📍 [4 cos 60° × 7] Lorong Kosong
❝HAL YANG NORMAL, KAN, KALAU SEORANG PEREMPUAN MERASA KHAWATIR JIKA ADA SEORANG LELAKI MENGAJAKNYA KE TEMPAT SEPI?❞
~•••~
Selamat Membaca!!!
💭💭💭
"Kalian ini kenapa, sih? Kenapa kok dari tadi diem aja. Kalian lihat, kan, tadi cewek itu jatuhin makanan kita. Mana dia nggak nggantiin makanan dan minuman kita yang jatuh itu," ujarku dengan bersungut-sungut. Sungguh, aku benar-benar tak paham dengan jalan pikiran kedua sahabatku ini.
"Fel, tenang dulu. Jangan marah-marah," ujar Ghina dengan santai.
"Gimana aku bisa tenang? Kamu lihat sendiri, kan? Fernando lagi-lagi mempermalukan aku. Dia selalu memanfaatkan berbagai macam situasi untuk menjatuhkanku. Aku benar-benar tak paham lagi dengan lelaki itu. Kenapa dia sensi banget, sih, sama aku," ucapku dengan bersungut-sungut. Untunglah, rasa sesak karena menahan nangis tadi sudah menghilang. Namun, rasa kesal itu tentu saja tak menghilang. Sial, lelaki itu benar-benar menyebalkan. Aku tak suka dengan senyum soknya ketika menyodorkan pakaian olahraganya ke Alicia.
"Fel, apa kamu masih belum sadar? Kalau—"
"Kalau aku nggak sadar, nggak mungkin aku duduk di sini, Ghin," jawabku dengan kesal. Jujur, sejak kejadian di kantin itu, perasaanku benar-benar tak karuan. Aku kesal, aku marah. Namun, aku tak tahu bagaimana melampiaskannya. Jadi begini kelanjutan kejadian tadi ....
"Kebetulan hari ini kelasku nggak ada olahraga. Jadi, baju ini belum aku pakai dari tadi. Kalau nggak percaya, kamu bisa tanya Dika. Kausnya nggak kebesaran, kan, buat kamu?"
Alicia masih saja terbungkam. Tanpa banyak bicara, Fernan meraih tangan gadis itu, setelah itu ia meletakkan pakaian olahraganya di atas kedua tangan Alicia. Semua tidak luput dari pandanganku.
"Sudah. Buruan ganti," ujar Fernan dengan menenangkan. Gadis itu pun berjalan keluar dari kantin dengan kepala menunduk. Aku sempat melihat bibirnya bergerak, tetapi tak terdengar suara dari Alicia. Sepertinya dia berbisik pada Fernan, karena aku melihat lelaki itu tersenyum setelah Alicia menggerakkan bibirnya. Sial ... aku semakin kesal.
Tak memedulikan bagaimana reaksinya nanti, aku berjalan cepat menuju Fernan sebelum lenganku ditahan oleh Fikay.
"Kamu tuh apa-apaan, sih? Ini urusanku dan Alicia. Bukan urusan kamu. Nggak perlu ikut campur urusanku. Ngerti nggak?" Sekali lagi, aku menarik seragamnya. Namun, lagi-lagi dia hanya memberikan tatapan meremehkan.
"Kamu itu yang apa-apaan? Kamu pikir dengan menindas adik kelas, kamu menjadi lebih keren?" Sial, kenapa aku tidak bisa menjawab pertanyaannya?
"Dika, maaf lagi, nih. Kamu bisa kan lanjutin bersihin? Aku ada urusan sebentar sama dia." Mendengar ucapan Fernan, mataku terbelalak. Apa 'dia' yang lelaki itu maksud itu adalah aku? Tanpa aku sadari, tiba-tiba tanganku ditarik dengan kasar. Rupanya, Fernan yang menarikku.
Tentu saja aku berontak. Enak saja dia main tarik tanganku. Namun, karena tenagaku yang tidak sebanding dirinya, membuat pemberontakanku sia-sia. Dia terus menarikku sampai ujung lorong sekolah, dekat gudang sekolah. Sial, sial, sial. Kenapa dia mengajakku ke tempat sepi? Hal yang normal, kan, kalau seorang perempuan merasa khawatir jika ada seorang lelaki mengajaknya ke tempat sepi? Apalagi lelaki itu adalah musuh besar sang perempuan. Yap, itulah yang kurasakan.
"Kamu ngapain bawa aku ke sini, hah? Lepasin!" teriakku. Suaraku yang tadinya serak, kini menjadi semakin serak, sebab sejak tadi aku terus berteriak dan memberontak.
Tangan Fernan yang awalnya memegang tanganku, beralih memegang dua bahuku dengan cepat. Sial, aku kalah cekatan dengan dia. Tiba-tiba saja dia mendorongku hingga punggungku menabrak dinding.
"Aww!" Sial. Lelaki macam apa dia ini? Kasar dengan perempuan. Belum sempat aku protes, ia mulai berjalan maju. Menyondongkan tubuhnya pada diriku. Dan entah mengapa hal itu terjadi begitu saja. Tatapanku tersesat pada kedua bola matanya. Aku seolah ... mulai merasakan hal yang sama ketika pertama kali bertemu dengan lelaki ini. Namun, aku tertampar oleh kenyataan ketika teringat, lelaki ini pula yang dulu pernah melempar bola basket ke arahku dan dia sama sekali tak mengucapkan maaf.
Aku pun berusaha melepaskan diri dari Fernan, tetapi tangannya cukup kuat menahan bahuku untuk menempel di dinding. Sial, sial, sial.
"Kamu mau apa, Fer? Aku nggak ada waktu banyak buat diem di sini." Namun, lelaki itu masih terdiam.
"Fernan. Lepasin!" teriakku. Sial, kenapa lorong ini sepi sekali. Tidak ada satu pun orang yang lewat. Tak salah jika lorong ini sering disebut lorong kosong, karena jarang sekali ada yang melewatinya. Lorong ini mengarah ke gudang belakang sekolah yang jarang dipakai. Tentu saja, tak ada yang berniat melewati lorong ini. Sempat ada kabar angin, bahwa di lorong ini akan dibangun kelas baru, karena kuota siswa yang akan masuk SMA D rencananya akan ditambah. Namun, kenyataannya, sampai sekarang kabar itu hanya wacana saja.
Fernan benar-benar menyebalkan. Bukannya melepasku, ia justru mengikis jarak antara kami. Sontak aku terkejut. Badanku bergetar hebat. Apa yang akan lelaki ini lakukan?
"Fer, aku serius. Lepasin." Dia masih tetap tidak mendengar ucapanku. Aku takut seandainya dia berani macam-macam padaku.
Akan tetapi, kepalanya mulai mendekat pada diriku. Bahkan perlahan, aku mulai merasakan helaan napasnya. Tak terasa mataku mulai berkaca-kaca. Tanganku yang berusaha melepaskan tangan Fernan dari bahuku mulai bergetar. Dapat kurasakan, keringat dingin mulai mengalir.
"FER. BERHENTI. JANGAN KURANG AJAR, YA!" Tepat saat aku berteriak, dia memundurkan kepalanya sembari menatapku remeh dengan satu alis terangkat. Sialnya lagi ... dia langsung tertawa lepas.
"Bagaimana? Kamu merasa takut, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Aku hanya terdiam. Jujur, aku masih syok untuk memahami keadaan.
"Itulah yang dirasakan korban perundunganmu. Takut. Karena kamu sudah merasakan bagaimana rasa takut itu, seharusnya kamu merasa jera dan tidak mengulangi perbuatanmu yang sama sekali tidak keren itu." Selepas ia berkata-kata, Fernan melepas pegangan tangannya pada bahuku. Lelaki itu berjalan santai meninggalkanku. Tanpa ada rasa bersalah karena membuatku takut setengah mati dengan kelakuannya.
"Argh ... aku kesal dengan Fernan!" Ghina dan Fikay langsung menoleh ketika aku berteriak setelah mengingat betapa kurang ajarnya Fernan tadi. Meski mereka menatapku dengan heran, tetapi aku tak memedulikannya.
Aku benar-benar kesal.
💭💭💭
Ini Fel yang nyebelin atau Fernan yang nyebelin, yak? Mweheheee.
As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.
Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.
Have a nice day.
©Surabaya, 8 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top