Chapter 4
"Astagfirullah, air liur lo, Japra!" pekik Aksa jijik melihat air liur Japra mengalir di lengannya. Sangat kesal tentunya, mau tak mau Aksa mengusapkan lengannya di baju Japra.
"Njir, mandi kembang nih, gue," Aksa bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi untuk melakukan pembersihan diri terhadap virus busuk yang melekat di lengannya tadi, sedangkan Japra mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan nyawanya untuk bangun.
Namun, tetap kepada kepribadian buruknya, yaitu malas bangun. Pada akhirnya, Japra melanjutkan tidurnya.
Aksa keluar kamar mandi dan melihat Japra yang masih molor juga, dengan sengaja cowok itu menyiram air ke muka Japra hingga terbangun terkejut, "Bangun! Bangun, gimana rejeki lo mau lancar? Bangun aja malas."
Japra mengusap kasar wajahnya dengan kesal lalu menatap Aksa yang menunjukan rasa tak bersalah sama sekali, "Jahat lo, masa sahabat sendiri dibanguninnya kek gitu sih?" tanya Japra dengan nada manja.
"Lama-lama muka lo pengen gue tampar versi tsunade," balas Aksa.
"Enak, dong," kekeh Japra.
Aksa mengenakan pakaiannya lalu menuju dapur melihat makanan yang ternyata tidak ada. Biasanya, mereka mengandalkan Rejav untuk membeli makanan namun kali ini cowok itu sengaja tidak membeli makanan atau memasak.
"Hadeh, makan apa dah? Gue mager gini," keluh Aksa.
Pintu luar terbuka seolah rejeki tak akan ke mana karena Rejav pulang membawa makanan untuk mereka bertiga.
"Alhamdulilah, baru juga gue tanyain lo udah ada," lega Aksa dan ingin mengambil makanan tersebut tapi ditepis oleh Rejav disertai dengan tatapan tajam.
"Panggil Japra dulu, gue aja yang buka makanannya," suruh Rejav dan Aksa mendengus sebal kemudian meneriaki nama Japra.
"Japra, makan!" panggil Aksa, tak cukup 5 detik untuk Japra sampai di dapur ketika mendengar kata 'makan' karena perutnya bagai ditarik oleh makanan yang layaknya magnet.
Yah, seperti inilah kehidupan mereka sehari-hari, saling membantu satu sama lain dalam keadaan suka dan duka.
****
"Iyah, bu, alhamdulilah Japra baik di sini, ibu jaga kesehatan di kampung jangan khawatirin Japra, Japra bakalan balik kalau udah sukses biar bisa naikin ibu haji."
"Iyah, bu. Assalamualaikum."
Sebagai perantauan, tentunya Japra merasa sedih ketika mengingat orangtuanya yang kukuh menyuruhnya untuk kuliah di luar kampung, bukan untuk kaya tapi menjadi orang yang berguna.
Untungnya ia ditemani oleh dua sahabat setianya, Rejav dan Aksa. Jika tidak, dirinya mungkin tersesat karena tidah tahu apa-apa tentang kota besar yang begitu keras kehidupannya.
"Gimana kabar orangtua lo, Jap?" tanya Rejav.
"Mereka baik-baik aja, Jav," jawab Japra.
Rejav sedikit iri dengan Japra dan Aksa yang memiliki orangtua yang begitu perhatian, sedangkan dirinya? Ia hidup sendiri karena orangtuanya sendiri entah ke mana, hanya Tuhan yang tahu keberadaannya.
"Mona, ini yang bagus tau," dua cewek tak mau kalah dalam menentukan pilihan mereka mengenai dompet yang akan dibeli Cici, Cici menghela napasnya padahal ia yang akan menggunakan dompet tersebut lantas mengapa dua sahabatnya terus berdebat? Ia sendiri sudah lelah menegur mereka yang tidak mau mendengar sampai pegawainya memarahi Arventa dan Mona.
"Mbak, mau beli gak nih?" tanya pegawai yang mulai kesal.
"Cici, pilih salah satunya," ucap mereka bersamaan tanpa mempedulikan sang pegawai yang bertanya.
"Gak mau, pilihan kalian jelek, mending ini," tolak Cici dan mengambil sebuah dompet bergambarkan doraemon, kartun kesukaannya.
"Cici, norak tau gak?!"
"Kalian yang norak! Ini yah, mbak," balas Cici kemudian menuju kasir untuk membayarnya dan meninggalkan mereka berdua yang menggerutu kesal.
Setelah membayar belanjaan yang telah mereka beli, mereka tidak langsung pulang karena melihat sesuatu yang memanaskan mata, kecuali Arventa yang biasa-biasa saja menatap dua orang yang sangat mesra.
"Arventa! Mantan njir!" pekik Mona dan Arventa menatap Mona kesal karena dua orang itu melihat mereka yang berdiri layaknya orang bodoh.
"Ish, mulut lo pengen gue selotip deh, Mon," kesal Arventa.
Rega menatap Arventa dengan tatapan menyebalkan yang menyebalkan, sedangkan Mona dan Cici sudah gemas untuk mencakar wajah cowok playboy itu.
"Udah, udah, pergi aja," ujar Arventa menarik tangan temannya.
Mereka keluar dari mall dengan perasaan kesal, mulai dari Mona yang menghentakkan kakinya ketika berjalan sedangkan Cici meremas belanjaannya sendiri dan membayangkan wajah Rega yang ia remas.
Sejujurnya, Arventa juga kesal namun ia tahu diri bahwa status mereka layaknya mantan atau bekas yang menurutnya tidak ada urusan lagi tapi mengapa hatinya masih saja sakit? Apakah dirinya gagal move on? Tentu tidak! Karena Arventa telah berjanji.
Berjanji untuk menghilangkan perasaannya, tapi janji kadang kita langgar sendiri dan hal inilah yang membuat Arventa jadi khawatir, takut mengingkari janjinya sendiri.
"Ayo, Venta. Kejadian itu udah lama, lupakan!"
Arventa tidak tahan lagi untuk masuk dalam mobil. Mona dan Cici menatap bingung Venta yang terlihat aneh, dengan kompak mereka menahan Arventa sebelum masuk mobil.
"Lo kenapa sih? Aneh banget," tanya Cici.
"Gue kesel sama diri gue sendiri, udah ah, gue mau pulang sebelum gue hancurin ni mall," jawab Arventa.
Cici dan Mona geleng-geleng kepala sambil bergidik ngeri, takut apa yang dikatakan sahabatnya tidak main-main.
🍃🍃🍃🍃
Vote dan komentar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top