⁕ Nila dan Anak Lelaki Tak Kasat Mata ⁕


Saat pertama kali Nila mencoba menelepon rumah melalui wartel berdinding kuning di seberang sekolah, itulah saat pertama kali Nila mengira ada penghuni tambahan di sana.

"Halo, Mama?"

"Halo?" Anak lelaki yang menjawab memiliki suara ringan. Tidak ada seorang lelaki di rumahnya—setidaknya sebelum jam lima sore—karena Ayah sedang bekerja. Jadi siapa ini?

Nila masih berusia tujuh tahun saat itu. Mungkin sekitar kelas dua, sebelum muncul peraturan usia minimal agar diterima di sekolah dasar. Di usia gencar-gencarnya dicemooh guru karena tak bisa menghapal perkalian selain lima kali lima, ia tidak paham konsep salah sambung. Ia lebih percaya kalau yang menjawab teleponnya adalah anak lelaki kasat mata yang suka muncul menjelang magrib di halaman rumah.

"Kamu bisa bertelepon juga?"

Ada jeda lama, lantas anak itu menjawab dengan heran. "Bisa dong. Apa maksud kamu?"

"Kalau begitu bilang Mama kalau aku belum dijemput sama Pak Ruti."

Sebelum satu menit habis, Nila buru-buru menutup telepon. Ia lantas keluar dari bilik berkaca gelap, menyaksikan salah seorang kakak kelas menghampiri kasir untuk menukar uang. Nila menghampiri konter yang sama dan mengacungkan koin melati—caranya menyebut koin lima ratus. Nona penjaga wartel menukarnya dengan tiga keping uang seratus yang lengket bekas selotip.

Dengan koin tiga ratus itu, ia bisa menukarnya dengan tiga pentol atau dua pukis mini. Meski tidak cukup untuk mengganjal perut, setidaknya itu bisa mengalihkan perhatian Nila saat bosan menunggu Pak Ruti.

Untungnya (dan sedikit kasihannya), pedagang pentol berbaik hati memberinya tambahan tiga butir. Mungkin karena hanya tersisa Nila di depan gerbang sekolah, dan pedagang itu juga bersiap-siap pulang.

Selang dua puluhan menit kemudian, ketika Nila sudah ditawari oleh tiga guru berbeda untuk diantar pulang, akhirnya sopir pribadi ayahnya muncul juga. Pak Ruti bilang kalau ban mobil bocor di tengah jalan dan meminta maaf untuk itu. Nila tidak terlalu mendengarkan, sebab hampir jatuh tertidur di jok belakang. Yang dia bayangkan, anak lelaki kasat mata itu telah melaksanakan tugasnya dengan baik.



"Tadi Kas ke rumah, lo," kata Mama saat menyambut Nila. "Nggak tahu ngapain. Waktu Mama lihat Kas intip-intip pagar, dia malah lari. Kayaknya dia nyari kamu."

Nila mengernyit. Apa yang Kas inginkan? Di sekolah mereka sudah bertemu—walau tak pernah sekelas. Berangkat sekolah pun bersama-sama meski pulangnya tidak. Kas juga punya teman sepermainannya sendiri. Nila tidak diajak, karena orang tua Nila banyak aturan tentang bermain.

Namun Nila tidak ambil pusing. Ia lebih tertarik untuk mencari keberadaan anak lelaki tak kasat mata. Ia penasaran bagaimana hantu bisa menjawab telepon. Sayangnya, tak peduli berhari-hari ia mencoba bermain ayunan menjelang magrib sendirian di halaman rumah, tak ada hantu yang menghampirinya.


***


Sekitar dua minggu setelah kejadian itu, hal yang sama terulang lagi. Nila menghampiri wartel kuning di seberang sekolah dan menelepon rumah. Lagi-lagi yang menjawab anak lelaki itu.

"Kenapa kamu nggak pernah muncul?" tanya Nila, setelah menyuruhnya memberitahu Mama soal keterlambatan Pak Ruti.

Anak lelaki itu bingung. "Kamu bilang apa! Kita selalu ketemu kok."

Dahi Nila mengerut. Ia sudah pernah bertanya soal hantu kepada kakaknya, katanya hantu bisa melihat manusia tetapi sebaliknya belum tentu. Ah, mungkin itu yang sedang terjadi antara Nila dan anak lelaki kasat mata tersebut. "Ya sudah," katanya. "Karena aku nggak bisa melihat kamu, ayo temani aku mengobrol sampai Pak Ruti datang."

Anak lelaki tersebut terdengar makin keheranan, tetapi memilih untuk mengikuti alur saja. "Kamu belum dijemput?"

"Belum."

"Kok kasihan?"

"Iya, aku lapar sekali."

"Kenapa nggak beli pentol? Kan kamu suka beli itu."

Nila takjub karena anak lelaki itu tahu kebiasaannya di sekolah. "Uangnya aku pakai buat telepon rumah, nih," jawabnya, dan di saat yang sama muncul mobil familiar yang berhenti di depan sekolah. Nila buru-buru pamit dan menutup telepon.

Kali ini, Pak Ruti bilang kalau tadi mobilnya terhambat pohon tumbang di sekitar pertigaan besar.


***


Sejak saat itu, Nila bakal langsung lari ke wartel tiap Pak Ruti telat sedikit. Ia senang karena anak lelaki tak kasat mata tersebut yang selalu menjawab telepon, bukan Mama atau asisten yang lain. Mereka membicarakan banyak hal, bahkan sampai hapalan perkalian bersama. Setidaknya, gara-gara anak lelaki tak kasat mata itu, Nila bisa hapal perkalian tiga dan perkalian empat. Perkalian enam dijanjikan menyusul.

Namun, sayangnya, semenjak Ayah akhirnya tahu Nila sering pulang terlambat karena berbagai alasan Pak Ruti, Nila akhirnya diserahkan kepada pak sopir baru. Pak sopir kali ini selalu datang tepat waktu, dan jadilah Nila tak pernah mengunjungi wartel lagi.

Ia sedih, sebab ia sangat kangen dengan anak lelaki tak kasat mata itu.


⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕


Tema : warung

Notes :

Kepada ibu guru matematika kelas 2C yang mengajari teman-temanku untuk merundungku karena tak bisa menghapal perkalian selain 5x5, semoga Ibu sehat selalu. Sejak saat itu aku gampang ketakutan kalau tidak bisa apa-apa di kelas.♡ 

Omong-omong konsep hantu menjawab telepon itu terinspirasi dari sebuah telepon yang kuangkat di siang bolong, kira-kira waktu usia delapan tahun, dan yang menjawab tiba-tiba tertawa bak kuntilanak. Semoga mbaknya tenang. >:(

Dan wartel kuning itu sungguhan ada di depan sekolah dasarku. Sekarang sudah tutup, sih.

Dan aku memilih pentol daripada aci karena bapak-bapak penjual acinya dulu nggak mau jualin aku aci 200 rupiah. Jadilah aku mau mengenang bapak cilok saja di sini. >:(


Di bawah ini ada lanjutannya, versi sudah dewasa. Boleh dibaca, boleh tidak. Cerita intinya sih berakhir sampai di atas saja.


⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕


Saking kangennya Nila sampai-sampai sering memimpikan wartel dan anak lelaki tak kasat mata tersebut. Hingga di usianya yang menginjak 27 tahun sekarang—dua puluh tahun setelah itu—ia kembali mendapatkan mimpi yang sama.

Kebetulan mimpi itu mampir gara-gara Nila mendapat undangan pernikahan. Yang menikah adalah abangnya Kastara. Sebenarnya yang diundang adalah orang tua Nila, sebab yang mengundang adalah orang tua Kastara. Sementara Nila dan Kastara sendiri tak pernah bertukar sapa semenjak lulus sekolah dasar dan pindah rumah, mengikuti ayah masing-masing yang pensiun dari pabrik yang sama. Terpisah, begitu saja, walau kadang-kadang mendengar kabar satu sama lain dari para ibu.

Kebetulan juga, ibu Nila tidak bisa hadir karena ada undangan lain. Jadilah yang hadir adalah Ayah dan Nila sendiri.

Singkat kata, kita semua tahu apa yang terjadi setelah itu. Karena pernikahannya tidak besar-besar amat dan hangat, maka pihak keluarga pengantin bercengkerama dengan para tamu. Awalnya Nila celingukan. Ia tidak melihat orang-orang dikenal selain para orang tua yang semakin sepuh dan pertanyaan kapan Nila menyusul. Desakan itu, entah bagaimana, akhirnya mempertemukan Nila dengan Kastara sendiri. Rupanya mereka sama-sama disudutkan dengan pertanyaan kapan menikah. Itu pula yang menjadi alasan mereka akhirnya bertukar sapa walau pangling dengan wajah masing-masing.

Tapi, satu yang pasti, Kastara menjadi kian tampan dan gagah. Senyum manisnya yang licik masih sama seperti senyum liciknya di usia delapan tahun. Kilat matanya memang tidak seusil dulu, tetapi masih ada. Nila bisa melihatnya, terutama saat pembicaraan kian bergulir.

"Kamu jadi guru matematika sekarang?" Nila kaget.

"Ya, kenapa?" Kastara menyunggingkan senyum tipis. "Kamu masih takut sama matematika?"

Nila terkekeh pelan. "Aduh, sepertinya ketakutanku terhadap matematika sangat terkenal waktu itu, ya? Aku yakin Bu Sisi juga cerita ke kelas-kelas lain, termasuk kelasmu."

"Nggak, Nila." Kastara menyeringai. "Bu Sisi nggak cerita apa-apa."

"Lantas? Teman-teman sekelasku?"

Kastara menggeleng. "Kamu sendiri yang cerita. Sampai akhirnya aku bantu kamu untuk hapalan perkalian. Masa kamu nggak ingat?" godanya. "Hampir tiap siang. Aku ingat betul karena kamu selalu telepon di jam tidur siangku. Awalnya bingung sih, jengkel juga, tapi lama-lama aku kasihan. Kamu selalu dijemput terlambat."

Nila melongo mendengar penuturan Kastara.

Tunggu, apa maksudnya? Bukankah waktu itu Nila selalu menelepon ke rumah? Dan yang menjawab adalah anak lelaki tak kasat mata? Kenapa Kastara ....

Saat Nila menahan napas, Kastara memberi anggukan dramatis. "Iya, Nila ...," ujarnya lambat-lambat, kental dengan gelagat usil di sana. "Kamu selalu salah sambung. Kamu telepon ke rumahku, bukan ke rumahmu."

Nila cuma terbengong-bengong. "Nggak mungkin!" sanggahnya di awal, tetapi tawa Kastara membuatnya sangat ragu. Selama bermenit-menit setelahnya, mereka terlibat perdebatan seru tentang kebenaran. Nila selalu mengira itu adalah ulah hantu di rumahnya. Tawa Kastara kian puas. Lelaki itu bilang, Nila salah mengingat rangkaian nomor paling belakang. Nila tidak bisa berkilah. Apalagi, sekarang mereka sudah tidak tinggal di perumahan dinas itu. Nomor telepon tersebut telah lama terlupakan.

"Tapi," kata Kastara setelah akhirnya memenangkan debat. "Sejujurnya aku harus berterima kasih sama kamu, La."

"Kenapa?" jawab gadis itu, masih dengan wajah memerah karena malu akan tingkah masa kecilnya.

"Gara-gara kamu, aku jadi sadar kalau aku punya bakat mengajari orang, dan aku suka matematika." Saat Nila menatap Kastara heran, lelaki itu mengangguk percaya diri. "Mhm, guess what? Aku bercita-cita jadi guru matematika justru karena telepon salah sambungmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top