📍 [√(29² - 21²)] Hilang (lagi)?

HATI BOLEH PANAS, TAPI OTAK HARUS TETAP DINGIN.

~••~

Selamat Membaca!!!

💭💭💭

“Iya, Mbak. Kemarin malam dia izin sama saya kalau mau keluar sebentar. Saya, ya, ngelarang, karena sudah malam banget, tapi Mbak Fika masih ngeyel. Katanya ada urusan penting. Saya takut, Mbak. Kalau Mbak Fika masih belum pulang, nanti Pak Anton sama Bu Arini bakal marah dan khawatir.”

Pengakuan dari asisten rumah tangga Fikay membuatku lemas seketika. Kenapa pula Fikay tiba-tiba pergi malam kemarin dan belum pulang sampai sekarang?

“Memangnya Om Anton sama Tante Arini ada di mana sekarang?” tanya Ghina pada Mbak Ana, asisten rumah tangga Fikay.

“Pak Anton sama Bu Arini lagi pergi ke luar kota. Makanya, Mbak Fika merasa bisa bebas pergi keluar malam-malam. Sudah saya larang, tapi masih ngeyel. Saya khawatir sama dia, Mbak. Malah melebihi rasa khawatir saya kalau dimarahi tuan sama nyonya nanti.” Jeda sesaat. “Mbak Fika sudah saya anggap seperti saudara sendiri. Saya takut dia kenapa-kenapa. Apalagi ponselnya nggak bisa dihubungi.”

Mendadak saja pikiranku menjadi berkecamuk. Apa jangan-jangan, hilangnya Fikay ini berhubungan dengan Fikay yang tidak mendapatkan surat teror itu lagi? Sama seperti yang dialami Nandini waktu itu?

Oh, tidak. Kenapa semua ini semakin terlihat berhubungan. Ingin menyangkal, tapi semakin lama semuanya semakin jelas mengarah bahwa pengirim surat teror itu membuktikan ancamannya.

💭💭💭

Saat ini, aku dan Ghina berada di Taman Bungkul. Ya, tanpa Fikay, tentu saja. Sebenarnya aku yang memaksa Ghina untuk tetap jalan-jalan ke sini untuk menenangkan pikiran dulu. Jujur, mendadak saja pikiranku menjadi ruwet setelah mengetahui Fikay menghilang.

Dia keluar malam-malam, itu sama sekali bukan kebiasaannya. Ada apa ini sebenarnya? Fikay memang mau ke mana malam kemarin?

“Fel, kita mau sampai kapan jalan muter-muter terus kayak gini? Nggak mau berhenti dulu atau beli jajan dulu?” Mendengar ucapan Ghina, aku baru sadar kalau sejak tadi kami hanya berjalan saja. Sepertinya aku terlalu asyik melamun dari tadi.

“Ya udah. Kita duduk-duduk dulu.” Saat akan mencari tempat duduk, aku melihat ada stan yang menarik perhatianku.

“Eh, Ghin. Beli es krim pot dulu, yuk. Aku lagi pengen makan yang dingin-dingin.” Ghina pun menurut saja. Kami pun berjalan ke stan itu. Setelah pesanan kami telah jadi, mataku mengarah pada stan penjual sosis bakar. Mendadak aku ingin membeli itu juga.

“Ghin, beli sosis bakar, yuk.” Tanpa basa-basi, aku langsung menarik Ghina.

“Eh, Fel. Ini es krimnya aja belum kita makan. Nanti aja, kalau udah habis es krimnya, baru beli sosis bakar.” Namun, aku tak memedulikan ucapan Ghina. Setelah sosis bakar pesanan kami selesai, langsung saja kami mencari tempat yang pas untuk duduk.

Dengan rakus, kumakan es krim pot yang nyaris saja meleleh karena tak tersentuh sejak tadi. Saat melihat ada pedagang minuman keliling lewat di hadapanku, langsung saja aku berdiri dan ingin membeli es jeruk yang sangat menggoda mataku.

“Eh, mau ke mana, Fel?” Tiba-tiba tanganku ditahan oleh Ghina.

“Mau beli es jeruk,” jawabku singkat dan langsung melepaskan genggaman Ghina. Saat aku sudah membeli es jeruk dan duduk ke tempat semula, suara Ghina sontak menginterupsiku.

“Fel, aku tau kamu lagi stres dan melampiaskannya dengan berjajan ria. Ya, emang terserah kamu, sih,, karena itu memang uang kamu. Tapi, jangan kayak gitu juga, karena itu bukan solusi yang bagus.”

Tanpa sadar, air mata mulai menetes ke es krim pot yang ada di genggamanku. Ghina benar, aku terlalu membebankan pikiran sejak diberi kabar kalau Fikay menghilang. Sebenarnya yang membuat pikiranku berat adalah karena aku terus berusaha menyangkal bahwa penulis surat teror itu tidak mungkin membuktikan ancamannya.

Aku masih belum bisa menerima hal itu.

💭💭💭

“Agatha, Agatha. Aku mau cerita.” Sebuah suara teriakan sontak membuatku mengangkat kepala yang awalnya kubenamkan dalam lipatan lengan. Huh, siapa, sih, yang berteriak itu? Mengganggu saja.

“Hei, ngomong biasa aja bisa nggak, sih?” Gadis yang tadinya berteriak itu langsung terbungkam mendengar bentakanku. Aku pun langsung membenamkan kepalaku lagi ke dalam lipatan lengan.

“Sabar, Fel. Jangan gampang marah kayak gini.” Dapat kurasakan, Ghina mengelus-elus punggungku.

“Gimana aku bisa sabar. Fikay masih belum pulang sampai sekarang!” ujarku pada Ghina dengan mata yang berkaca-kaca. Aku sedari tadi rasanya ingin menangis.

“Iya, aku tahu. Hati boleh panas, tapi otak harus tetap dingin. Kita coba nanti cari Fikay ke tempat yang paling memungkinkan dia datangi. Oke?” ucap Ghina lagi.

“Hah? Kamu serius, Rin?” Lagi-lagi suara teriakan terdengar lagi. Ingin aku memarahi orang yang berteriak tadi, tapi terhenti saat aku mendengar sesuatu yang menarik.

“Iya, Tha. Tadi aku nyium kayak bau anyir gitu.”

“Lah, tapi kenapa kamu kok ada di gudang belakang tadi?”

“Oh ... itu ....” Uh, sebenarnya aku penasaran apa yang akan gadis itu katakan, tapi aku diam saja. Menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.

“Rendi ngajak aku ketemuan,” ujarnya dengan lirih. Cih, pasti mereka pacaran. Dasar, cari kesempatan di tempat sepi.

“Oalah ... kebiasaan kamu, tuh, ya! Terus, terus, kamu lihat nggak bau apa yang anyir itu?”

“Nggak tahu, aku nggak berani lihat. Aku sendiri nggak tahu Rendi sadar atau nggak sama bau itu. Pokoknya, setelah urusanku sama Rendi sudah selesai, aku langsung balik ke sini.”

Brak!

Tiba-tiba pintu kelas dibuka dengan kasar. Sontak kami semua yang ada di kelas menoleh ke sumber suara. Rupanya Fernan. Wajahnya juga agak pucat dan cukup berkeringat. Melihatnya seperti itu, mendadak saja aku khawatir. Apa yang telah terjadi?

Tak kusangka, tanpa aba-aba, dia langsung menyambar dan menarik tanganku. Tentu saja aku kaget. Kilasan ingatan ketika dia nyaris menciumku tiba-tiba saja hadir. Mendadak aku jadi parno sendiri.

“H—hei, kamu mau ngapain? Hei!” Saat aku berteriak seperti itu, Fernan menoleh dan menatapku tajam.

“Nggak usah protes. Ayo ikut aku. Oh, ya, Ghina juga ikut. Ayo cepet.” Dengan tergesa-gesa dia langsung menarikku. Aku yang belum siap, tentu saja langsung tertarik dan mengikutinya lari. Ghina yang ada di belakangku pun ikut lari.

Ada apa ini?

💭💭💭

Feelingku, nggak enak. Kenapa Fernan narik-narik Fel, ya? Mana wajahnya pucat lagi. Ada apa, ya? 🤔

As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.

Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.

Have a nice day.

©Surabaya, 19 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top