Part 1
Air mata tak berhenti mengaliri seluruh wajah Zea. Duduk di tanah yang basah, merangkul nisan yang bertulisan nama Arion Zachery. Dilengkapi tanggal kelahiran dan kematian sang suami. Langit serasa runtuh di hadapannya, bersama air mata yang tak berhenti mengaliri seluruh wajahnya.
Pemakaman tersebut dihadiri oleh beberapa sanak keluarga dari pihak Arion maupun Zea. Beberapa teman baik dan lebih banyak rekan kerja yang datang. Ya, Arion dan dirinya berasal dari keluarga yang tidak utuh. Kedua orang tua yang bercerai dan mereka memutuskan untuk hidup sendiri-sendiri. Keduanya sama-sama bekerja di EL Daviq Group dan jatuh cinta. Sehingga Zea mengalah untuk berhenti bekerja dan menikah dengan Arion karena peraturan perusahaan yang tak mengijinkan untuk berpasangan dengan sesama rekan kerja.
Ingatan Zea dipenuhi oleh ingatan-ingatan ketika pertama kali ia bertemu dengan Arion, jatuh cinta pada pandangan pertama, saat pria itu melamarnya, pernikahan mereka, dan terakhir ketika ia memberitahukan tentang kehamilannya terhadap pria itu. Kemarin. Hanya salam satu hari, dunianya seolah dibalik. Semudah membalikkan telapak tangan.
Semua kisah cintanya dan Arion berjalan dengan begitu mudah dan sangat lancar. Bahkan satu-satunya hal yang mereka tunggu setelah tiga tahun pernikahan telah terkabulkan. Akan tetapi, kebahagiaan itu terenggut seketika. Hanya dalam beberapa saat seluruh dunianya hancur. Arion meninggalkannya sendirian, dengan membawa serta setengah jiwanya.
Jason, satu-satunya teman dekat Arion ikut berjongkok di samping Zea. Pria itu menepuk pundak Zea dengan lembut. Menyalurkan kekuatan untuk wanita itu.
Zea menoleh. Meskipun elusan tersebut tak mengurangi sedikit pun dukanya, ia menghargai usaha pria itu. Kemudian ia menoleh ke arah para tamu undangan di balik kacamata hitamnya.
Di antara para tamu yang berpakaian serba hitam, satu-satunya orang yang terlihat paling menonjol di mata Zea adalah pria yang berdiri tepat di hadapannya. Pemilik El Daviq Group, tempat Arion bekerja. Dan Zea bersumpah, ketika tatapannya bertemu dengan pria itu, seringai tersamar di ujung bibir Zidan EL Daviq.
Sebelumnya kedua mata Zea yang basah oleh kepedihan, kini berubah menjadi sebuah kemarahan dalam sekejap. Dengan kemarahan yang bergemuruh di dalam dadanya. Zea segera memalingkan pandangan meski kedua tangannya terkepal. Membutuhkan usaha yang keras untuk mengabaikan keberadaan pria itu.
Saat semua para tamu sudah pulang satu persatu, yang tertinggal di pemakaman hanyalah Jason dan Zea.
"Kita pulang sekarang," ajak Jason dengan lembut.
Zea masih bergeming. Tak menggerakkan sedikit pun pandangannya dari nisan Arion dengan tangisan yang masih merembes di kedua mata. Dengan ribuan kenapa yang masih menghujani pikirannya tanpa satu jawaban pun.
"Ayo." Kali ini Jason sedikit memaksa meski nada suaranya masih dipenuhi kehangatan.
Dengan bantuan Jason, Zea pun bangkit berdiri. Keduanya melangkah pergi meninggalkan makam Arion dengan langkah yang sangat berat. Ketika sampai di halaman pemakaman, langkah Zea terhenti. Menatap Zidan EL Daviq yang berdiri bersandar di mobil mengkilat pria itu yang terparkir tak jauh dari mobil Jason. Terlihat sedang menunggu.
Kini pria itu datang menghampirinya dan berhenti tepat di hadapan Zea. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan mengulurkannya pada Zea.
Zea menatap sapu tangan tersebut, kemudian pandangannya terangkat dengan kebencian yang terlihat begitu jelas.
Zidan, seperti biasa menanggapi kebencian tersebut dengan penuh ketenangan. Tahu Zea tak akan menerima pemberiannya, jadi Zidan berinisiatif mengambil tangan Zea dan meletakkan sapu tangan berwarna merah darah tersebut di telapak tangannya.
Jason yang melihat keterdiaman Zea dan tak bisa membaca kedalaman air muka wanita itu bertanya-tanya dalam hati tentang siapakah sebenarnya pria itu. Tatapannya mengamati Zidan dari atas ke bawah dengan penuh kecurigaan meski hanya bisa membungkam. Berpikir mungkin salah satu rekan kerja Arion di El Daviq.
"Saya turut berduka cita, Nyonya Zachery."
Zea tahu ucapan itu hanyalah omong kosong yang dibungkus basa-basi. Sama sekali tak ada ketulusan di sana.
"Sampai jumpa, Nyonya Zachery." Zidan menganggukkan kepala singkat berpamit. Menyematkan seringai di ujung bibirnya tepat sedetik sebelum membalikkan tubuh dan masuk ke dalam mobil. Yang langsung melaju pergi begitu pintu ditutup.
"Siapa dia?" tanya Jason.
Zea menggeleng pelan, dengan pandangan yang masih melekat menatap bagian belakang mobil Zidan. Hingga mobil itu menghilang dari pandangannya.
"Kita pergi."
Zea mengikuti langkah Jason menuju mobil pria itu yang terparkir tak jauh dari tempat mereka.
Sesampainya di rumah, Jason menemani Zea selama satu jam. Setelah pria itu pergi, Zea masuk ke dalam kamar. Berbaring meringkuk di tempat tidur, memeluk foto Arion, dan menangis sepanjang malam. Meratapi nasib di tengah kekosongan.
***
Kehilangan orang yang dicintai, rasanya tak sampai di situ saja penderitaan yang dialami oleh Zea. Seperti jatuh tertimpa tangga pula. Pagi itu, Zea membuka pintu dan Zidan El Daviq berdiri di depan pintu rumahnya.
Tak ada siapa pun di sini, jadi Zea pun tak perlu berpura-pura memendam kebencian yang mendalam di matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Zidan?"
Seringai tersungging di bibir Zidan. "Kau selalu terlihat semakin cantik saat sedang marah, Zea."
"Pergi kau!" Zea mendorong pintu tertutup. Dan terlihat begitu tololnya, ketika kaki Zidan begerak cekatan menahan pintu tertutup. Kemudian dengan mudahnya pria itu kembali membuka pintu dan menerobos masuk.
Tubuh Zea terhuyung ke belakang ketika Zidan berjalan melewatinya. "Keluar, Zidan," ucapnya marah.
"Kenapa? Apa yang kau takutkan, Zea? Toh Arion sudak tak ada. Dia tak akan memergoki kita."
Wajah Zea merah padam oleh amarah. "Kita tak pernah memiliki hubungan apa pun yang perlu kutakutkan dipergoki oleh Arion, Zidan."
Zidan hanya tersenyum, dengan salah satu alis yang terangkat, ia berucap mengejek. "Oh ya? Sebelum dia mati, apa kau pernah menceritakan kejadian di ruanganku saat itu?"
Wajah Zea tak bisa lebih merah padam lagi. Zea tak ingin mengingat kejadian nista itu, untuk seumur hidupnya.
"Keluar, Zidan!!" tangan Zea terangkat mengarah ke pintu.
Tapi bukannya keluar, Zidan malah melangkah masuk dan duduk di kepala sofa. Tempat yang biasa diduduki Arion ketika menyambut tamu. Menyilangkan kaki lengkap dengan kearogansiannya. Seolah menikmati kemarahan Zea yang semakin berapi-api.
"Aku bilang keluar, Zidan. Aku sudah mengatakan padamu tak akan pernah melihat wajahmu lagi." Zea berdiri di samping Zidan dengan wajah yang semakin mengeras.
Zidan meletakkan berkas yang sejak tadi berada di tangannya ke meja. "Kau perlu membaca itu."
"Jika itu urusan pekerjaan, kau tahu itu sama sekali tak ada hubungannya denganku."
"Well, sayangnya secara hukum hanya kau lah satu-satunya pewaris sah Arion Zachery."
Zea hanya menatap berkas itu sekilas. Sama sekali tak tertarik untuk mengambilnya.
Zidan mendongak, menatap wajah Zea. "Untuk semua harta kekayaan yang ditinggalkannya. Juga untuk semua hutang-hutangnya."
Seluruh tubuh Zea membeku ketika mencerna kalimat terakhi Zidan.
"Itu adalah bukti penggelapan dana suamimu."
Kedua mata Zea membelalak lebar oleh keterkejutan. Mengulang sekali lagi kalimat Zidan. Penggelapan dana? Tidak, itu tidak mungkin. Arion bukanlah orang seperti itu. Semua ini hanyalah kelicikan yang digunakan oleh Zidan untuk memfitnah Arion.
Zea mengambil map yang diberikan oleh Zidan. Merobeknya kemudian melemparnya ke wajah Zidan. "Kau pikir aku akan memercayai omong kosongmu ini?"
Zidan membeku. Sekilas kemarahan melintasi wajahnya, tapi dengan cepat ia menguasai dirinya. "Dan kau pikir aku bercanda?"
"Aku tahu dengan sangat jelas niatmu membuat drama murahan ini, Zidan. Tapi tidak, kau tak akan mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Aku tak akan semudah itu masuk ke dalam jebakanmu."
"Apakah kau akan memercayaiku setelah aku membawa permasalahan ini pada hukum." Kali ini keseriusan memekati seluruh permukaan wajah Zidan. Yang merubah ekspresi di wajah Zea juga.
Zidan bangkit berdiri, menghadap ke arah Zea dan menatap lurus mata wanita itu.
"Aku mengenal suamiku dengan baik, Zidan. Dia bukanlah seseorang seperti dirimu. Aku memercayainya, melebihi hidupku sendiri."
"Saat kau bilang sangat mengenal suamimu, kira-kira seberapa banyak yang kau mengerti tentang seorang Arion Zachery, Zea? Jangan memangkas fakta hanya karena sebuah kepercayaan yang semu. Semua yang terpampang jelas di hadapanmu lebih nyata dari kepercayaan yang diberikan suamimu. Yang sudah mati."
Wajah Zea yang pucat, semakin pucat pasi. Hatinya mulai goyah dengan keseriusan di wajah Zidan yang semakin tak bisa ia sangkal.
"Apa aku benar?" seringai Zidan semakin naik. "Atau sangat benar?"
"Berengsek kau, Zidan!" Zea mengerahkan seluruh tenaganya yang masih tersisa demi melayangkan tangan ke wajah Zidan. Tetapi dengan mudahnya pria itu menangkap tangan lemah Zea. Tak menyerah, Zea mengangkat tangan satunya, yang lagi-lagi ditangkap oleh Zidan. Zea menggeliat, berusaha membebaskan kedua tangannya hanya demi kepuasan yang semakin memenuhi wajah Zidan.
"Nil!" panggil Zidan pada salah satu pengawalnya yang menunggu di depan.
Seorang pria berseragam serba hitam masuk ke dalam, dengan sebuah berkas yang Zea yakin isinya sama dengan berkas yang baru saja ia robek-robek dan sekarang berhamburan di lantai sekitar mereka.
"Aku tahu hal semacam ini akan terjadi. Seperti biasa, kau selalu mudah ditebak." Zidan mengambil berkas yang disodorkan oleh Nil. Kemudian meletakkannya di meja. "Semua bukti di sana sudah lengkap. Jangan biarkan cinta membutakan otak dan hatimu, Zea."
Zea menyentakkan tangan Zidan yang hendak menyentuh wajahnya.
Zidan tersenyum, sebelum kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Sepergian Zidan, tubuh Zea tersungkur di lantai. Zidan EL Daviq tak pernah main-main dengan hal semacam ini. Bukan ia tak memercayai Arion. Seberapa banyak pun kebenaran tentang Arion yang ia percayai, jika Zidan sudah mengatakan suaminya sebagai tersangka, pun dengan semua bukti yang palsu. Tentu saja ia tak akan terlepas begitu saja.
Zea membungkuk, menangkup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menangis tersedu. Rasanya air matanya tak pernah bisa mengering. Mengalir tiada henti dan terus menerus. Menganak sungai di seluruh air muka, lalu jatuh ke lantai.
Tiba-tiba rasa sakit terasa menusuk di perutnya. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas perutnya dengan kekuatan penuh. Tangisan Zea terhenti, memeluk perutnya yang terasa semakin ditusuk rasa sakit.
Meraih sofa di sampingnya, Zea mencoba bangkit berdiri. Terkejut setengah mati menemukan darah yang mengalir di antara kedua pahanya. Kedua kaki Zea meluruh. Zea menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa daya. Memeluk perutnya seolah melindungi nyawa yang ada di dalam sana. Tidak, ia baru saja kehilangan Arion. Ia tidak bisa mendapatkan kehilangan lebih dari ini.
"Jangan," mohon Zea tersedak tangisannya. "Kumohon jangan pergi. Jangan bawa dia Arion. Jangan tinggalkan aku sendirian."
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa, setengah merangkak Zea meraih dinding. Mencoba melangkah mendekati tangga ke lantai dua. Ponselnya ada di kamar, ia harus menghubungi seseorang untuk membantu membawanya ke rumah sakit.
Zea berhasil meraih anak tangga kelima, ketika ia terpeleset oleh pijakannya dan tak bisa menjaga keseimbangan. Tangannya yang memegang pagar anak tangga terlepas, dan di detik berikutanya tubuh Zea melayang. Kembali meluncur ke lantai dasar.
Dengan rasa sakit yang semakin menusuk tak tertahankan, nyeri di seluruh tubuh. Hingga sakit itu mencapai batas yang bisa Zea terima, selanjutnya semua rasa sakit itu lenyap. Membawanya dalam kegelapan yang begitu pekat.
***
Ini cerita baru author yang udah diposting di apk Fizzo, ya. Udah sampai bab 57 dan diupdate setiap hari. Di sana juga bisa baca gratis plus ga perlu beli koin untu baca ceritanya sampai tamat. Selamat membaca ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top