📍 [√(5² + 12²)] Kesal

KAMU DENGERIN NGGAK, SIH, AKU NGOMONG DARI TADI?!

~••~

Selamat Membaca!!!

💭💭💭

"Hei! Lelet banget, sih, kalian berdua. Kita udah laper, nih!" teriakku pada dua orang gadis yang kelimpungan membawa pesanan mi ayam dan es teh kami bertiga.

Entah karena terburu-buru atau bagaimana, tiba-tiba saja salah satu dari mereka terjatuh, seperti tersandung sesuatu. Padahal, tidak ada apapun yang membuatnya terjatuh. Dan tentu saja, bisa kalian bayangkan selanjutnya? Makanan dan minuman pesanan kami yang dia bawa tumpah!

Tentu saja bunyi mangkuk dan gelas jatuh yang beradu dengan suara air tumpah membuat semua yang ada di kantin memusatkan perhatian ke gadis itu. Keterlaluan! Dia benar-benar tak becus, padahal hanya membawa makanan dan minuman saja.

Dengan langkah lebar, aku menghampiri dia. Fikay juga berjalan mengikutiku. Sedangkan Ghina, dia justru duduk terdiam dengan wajah yang pias sejak aku berdiri tadi. Namun, aku tak memedulikan hal tersebut, sebab aku benar-benar marah dengan gadis itu.

Tanganku langsung menarik gadis yang mengenakan nametag Alicia A untuk berdiri. Seragam putihnya tampak noda bekas kuah mi ayam bercampur teh. Dia benar-benar ceroboh! Sedangkan temannya yang bernama Rina justru terdiam sambil memegang nampan berisi pesanan kami dengan tangan bergetar.

"Kamu itu, ya! Sudah lelet, nggak becus pula bawa makanannya," bentakku ketika Alicia sudah berdiri. Namun, wajah gadis itu terus menunduk dan aku mendengar ... isakan? What? Dia nangis? Gitu doang dia langsung mewek? Cengeng banget, sih. Aku melirik ke samping kiri. Fikay seperti akan berbicara, tetapi bibirnya justru ia katupkan lagi. Eh? Dua temanku ini kenapa, sih? Kenapa dari tadi seolah menghindar untuk melakukan eksekusi? Ah, peduli amat. Aku masih kesal dengan gadis di depanku ini.

"Kamu lihat! Makanan dan minuman kami tumpah semua dan itu gara-gara kecerobohanmu. Aku nggak peduli, kamu belikan lagi makanan untuk kami dan kamu juga harus tanggung jawab mengganti piring dan gelas yang pecah itu. Oh, ya, jangan lupa bersihkan ini semua. Pokoknya kamu harus tang—”

"Sudah, jangan nangis. Sini biar aku bantu bersihkan." Speechless. Mendadak aku terdiam saat mendengar suara bariton menyela ucapanku. Saat menoleh ke sumber suara, benar saja dugaanku. Tampak Fernan dan juga Dika yang membawa pel berjalan menghampiri Alicia. Sial, kenapa mereka sok-sokan jadi pahlawan? Padahal, aku masih belum melakukan eksekusi pada gadis yang menyebalkan ini.

"Eh, kalian ngapain, sih? Dia yang salah, harusnya—"

"Bisa diam nggak? Ngamuk aja bisanya." Hah?! Lelaki ini benar-benar membuatku marah! Tak peduli sekitar, aku langsung menarik baju lelaki menyebalkan itu yang sedang membungkuk, membantu Alicia mengambil serpihan kaca dari mangkuk yang pecah tadi.

"Kamu itu dengar nggak, sih, omonganku? Biar—dia—yang—bersihkan! Apa masih kurang jelas? Dia harus tanggung jawab atas kecerobohannya!" teriakku di depan wajah Fernan. Tanganku yang awalnya menarik bagian belakang bajunya, kini beralih mencengkeram kerahnya. Aku benar-benar kesal dengan lelaki ini.

Namun, apa reaksinya? Dia diam saja seperti orang yang tidak bersalah! Wajahnya datar dan tampak tak peduli. Sial, sial, sial. Lelaki ini benar-benar menguras emosiku.

"Kamu dengerin nggak, sih, aku ngomong dari tadi?!" bentakku dengan kesal. Tak peduli dengan keadaan sekitar saat ini, aku hanya ingin menumpahkan kekesalan. Akan tetapi, Fernan justru menyingkirkan tanganku yang masih mencengkeram kerah kemejanya. Kepala lelaki itu menoleh ke arah Dika.

"Dik, kamu bantu dia ngambilin pecahan kacanya terus bantuin ngepel juga, ya? Aku mau ke kelas sebentar." Setelah menyelesaikan ucapannya, Fernan menoleh padaku sembari memberikan tatapan tajam.

"Dan kamu ... jangan coba-coba menghalangi Dika buat bantu dia. Awas aja, ya, kalau berani! Lebih bagus lagi kalau kamu bantu mereka," ancam Fernan sembari menudingku dengan telunjuknya. Setelah itu, ia mulai berjalan keluar kantin.

"AKU NGGAK TAKUT SAMA ANCAMANMU, FER!" teriakku tanpa peduli dengan tatapan sekitar yang mulai melihatku dengan pandangan aneh. Aku kesal sekesal-kesalnya dengan Fernan. Untuk kesekian kalinya, dia membuat mood-ku turun seketika. Namun, kali ini sikapnya benar-benar menyebalkan dari sebelumnya. Tak salah, kan, jika aku marah pada Fernan?

Eh, tunggu sebentar. Kenapa tadi saat berteriak, suaraku terdengar parau? Bahkan, dadaku rasanya sesak sekali dan juga ... sial, mataku mulai berkaca-kaca. Nggak, nggak. Aku nggak boleh lemah gini. Kenapa tiba-tiba rasanya ingin menangis? Nggak, ini nggak boleh terjadi. Aku harus menahannya.

Sebuah tangan meraih pundakku. Saat aku menengok ke samping kiri, rupanya Fikay yang melakukannya. Tanpa aba-aba, dia menarikku untuk mengikutinya. Aku pun diam saja dan ikut duduk bersama Fikay juga dengan Ghina yang sudah duduk sejak tadi. Kami pun terdiam sembari menatap Dika yang membantu Alicia.

Kulihat, Rina pun menaruh nampan berisi makanan pesanan kami tadi, lalu membantu Dika dan Alicia. Sedangkan siswa-siswi yang lain, hanya menyaksikan saja. Bahkan, para penjaga kantin, termasuk penjual mi ayam yang mangkuk dan gelasnya dijatuhkan Alicia tadi pun hanya menyaksikan mereka. Sejak tadi mereka diam melihat aku bertengkar dengan Fernan. Seolah, kejadian itu adalah tontonan yang mengasyikkan bagi mereka. Aku kesal, aku ingin marah, tapi lidahku rasanya kelu untuk mengungkapkan amarah.

Sebenarnya, bisa saja aku menyentak Dika supaya tak membantu Alicia dan tidak menuruti perintah Fernan. Namun, rasa sesak dan juga mata berkaca-kaca inilah yang menghambatnya. Aku tak ingin memperdengarkan suaraku yang parau seperti menahan tangis pada orang-orang yang ada di sekitar. Entah mengapa, aku benar-benar kesal dengan Fernan sampai rasanya ingin menangis.

Tak lama setelah itu, sosok lelaki yang tadi membuatku kesal setengah mati datang kembali sembari membawa pakaian yang telah dilipat.

"Alicia." Yang dipanggil pun menoleh ke arah Fernan. Aku terus mengawasi gerak-gerik mereka.

"Kamu ganti baju dulu aja. Nanti, itu biar aku, Dika, dan temanmu yang lanjut membersihkan. Juga dibantu sama Pak Arman. Iya, kan, Pak?" Aku baru sadar, ternyata Fernan datang ke kantin bersama Pak Arman. OB sekolah kami.

"Iya, Mas. Tenang aja, Mbak. Saya bantu bersihkan, kok."

"T—tapi, ini aku yang jatuhin. Nggak apa, aku bersihkan ini dulu. Lagipula, aku nggak bawa baju ganti, Kak," ujar Alicia dengan suara lirih. Namun, Fernan justru menarik lengan gadis itu untuk berdiri.

"Kamu pakai seragam olahragaku ini aja nggak apa-apa." Fernan pun menyodorkan lipatan pakaiannya pada Alicia. Akan tetapi, gadis itu menggeleng.

"Nggak usah, Kak. Nggak apa, kok."

"Nggak apa gimana? Memang kamu nyaman pakai baju yang kotor kayak gitu? Tenang aja. Kalau ada guru yang tanya kenapa kamu pakai baju olahraga, bilang aja karena ketumpahan makanan. Seandainya guru-guru masih nggak percaya, kamu minta aja mereka untuk panggil aku supaya aku kasih tau kalau aku sendiri yang minta kamu pakai baju olahraga. Oke?" Namun, Alicia masih saja diam tak berkutik.

"Kebetulan hari ini kelasku nggak ada olahraga. Jadi, baju ini belum aku pakai dari tadi. Kalau nggak percaya, kamu bisa tanya Dika. Kausnya nggak kebesaran, kan, buat kamu?"

Setelah mengatakan itu, Fernan langsung membentangkan kaus olahraganya yang berwarna putih bersih sambil menunjukkan senyumnya.

Sial, sial. I hate his smile!

💭💭💭

Anggap aja baju yang dipegang Taehyung itu kaus olahraga wkwk. Senyum manis kayak gitu, kok Fel nggak suka, ya? Hihi. Atau jangan-jangan dia jealous lagi karena senyum itu nggak ditujukan ke Fel. 😂

As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.

Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.

Have a nice day.

©Surabaya, 1 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top