📍 [√(6² × 10 + 1)] Sangkalan

INI TIDAK BERHUBUNGAN. MUNGKIN KEBETULAN SAJA DUA HAL ANEH YANG KITA ALAMI INI TERJADI SECARA BERUNTUN.

~••~

Selamat Membaca!!!

💭💭💭

“Seriusan kamu nggak dapat surat kayak gini?” tanyaku pada Fikay sambil melambai-lambaikan surat milik Ghina yang kini masih ada di genggamanku.

“Iya, aku nggak dapat surat kayak gitu lagi.” Fikay mengangguk-angguk dengan wajahnya yang masih pucat.

“Memangnya kamu nggak dikasih pesan WhatsApp kayak waktu itu? Waktu itu cuma kamu aja, kan, yang dapat pesan lewat WhatsApp,” tanya Ghina sambil mengerutkan dahi. Benar juga, waktu itu aku dan Ghina mendapatkan pesan dalam kertas, sedangkan hanya Fikay yang menerima pesan melalui WhatsApp.

“Nggak,” ujar Fikay dengan singkat. Nada suaranya pun melemah.

“Kamu kenapa, sih, wajahmu lesu kayak gitu? Bukannya bagus kalau kamu nggak dapat pesan teror kayak gini?” tanyaku pada Fikay dengan heran. Memang benar, kan? Aku nggak habis pikir, harusnya dia senang karena tidak merasa terteror dengan surat itu. Sambil menunggu jawaban Fikay, aku mulai membaca pesan Ghina yang tak kusangka, isinya sangat sedikit!

Sikap yang bagus, Ghina Apsari. Jangan ikuti lagi kelakuan buruk sahabatmu itu, si Felicia. Jika kamu tidak ingin nasibmu sama seperti Nandini.

Membaca surat ini, lagi-lagi aku teringat keadaan Nandini yang mengenaskan. Jujur, sebenarnya aku bukan ingin melupakan sahabatku yang telah tiada itu. Hanya saja, jika aku mengingatnya, bayang-bayang mayat Nandini yang mengenaskan selalu saja menghantuiku dan hal tersebut membuatku frustasi.

Aku serius!

“Apa kamu lupa, sebelum Nandini ditemukan tewas, waktu itu hanya dia saja yang tidak mendapatkan surat teror.” Sontak kepalaku terangkat setelah mendengar jawaban Fikay. Ah, aku mulai paham arah pembicaraan ini. Sepertinya ....

“Dan kamu takut nasibmu bakal kayak Nandini gitu?” Pertanyaan Ghina yang terlontar membuatku menoleh pada gadis itu. Persis seperti apa yang akan kutanyakan pada Fikay. Sesuai dugaan, Fikay pun mengangguk.

Tanpa basa-basi, aku pun menggebrak meja yang membuat kedua sahabatku ini menoleh padaku. Ah, ralat. Hampir seluruh siswa di kelas ini. Aku tak sadar bahwa gebrakan mejaku ini keras sekali. Namun, aku tak memedulikan tatapan mereka.

“Kalian masih ngira surat aneh kayak gini ada hubungannya sama kematian Nandini? Hei, dengar. Ini tidak berhubungan. Mungkin kebetulan saja dua hal aneh yang kita alami ini terjadi secara beruntun. Mendapatkan surat teror dan kematian Nandini. Surat ini,” ujarku sembari mengangkat surat Ghina, “pasti yang nulis orang iseng. Dan kematian Nandini, pasti ada orang jahat yang berniat mencelakainya. Yak, intinya ini tak ada hubungannya. Sudahlah, kenapa terlalu memusingkan hal ini, sih?”

Mereka terdiam setelah mendengar ucapanku. Memang benar, kan? Mengapa dia hal ini terus saja dikaitkan. Lagipula, aku sendiri sampai frustasi memikirkan hal ini terus tanpa henti. Apa salahnya jika aku bersikap tidak ada masalah apa-apa?

”Tapi, omong-omong. Kamu tadi bilang juga dapat surat kayak gini. Memang surat punyamu mana? Boleh lihat nggak?” Pertanyaan Fikay membuatku mendengus kesal.

“Sudah aku remas dan aku buang ke sampah.” Entah perasaanku atau bagaimana, ya. Fikay dan Ghina sontak membelalakkan mata saat aku mengucapkan hal tersebut. Seolah, apa yang kulakukan itu salah.

“Lah? Serius? Ngapain dibuang?” tanya Ghina dengan dahi yang mengerut lagi.

“Emangnya buat apa disimpen? Nggak guna, malah buat pikiran kalut aja. Mending kubuang aja daripada jadi beban pikiran.”

Ya, memang seperti ini sifatku. Terkadang bersikap bodoh amat jika masalah yang kuterima terlalu berat. Bisa dibilang, berusaha menghindar dari masalah. Dan jujur, masalah surat teror ini, meski terdengar simpel, tetapi hal itu benar-benar menjadi beban pikiranku. Jadi, ini salah satu alasan kenapa aku menyangkal bahwa surat teror dan kematian Nandini berhubungan.

Ya, mungkin bisa dibilang aku tidak ingin menerima kenyataan. Hanya saja, ini tidak logis. Masa gara-gara eksekusi kami saat MOS, seseorang tega membunuh Nandini? Di mana otak warasnya?

💭💭💭

Suara dering ponsel membuatku terpaksa membuka mata yang sebenarnya rasanya masih lengket dan tak ingin terbuka. Argh ... siapa, sih, yang iseng banget ganggu aku.

Padahal, hari Minggu seperti ini adalah nikmat untukku, karena bisa tidur sepuasnya. Apalagi, mama dan papa sedang ada acara di luar kota. Aku sendirian di rumah. Jadi, untuk hari ini, aku seketika merasa bebas. Yah, memang sudah biasa, sih, aku sering ditinggal kedua orangtuaku sendirian di rumah. Dan aku tidak masalah, selama uang saku masih tersedia.

Awalnya, aku tidak peduli dengan dering itu. Namun, lama-lama dering itu terus berbunyi dan sangat mengganggu telingaku. Alhasil, aku membuka mata sambil melihat siapa yang berhasil mengangguku di hari libur nan indah ini.

Rupanya Ghina. Kenapa, ya, dia telpon aku?

“Hei, kamu habis ngapain, sih? Dari tadi aku telpon nggak diangkat-angkat.” Meski suaranya kalem, tetapi ucapan bertubi-tubinya itu membuatku kesal setengah mati.

“Kenapa, sih? Kalau nggak ada yang mau diomongin, aku lanjut tidur lagi,” ujarku dengan suara serak.

“HAH? KOK TIDUR LAGI, ITU, LOH! HEH?” Uhh ... langsung saja kujauhkan ponsel dari telingaku. Kalau seperti ini, lama-lama suaranya bisa cempreng seperti Fikay.

“Kenapa, sih? Ini kan hari Minggu. Wajar, dong, kalau aku mau mbangkong*,” balasku dengan kesal.

“Nah, kan, kamu lupa. Udah, cepetan kamu keluar. Aku dari tadi nunggu di depan rumahmu.” Kali ini, ucapan Ghina membuatku membulatkan mata.

“HAH?!”

“Ayo buruan!”

💭💭💭

“Hehe. Maaf, ya,” ujarku dengan cengiran. Sedangkan Ghina yang duduk di sampingku mendengus dengan kesal.

“Gini, nih, tidur mulu yang dipikirin,” cibir Ghina dengan bibirnya yang manyun. Aku pun hanya bisa membalas dengan cengiran.

Serius, aku lupa kalau hari ini kami bertiga berencana akan hunting ke Taman Bungkul. Apalagi sekarang hari Minggu. Biasanya setiap hari Minggu ada car free day di area sekitar Taman Bungkul dan Jalan Darmo.

Padahal, aku sendiri yang merencanakan hunting kali ini, tapi justru aku yang lupa. Sebenarnya aku ingin ke Taman Bungkul selain untuk refreshing, tapi juga ingin berjajan-jajan ria di sana.

Oh, tentu saja aneka jajanan yang dijual di sana benar-benar menggoda mata.

“Haish ....” Aku menolehkan kepala ke Ghina saat mendengar gadis itu mengeluh.

“Kenapa, sih?” tanyaku heran.

“Ini ... dari tadi aku telpon Fikay, tapi sampai sekarang masih belum dia angkat.” Mendengar jawabannya, aku mengedikkan bahu sekilas.

“Ya udah, lah, ya. Ini, kan, kita perjalanan ke rumah Fikay,” ujarku santai. Ya, saat ini aku dan Ghina mengendarai taksi online yang kupesan tadi untuk menuju ke rumah Fikay, baru setelah itu berangkat ke Taman Bungkul.

Sepertinya aku terlalu santai dan meremehkan apa yang dikhawatirkan Ghina tadi. Karena kenyataannya ...

... Fikay tidak ada di rumah!

💭💭💭

*mbangkong = molor tidur 😂

Help ... Fikay nggak ada di rumah! 😱 Dia ke mana, ya? Eits ... tunggu aja update selanjutnya, hihi.

As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.

Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.

Have a nice day.

©Surabaya, 16 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top