📍 [√(26² - [³log9 . 5]²)] Rumah Kosong
❝SALIVAKU RASANYA TERCEKAT SAAT MELIHAT BANGUNAN YANG ADA DI DEPAN INI.❞
~•••~
Selamat Membaca!!!
💭💭💭
“D—dia ngajak ketemuan?” Aku terkejut setengah mati setelah membaca surat itu. Bagaimana tidak? Awalnya kukira kalau yang mungkin saja menjadi korban selanjutnya adalah aku, karena aku sendiri tidak mendapatkan surat itu. Bahkan, aku berusaha mencari-carinya, tetapi masih belum juga ketemu. Serius!
Terlebih lagi ketika mengingat saat Nandini dan Fikay yang tiba-tiba menghilang lalu ditemukan tewas dengan mengenaskan, sebelumnya mereka sama-sama tidak mendapatkan surat teror itu. Bagaimana aku tidak mengira kalau bisa saja diriku sendiri yang akan menjadi korban selanjutnya?
Akan tetapi, saat ini Ghina mendapatkan surat teror lagi yang isinya kurang lebih sama seperti yang pernah kutemukan di rumah Nandini saat gadis itu menghilang. Surat yang hampir seperti undangan untuk mendatangi alamat yang dilampirkan si penulis surat teror ini. Jadi, sebenarnya siapa yang akan jadi target selanjutnya? Apakah bukan aku? Tapi, justru Ghina?
Aku benar-benar tak paham pola pikiran penulis surat itu. Argh ... memikirkan hal ini membuatku semakin pusing saja, bahkan jauh lebih pusing daripada menjawab soal limit matematika.
“Sepertinya aku akan menemui penulis surat teror ini. Aku sendiri sebenarnya penasaran siapa pelaku pembunuhan kedua sahabat kita ini.”
Mendengar keinginannya itu, sontak aku berceletuk, “Aku juga ikut!” Dan justru mendapatkan reaksi mata yang membelalak dari Ghina.
“Hah? Jangan! Tenang, aku bakal baik-baik aja dan bisa jaga diri. Kalau kamu ikut, aku takut kita kena resiko yang besar.” Aku mengembuskan napas dengan kasar.
“Ghin, udah cukup, ya, Nandini sama Fikay buat aku stres setengah mati. Jangan ditambah kamu lagi ngelakuin hal kayak gini sendirian. Kamu ingat, kan, saat kita menemukan mayat Nandini di rumah kosong, waktu itu aku ajak kalian. Kenapa? Karena setidaknya itu lebih baik dan lebih aman. Aku nggak peduli si peneror itu bakal ngapain, tapi kalau kita berdua ke sana, kita bakal bisa saling bantu, kan?” Kini, Ghina yang tampak mengembuskan napas dengan kasar.
“Please, Ghin. Kita pasti bakal baik-baik aja kalau bareng. Kalau emang perlu, kita hubungi polisi juga.” Mendengar ideku, Ghina terbelalak lagi.
“J—jangan. Ngajak kamu aja sebenarnya beresiko, kalau ajak polisi, pasti si peneror itu kabur. Oke, oke. Kamu boleh ikut, tapi kamu janji, ya, harus jaga diri. Jangan teledor atau gegabah.” Aku mengangguk dengan kuat.
“Itu pasti. Kamu juga harus jaga diri. Pokoknya kita persiapkan yang terbaik buat menghadapi si peneror itu.”
💭💭💭
Salivaku rasanya tercekat saat melihat bangunan yang ada di depan ini.
“Rumah kosong lagi?” Aku dan Ghina saling bertatapan. Saat ini, kami berdua benar-benar mendatangi alamat yang dilampirkan oleh si peneror itu. Tenang saja, kami tidak seteledor itu, sebab saat pulang sekolah tadi, kami mempersiapkan berbagai macam alat untuk perlindungan diri. Salah satunya adalah pisau yang kuambil dari dapur.
Oh, jangan berpikir kalau aku psikopat. Sebab, ini untuk perlindungan diri saja.
Jujur saja, sejak tadi saat aku akan berangkat ke sini, entah mengapa aku merasa tidak enak dan tidak nyaman. Rasanya seperti tengah diikuti oleh seseorang. Hal itu terjadi karena aku tak sengaja melihat spion taksi online pesanan kami.
Entah mengapa juga, aku merasa tidak asing dengan sepeda motor di belakang yang kelihatannya mengikuti kami. Ya, terlihat seperti sepeda motor Fernando. Hanya saja, wajah orang itu tertutup helm sehingga aku tak dapat memastikan apakah itu Fernan atau tidak.
Namun, untunglah tak lama setelah itu, sepeda motor tersebut tak terlihat di belakang. Sepertinya hanya kekhawatiran berlebihanku saja.
“Kita langsung masuk?” Lamunanku terhenti saat Ghina bertanya. Argh ... di keadaan genting seperti ini bisa-bisanya aku melamun dan nyaris teledor.
“Iya, kita langsung masuk aja.” Dengan langkah perlahan, kami berjalan menuju pintu rumah tersebut. Sepertinya kami tak perlu mengetuk pintu itu.
Kriyet ....
Suara engsel pintu ini membuatku ingin mengumpat saja. Kenapa suasananya jadi terlihat horor? Apalagi, keadaan di dalam rumah ini sangat gelap dan lembap. Rumah ini terlihat tak terurus. Saking tak terurusnya, banyak sekali laba-laba yang betah tinggal di sini. Tentu saja aku mengetahuinya. Lihatlah, jaring laba-laba banyak sekali menggantung di sudut dinding.
Sialnya lagi, mendadak bulu kudukku kini membentuk sudut 90° dengan lengan. Merinding. Bahkan, aku merasa suasana rumah ini dingin dan mencekam.
“Ghin, kita harus ke mana?” tanyaku pada Ghina yang kini asyik merogoh isi tasnya.
“Aku sendiri nggak tau. Sebentar, aku coba ambil surat itu dulu. Barangkali ada petunjuk di sana yang luput dan belum aku baca.” Aku pun mengangguk-angguk saja, lalu beralih menatap sekitar lagi. Mencoba terbiasa dan mengenali suasana rumah ini. Sebab, jujur, keadaannya cukup gelap, bahkan bisa sangat gelap jika pintu utama rumah ini tidak terbuka.
Dan mendadak saja aku merasa menyesal karena dari awal tidak mengeluarkan alat perlindungan diri yang saat ini masih berada di dalam tasku. Rasanya ingin sekali merutuki kecerobohanku yang sangat menyebalkan.
Karena, tiba-tiba aku merasakan nyeri saat sebuah hantaman mendarat di tengkuk. Spontan aku jatuh terduduk sebab masih belum siap menerima hal tersebut. Rasa pusing mulai menggelenyar.
Belum sempat aku menoleh dan mencari tau siapa yang baru saja menghantamku, sayang semuanya langsung terasa gelap.
💭💭💭
O—oy, FEL DIJEBAK!!! 😱😱 Oke, konflik yang sebenarnya sudah dimulai. Pada ingat, kan, bagian prolog? Waktu itu tiba-tiba dia berada di ruangan yang nggak ia kenal, kayak amnesia mendadak gitu. Nah, ini awal mula sebelum dia sadar dari pingsannya.
Bisa nebak siapa yang mukul tengkuk Fel?
As always, jangan lupa vote dan komen, ya, untuk membangun cerita ini.
Jangan lupa follow juga akun putriaac untuk dapatkan informasi update terkait cerita ini dan juga cerita-cerita menarik lainnya.
Have a nice day.
©Surabaya, 31 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top