📍 [8 × ³log9] Berkaitan
❝DI PIKIRANKU SAAT ITU ADALAH ... SI PENGIRIM SURAT MEMBUKTIKAN ANCAMANNYA!❞
~•••~
Selamat Membaca!!!
💭💭💭
"Argh ... aku kesal dengan Fernan!" Sontak Ghina dan Fikay menatapku heran. Namun, aku tak peduli. Saat ini, aku benar-benar kesal dengan lelaki itu.
Ternyata, tujuan dia nyaris menciumku di lorong sepi tadi adalah untuk menakut-nakuti supaya aku berhenti melakukan perundungan. Apalagi semakin diperjelas saat tak sengaja mendengar percakapan Fernan dan Dika tadi. Kurang ajar! Memangnya dia kira semudah itu membuatku jera? Oh, no. Bagaimanapun juga, Alicia dan temannya itu adalah target utamaku untuk eksekusi. Lebih tepatnya, sejak MOS berlangsung.
"Kenapa kamu, kok, kesal sama Fernan, sih, Fel? Tadi kalian berdua habis dari mana memangnya?" tanya Ghina dengan heran.
"Nah, mana kamu waktu balik ke sini, tau-tau wajahmu kusut kayak baju yang habis dijemur tapi belum disetrika."
Aku mendengus kesal. Ucapan mereka bukannya membuat amarahku reda, tetapi justru semakin memantik kekesalanku.
"Bukan hal yang penting untuk dibahas." Aku terdiam sesaat hingga mulai menyadari sesuatu. "Oh, ya. Aku sampai lupa. Kalian itu ... kenapa, sih, diam aja waktu aku ngomelin Alicia? Waktu itu, Ghina tetep duduk. Fikay juga. Padahal udah jalan ikut aku, kok tiba-tiba diam aja. Kenapa?"
Saat kutanya seperti itu, mereka hanya terdiam. Tentu saja aku merasa gemas. Jujur saja, aku masih tak habis pikir dengan mereka. Bukankah melakukan eksekusi itu sudah biasa? Akan tetapi, kenapa mereka hanya diam saja? Bahkan, saat aku meminta Alicia dan Rina memesankan mie ayam dan es teh untuk kami, Fikay dan Ghina tetap diam. Tidak seperti biasanya. Sangat mengherankan. Atau jangan-jangan, mereka seperti itu karena ....
"Kalian diam saja tadi itu, karena sadar ada Fernan yang mau ke kantin, ya? Kalian nggak mau kena semprot sama si Fernan?" Mereka pun spontan menggeleng.
"Nggak, Fel. Bukan karena itu," jawab Fikay.
"Terus? Karena apa?" Ya, memang Fernan bukanlah alasan tepat, sih, yang membuat mereka tidak ikut aku untuk eksekusi. Karena, sudah sejak lama, kan, Fernan selalu mengganggu aktivitas kesukaanku. Jadi, itu bukanlah hal yang tidak biasa dan tidak perlu untuk dirisaukan. Bahkan, meski ada banyak ancaman demi ancaman yang dilontarkan oleh lelaki menyebalkan itu. Akan tetapi, itu semua tak membuatku gentar sama sekali. Memangnya dia pikir aku ini pengecut?
"Eum ...." Bukannya menjawab pertanyaanku, mereka justru menggumam. Baik Fikay atau Ghina. Tentu saja aku merasa gemas dengan mereka.
"Ada apa, sih?"
💭💭💭
Selepas keluar dari salah satu bilik kamar mandi, aku melangkah ke depan dan memutar kran yang ada di hadapanku. Oh, tolong. Air yang mengalir dari kran ini benar-benar menguras emosi. Hanya keluar sedikit saja! Untuk mencuci tangan saja kesusahan, apalagi untuk membasuh muka. Jujur, saat ini aku ingin membasahi wajah supaya emosi yang ada di dalam diriku mereda. Namun, air yang mengalir ini bukannya meredakan emosi, justru membuat amarah dalam diriku meledak.
Sial, aku jadi kepikiran hal itu terus. Hal yang diucapkan Ghina tadi ketika aku bertanya mengapa mereka tidak ikut aku untuk melakukan eksekusi.
"Apa kamu lupa, Fel? Kamu lupa kalau sahabat kita baru beberapa hari yang lalu meninggal?"
Pertanyaan Ghina itu justru membuatku sedih karena teringat kematian Nandini yang sangat mengenaskan, sekaligus bingung mengapa Ghina membahas hal tersebut?
"Kenapa kamu bahas itu, Ghin?"
Jujur saja, saat bertanya balik pada Ghina waktu itu, diriku sedang dikuasai emosi. Pasti wajahku memerah menahan marah. Bahkan, bisa kurasakan degup jantungku mengencang hanya karena mengingat keadaan terakhir Nandini yang benar-benar membuatku tidak bisa menahan diri untuk ketakutan setengah mati.
Sebenarnya, eksekusi yang kulakukan pada Alicia akhir-akhir ini untuk pengalih perhatianku saja. Sebab, jika aku terus mengingat kematian sahabatku sendiri, Nandini, secara otomatis aku terus teringat dengan keadaannya yang mengenaskan. Mungkin, kalian akan menganggap aku sahabat yang jahat karena dengan teganya melupakan begitu saja sahabat sendiri yang telah pergi dari dunia. Hanya saja, coba kalian bayangkan jika berada di posisiku. Hal itu sangat menganggu dan membuatku semakin parno! Aku hanya butuh pengalih perhatian saja.
Makanya, aku emosi saat Ghina mengungkit kembali tentang Nandini yang telah meninggal dan membuatku teringat kembali keadaan gadis itu yang mengenaskan.
"Apa kamu lupa? Padahal, kamu sendiri yang menemukan surat misterius itu di rumah Nandini." Aku mengerutkan dahi, bingung apa hubungannya mereka tidak mau membantuku eksekusi dengan surat misterius di rumah Nandini serta kematiannya.
Ghina pun mendesah pelan. "Fel, aku merasa bahwa kematian Nandini ini adalah peringatan untuk kita." Aku mulai menahan napas sejenak saat mendengar ucapan Ghina. Sedikit demi sedikit aku mulai paham arah pembicaraan ini akan ke mana.
"Dari surat misterius yang kita terima, tapi Nandini tidak menerimanya. Aku awalnya sempat berpikir kalau Nandini yang membuat surat itu untuk nge-prank kita. Tapi, kenyatannya Nandini ikut khawatir sama kita dan kekhawatirannya itu serius. Aku bisa lihat dari tatapan matanya.
"Lalu, Nandini yang tiba-tiba menghilang. Aku sempat berpikir apakah ini ada hubungannya dengan Nandini yang tidak mendapatkan surat berisi teror itu? Dan ketika kamu menemukan surat yang terselip di rumah Nandini waktu kita ke sana, aku mulai merasa nggak enak. Di pikiranku saat itu adalah ... si pengirim surat membuktikan ancamannya!"
Sial, aku tak mengelak apa yang dikatakan Ghina itu cukup logis. Si jenius itu benar-benar ahli jika menghubungkan suatu kejadian.
Setelah mencuci wajah, meski dengan air yang mengalir sedikit, aku pun berjalan ke luar kamar mandi. Bahkan, sampai saat ini aku masih asyik memikirkan kelogisan ucapan Ghina. Juga, kalimat terakhir di analisanya.
Di pikiranku saat itu adalah ... si pengirim surat membuktikan ancamannya!
Aku menggelengkan kepala. Tidak, surat itu pasti dari orang iseng. Entah mengapa, justru aku yakin bahwa kematian Nandini sama sekali tak berkaitan dengan surat teror itu. Lebih tepatnya, aku berusaha meyakini hal itu. Karena-
Oh, sial!
Mendadak saja lamunanku terhenti ketika kepalaku tak sengaja menabrak sesuatu. Saat mengangkat kepala, saat itu pula aku mengumpat dalam hati.
Kenapa aku harus mengalami double sial, huh?
💭💭💭
Alohaaa ... nggak kerasa, bentar lagi bakal tutup tahun 2020, ya. Dan nggak kerasa juga, besok ultahnya si Taehyungie 😭💜
Makasih banyak buat teman-teman yang masih stay tune sama cerita ini. Lupyuuu all banyak banyak 💜💜💜
As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.
Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.
Have a nice day.
©Surabaya, 29 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top