NOVEMBER 2018 - REVIEW 3
Wah, pencapaian yang menyenangkan! Akhirnya Lulu bisa upload satu review setiap minggunya. Dan tibalah kita di penghujung bulan November 2018 ini. Buat yang sudah gajian, Lulu mengundang kalian untuk ikutan PO dua buku terbaru Lulu.
Misal mau intip-intip baca dulu di WP juga bisa kok. Kalian bisa baca di work WP Lulu dan juga penulisnya. Lagi ada iseng-iseng berhadiah pulsa juga buat yang ikutan baca bareng.
Oke, cukup promonya, kita mulai review terakhir di bulan November ini.
Naskah yang akan Lulu bahas kali ini adalah salah satu karya dari kak wgulla_ yang berjudul My Future Husband, lagi-lagi bergenre romance. Ya iya, Lulu kan emang cari genre itu, siapa tahu jodoh, ye kan?
I. Kesan Pertama
Selain genre-nya yang memang sesuai yang dicari, Lulu juga tertarik dengan deskripsi yang bisa kalian baca sendiri di atas. Lelaki mapan dengan gadis labil yang serba merepotkan. Unik dan mudah-mudahan memang ada sesuatu yang lain yang membuat kisah ini menarik.
II. Penyajian tulisan
Tidak ada tulisan yang sempurna, siapa pun masih perlu belajar dari hari ke hari menjadi lebih baik. Secara sepintas, penyajian tulisan tidak ada masalah. Akan tetapi, jika ingin lebih didalami, masih banyak ruang untuk berkembang.
Lulu selalu berpatok pada pelafalan jika membaca suatu naskah. Salah satu naskah terbaik yang pernah Lulu baca dengan suara dan menghasilkan harmonisasi yang cantik dengan suara sumbang Lulu adalah Aroma Karsa karya Dee Lestari. Bahkan hanya dengan dibacakan saja, naskah itu terdengar indah. Itu bisa dilakukan dengan mengatur tempo tulisan.
Secara teknis, tidak ada yang salah dengan tanda baca dan teman-teman segengnya. Hanya saja, pengulangan nama tokoh terjadi berkali-kali. Itu bikin cepat bosan, soalnya kayak baca buku cerita anak kecil. Bahkan buku anak kecil pun bisa jadi memiliki ritme tulisan yang lebih baik. Ada banyak kata ganti yang bisa digunakan, bisa juga dimainkan dari susunan kalimatnya, tidak melulu kalimat aktif, misalnya.
Juga, karena bagian ini adalah pengenalan tokoh, kita bisa mengeksplor jauh lebih luas dari sekedar menyebutkan nama berulang-ulang. Bisa pake ciri fisik, misalnya. Dalam penggalan di atas sudah ada menyebutkan sifat Febri sebagai kata ganti yang merujuk pada sosok protagonis perempuan. Kenapa itu juga tidak dilakukan pada bagian di atasnya? Pasti akan jadi lebih menarik dan padat.
Selain penyebutan nama yang berulang, ada keterangan yang sebenarnya tidak perlu. Seperti: melangkahkan kaki. Kita melangkah sudah pasti pakai kaki, kan? Kecuali ular, dia pakai perut dan itu pun disebut melata. Jadi, biasanya kalau melangkah, ya pakai kaki. Sebaiknya kata 'kakinya' juga tidak perlu disebutkan lagi.
Contoh lain adalah naik ke atas. Naik selalu ke atas, nggak ada naik ke bawah. Jadi, keterangan 'ke atas' tidak perlu dituliskan. Itu tidak akan mengubah makna sama sekali. Hanya berupa pemborosan.
Kata yang digaris bawah dengan warna merah sepertinya salah. Mungkin maksudnya adalah tatkala, yang berarti ketika (itu), waktu (itu) menurut KBBI V. Biasakan selalu cek KBBI ketika menuli atau ketika tidak yakin. Itu pun masih Lulu lakukan setiap kali berhadapan dengan naskah. Tidak peduli mudah apa pun katanya, sesering apa pun kata itu muncul, jika Lulu ragu, Lulu akan buka KBBI untuk memastikannya. Kenapa begitu? Karena Lulu hanyalah manusia biasa yang nggak akan pernah bisa hafal isi setiap kata di KBBI.
Penggunaan tanda baca juga harus diperhatikan. Mohon maaf jika Lulu terlalu cerewet soal hal ini, tapi jika Lulu me-review sebuah naskah yang masuk, ini sudah jadi kebiasaan untuk terlebih dahulu menilai kerapihan penulisan seperti ini daripada content. Walaupun sebenarnya hal itu bisa dipoles dan dibantu disempurnakan berlapis-lapis dan berkali-kali sampai naskah siap terbit. Tetap saja, karena mungkin sudah jadi kebiasaan, jadi kalau ada yang aneh sedikit langsung peka.
Setelah tanda koma, diikuti dengan spasi terlebih dahulu sebelum masuk ke kata berikutnya, dan kata yang mengikutinya menggunakan huruf kecil.
Sama halnya dengan tanda koma, tanda titik juga menempel pada kata yang diikutinya, dan dipisahkan spasi dengan kata berikutnya. Bedanya, setelah tanda titik, kata berikutnya diawali huruf besar.
Selain hal-hal tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah penggunaan artikel pun. Ada banyak sumber yang bisa dijadikan panutan untuk tatacara penulisan ini. Salah satu yang Lulu rekomendasikan adalah salah satu cuitan Ivan Lanin di Twitter. Beliau memberikan penjelasan yang sangat memadai soal ini. Bisa dicek sendiri.
III. Penokohan
Ah, ada sesuatu yang salah di bagian ini. Lulu sedikit susah menjabarkannya. Si Arkan ini kan dilabeli seseorang yang dewasa, kaku, dan tidak peka. Tapi entah kenapa karakternya dia tidak tergambar atau terjabarkan dengan baik di cerita ini.
Lulu menduga ini disebabkan oleh pengenalan tokoh yang kurang maksimal di awal cerita, jadi Lulu hanya berangkat menduga-duga aja, dan mengembangkan ekspektasi sendiri.
Coba mungkin bisa dibuat lebih solid karakternya sehingga bisa lebih terasa nyata ketimbang 'tanggung'. Atau mungkin ini karena penjabaran sosok Febri yang dilihat dari kacamata Arkan? Entahlah.
Oke, karakter Febri ini mungkin dilabelkan menjadi anak yang labil, semaunya dan kekanak-kanakan. Tetap ada yang kurang pas. Apa mungkin kurang nyata karena dari pengalaman pribadi Lulu sebagai pembaca, tidak dekat dengan karakter anak kuliahan jenis ini. Entah deh. Sementara Arkan, malah lebih banyak bikin bingungnya.
Cara mudah mengembangkan karakter adalah bangun dulu karakter masing-masingnya. Buat dulu seutuh-utuhnya. Dalami reaksi mereka dalam menghadapi sesuatu, baru hadapkan satu sama lain. Tidak mesti karakter yang bertolak belakang, yang penting dijalin satu titik ketika kedua tokoh itu bersinggungan dan mengakibatkan reaksi sesuai dengan karakter mereka masing-masing. Memang kalau karakter bertolak belakang lebih mudah untuk 'menyiksa' mereka dan membuat semuanya semakin sulit. Tapi, bukan keharusan.
IV. Penutup
Nah, sekiranya itu beberapa poin yang ingin Lulu sampaikan untuk review kali ini. Masih banyak ruang untuk bertumbuh. Bisa menyelesaikan tulisan saja itu sudah jadi modal yang baik. Berani memublikasikan sudah jadi satu langkah tersendiri, karena nggak semua orang mampu melakukannya. Memberikan naskah untuk direview dan dinilai orang lain juga tidak mudah. Intinya, ambil poin-poin pentingnya, jangan berkecil hati. Mengutip salah satu ucapan Harry Potter di serial The Order of Phoenix, semua penyihir hebat itu berawal dari situasi yang sama, seorang murid. Jadi, kita memang harus selalu belajar supaya menjadi lebih baik.
Semoga bisa jadi masukan yang membangun. Lulu menulis review ini sama sekali bukan bermaksud menghakimi penulis. Lulu hanya memberikan pendapat dari sudut pandang pembaca maupun sebagai bagian dari penerbit Lumiere Publishing.
Selalu semangat dan tetap menulis.
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top