap sang maid, tetapi Stewarts langsung memotong perkataannya dengan omelan.

"-Benahi semuanya, dasar tak becus! Cepat!"

Maid itu mengangguk patuh dan memulungi pecahan keramik yang berceceran. Kuperhatikan lagi, tangannya sampai gemetar. Aku bisa mengerti jika Stewarts marah, tetapi ia sungguh kelewatan. Maid ini pasti memiliki alasan mengapa ia sangat terburu-buru.

Stewarts membantuku berdiri. Sesaat kemudian kuhampiri maid tadi, tidak peduli Stewarts memanggiliku. Aku ingin membantunya memulungi keramik yang pecah. Setidaknya ia harus tahu aku tidak apa-apa. Namun, baru saja tanganku menyentuh pecahan keramik di dekat nampan, tangan Stewarts menahan pergerakanku. Tepatnya dengan cengkraman di pergelangan tangan yang amat kuat.

"Jangan lakukan. Anda hanya akan membuatnya semakin bersalah," ucapnya berwajah serius. Saat kualihkan pandangan kepada maid tadi, dia justru menatap horor kepadaku. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?

Terpaksa kulepaskan keramik yang sudah kuapit dengan jari. Stewarts nampak tidak senang dengan apa yang sudah kulakukan. ia menggiringku sambil bergeming.

Saat sampai di ruangan kerjaku, barulah ia berucap, "Yang Mulia, dengan segala hormat, sebaiknya Anda jangan berbicara seperti itu lagi kepada staf, terutama pelayan!"

Aku yang masih berdiri mematung sambil memperhatikan sosoknya menutupi tirai-tirai pun menyernyit. "Mengapa? Aku hanya bermaksud baik," balasku.

"Pokoknya jangan," Stewarts kini menyalakan lampu, "jika Anda memerlukan sesuatu, katakan saja padaku. Jika ada perlakuan staf yang mengganggu, Anda bisa menegur mereka. Tetapi membuka tangan kepada mereka ... sebaiknya jangan."

"Apa itu peraturan di sini?" tanyaku lagi.

"Bisa dibilang. Lagipula jika Anda menunjukan celah sedikit saja, mereka bisa melunjak. Anda tidak mau itu, kan?" jawab Stewarts. Ia membuatku bungkam kali ini.

Sesaat kemudian senyuman menawan Stewarts kembali. "Tunggu sebentar, ya. Akan aku panggilkan maid untuk membantu Anda mengganti pakaian, serta mengobati lengan Anda."

Stewarts pergi tanpa pamit, atau mebiarkanku bertutur kata. Dan aku ditinggalkan sendirian dalam sunyi.

***

Suatu sore, Raja William memanggilku untuk ke ruangannya. Entah ada apa, pokoknya aku harus ke sana.

Stewarts yang bertugas memandu jalanku. Letaknya berada di bangunan seberang ruang belajarku. Tidak hanya gedung yang berhadapan, ternyata jendela ruangan kami juga berhadapan! Entah disengaja atau tidak.

Sesaat setelah kumasuki ruangan tersebut, aku mendengar suara nampan yang jatuh. Raja William berdiri di balik meja kerjanya sambil menatap dingin pada seorang pria berpakaian serba hitam berdiri di sudut mejanya. Raut wajahnya menampakan ketakutan.

Rupanya Raja barusaja melempar nampan yang kuduga pria itu bawakan. Dapat kulihat nampan perak beserta makanan di atasnya berserakan di karpet ruangan.

"Akan saya minta koki buatkan ulang, Yang Mulia," tutur pria itu penuh penyesalan.

Sang Raja pun membalas, "Seleraku sudah hilang," yang malah membuat pelayan pria tadi semakin merasa bersalah. Ia pun bersujud menghadap Raja.

"Tolong, ampuni saya," ucapnya gemetar.

Sayangnya Raja William sama sekali tidak menunjukan belas kasihan padanya.

"Pergilah selagi suasanna hatiku masih baik. Stewarts, panggilkan seseorang untuk membereskan kekacauan ini," katanya sambil memgibaskan tangannya mengusir.

Pria itu lanyas pamit dengan terburu-buru dan tampak ketakutan. Dia juga sepertinya tidak melihatku berdiri di dekat pintu. Pasti dia panik sekali.

"Kau sudah datang?" sapa Raja William, kini menatapku. Nada bicaranya lantas berubah, yang sebelumnya marah kini menjadi tenang.

"Mendekatlah, eh ... siapa namamu lagi?" tanyanya.

"[your name], [your name] Nightford," jawabku singkat seraya berjalan mendekati meja kerjanya. Tepat di hadapan beliau kubungkukan badanku memberi salam. "Ada yang bisa saya bantu?"

"'Aku', gunakan 'aku'. Disini hanya ada kita berdua," kata Raja William.

"Ada yang bisa 'aku' bantu, Yang Mulia?" ulangku.

"Putri [your name]. Maaf atas kekacauan yang barusan," Raja William bersandar santai di sandaran kursinya, "aku ingin menanyakan keadaanmu setelah hampir seharian di istanaku. Apa ada kendala selama berada di sini?"

Kuhela napas singkat sambil menautkan jemari tanganku. Bukannya tidak berkendala sama sekali, lebih tepatnya aku merasa terganggu. Pada saat itu Stewarts datang bersama seorang maid yang membawa peralatan kebersihan. Mereka berdua membersihkan 'kekacauan' seperti yang diminta Raja dengan cepat.

Seketika, aku ragu. Haruskan aku berkata jujur dengan apa yang menggangguku, atau kubiarkan saja hal itu? Lagipula, nanti juga aku terbiasa.

[Branch]

Jika memilih untuk memendam, lanjutkan membaca ke Part 15

Jika memilih untuk jujur, lanjutkan membaca ke Part 16

Alice's Note: Bab ini panjang ya astaga, haha!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top