Revenge
Menjelang sore, aku masih berkutat membersihkan debu-debu halus di studio. Tanganku lalu hendak menggapai patung kesayanganku. Namun, bunyi pesan dari ponsel menghentikan niat itu.
Aku akan menjemputmu jam 7 malam.
Buru-buru aku mengetik kalimat balasan agar Peter tidak mengirim pesan beruntun. Akhir-akhir ini, Peter sedikit sensitif. Apa pun yang membuatnya kesal, aku bisa kena imbasnya. Kalau tidak dimaki ya, ditampar. Hari ini aku tidak ingin membuatnya marah.
Kuarahkan kembali tangan ke benda yang sebelumnya ingin kuraih, patung kucing. Patung ini mengingatkanku pada pertemuan pertama kami. Aku dan Peter bertemu di pertengahan semester, saat memenangkan lomba seni patung tingkat fakultas yang bertema hewan peliharaan.
Waktu itu, aku membuat patung bergambar kucing yang kuberi nama Soul, dan Peter membuat patung anjing yang dinamai Ruhi. Soul dan Ruhi memiliki arti yang sama yaitu jiwa. Sebenarnya, gambar patung yang kubuat saat lomba adalah wujud kucing yang kupelihara. Namun sayang, sekarang Soul sudah tiada, karena ulah orang tak bertanggung jawab.
Meskipun kabarnya binatang kucing dan anjing sulit bisa akur, tetapi aku tidak percaya. Saat kami mengajak Soul dan Ruhi jalan-jalan, mereka justru terlihat akur. Tidak hanya hewan peliharaan kami, pemiliknya pun makin akrab dari hari ke hari.
Dan setelah kemenangan itu, anak-anak di kampus selalu menggodaku dan Peter. Mereka seolah menjodoh-jodohkan kami agar bisa menjadi pasangan. Peter tidak risi atau canggung dengan hal itu, ia malah makin sering mengunjungiku di studio seni. Sesekali membantuku mencari ide untuk tugas, ujian atau bahkan lomba. Terkadang, ia juga membawakan makaroni panggang kesukaanku sebagai menu makan siang kami.
Dan tak lama dari itu, Peter memintaku menjadi kekasihnya.
Namun seperti kisah cinta kebanyakan, momen manis yang diharapkan tidak melulu bisa hadir layaknya pelangi usai turun hujan. Apalagi Peter sibuk dengan pameran seni kala itu. Manusia suka dengan perubahan, begitupun Peter.
Peter lebih sering mengeluh dan menuntut. Ia tidak pelit, tetapi suka mengungkit. Ia tidak jahat, tetapi kalimatnya bisa sepedas sambal level 1000. Peter sangat lembut, tetapi bila egonya terpantik layangan tangannya bisa membuat pipiku lebam. Dan hal yang membuatku geram adalah saat ia membahas soal penampilanku. Kalimatnya selalu berulang bagai kaset rusak. Tak hanya membuat telingaku sakit, hatiku juga.
"Olive, sudah kubilang kan, pakai dress yang bagus kalau kamu pergi denganku. Kita mau ke acara ulang tahun temanku bukan ke pasar malam. Aku tidak mau ya, kalau sampai nanti teman-temanku bilang selera fesyenmu kampungan!"
"Tapi aku nyaman pakai dress ini, Peter."
Aku kembali meneliti penampilanku dari atas sampai ke bawah. Dress putih bermotif bunga mawar besar yang panjangnya dua senti di bawah lutut dipadukan dengan heels warna nude. Menurutku, tidak ada yang salah dengan setelan ini. Namun kulihat bola mata Peter makin memelotot tajam seolah ingin menunjukkan bahwa kemarahannya belum habis.
"Ke mana gaun yang kubelikan tempo hari? Tidak kamu jual kan, Liv?" Peter kembali mengungkit dress merah ketat dengan banyak glitter di bagian depan, belum lagi panjangnya hanya sebatas paha. Melihatnya saja membuatku bergidik. Sungguh, aku tidak sanggup kalau harus mengenakannya.
"Itu ... terlalu terbuka."
"Pikiranmu yang terlalu sempit, Olive! Sudahlah aku malas bicara denganmu."
Aku rasa Peter sedang kesurupan tiap kali membahas penampilanku. Dan ketika ia bertindak seperti itu, aku bisa sangat membencinya. Aku benci wajah mengerikannya ketika mengeluarkan kata-kata sakti yang mampu mengiris hatiku. Bukan tidak pernah terbesit kata putus dalam benakku, hanya saja, terkadang ia bisa kembali baik bahkan sangat baik dibandingkan sebelumnya.
Sampai akhirnya, di studio Peter, aku mendengar sesuatu yang membuat pertahananku runtuh.
"Kamu balikan denganku saja, Honey. Olive kan, tidak selevel denganmu. Apa yang membuatmu masih bertahan dengannya? Kamu yakin mencintai Olive?"
"Aku hanya kasihan padanya. Olive tidak punya siapa-siapa lagi. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, kita juga masih bisa bertemu seperti ini di bekalangnya."
Dadaku bergemuruh diikuti tangan mengepal kuat-kuat. Aku tidak menyangka Peter bisa berkata lebih tajam dari belati. Sejak saat itu, aku tidak ingin repot-repot menangis lagi karena perlakuannya, aku justru senang dan lega hingga sebuah rencana brilian terbesit di benakku. Apalagi saat kutahu pelaku tabrak lari Soul adalah orang itu.
Aku ingin sekali menjadikan Peter patung. Kurasa bisa jadi mahakarya fenomenal. Akan kubungkus tubuhnya dengan adonan semen dan pasir lalu aku cor. Atau patung dari tanah liat saja, sepertinya itu tidak kalah mengagumkan. Akan kulapisi tubuhnya dengan tanah liat siap pakai.
Tunggu dulu!
Perlu berapa banyak sekop tanah liat untuk tubuh Peter? Pasti tidaklah sedikit. Tinggi tubuhnya sekitar 177 cm, atau mungkin nanti akan kubeli satu mobil bak supaya lebih leluasa membungkus tubuhnya. Jangan lupa juga untuk memahat bagian wajahnya, terutama di bagian bibirnya yang tipis, karena aku suka sekali dengan senyuman Peter. Tahap akhir adalah memelitur dan memolesnya dengan minyak jati. Sempurna.
Ah, aku sudah tidak sabar dengan rencana brilian ini.
Langkah kaki seseorang terdengar jelas saat aku selesai mencuci tangan.
Itu pasti Peter.
Aku kembali ke studio lalu mengambil sesuatu di laci. Sebelum menjadikannya patung, ada tahap awal yang tidak kalah penting.
Aku menyambutnya, tetapi Peter memasang wajah cemberut sembari mengoceh seperti biasanya.
Tunggu, Peter Sayang. Sebentar lagi wajah cemberut itu akan kubuat tersenyum dengan air keras yang kubeli tadi siang.
Hanya Soul kenanganku bersama ibu. Sejak Soul lenyap, jiwaku pun ikut serta. Aku tidak suka perubahan burukmu, Peter. Kamu selalu melihat orang lain kecil seolah dunia hanya berputar di sekelilingmu saja. Kini, kamu harus membayarnya.
- The End -
858 kata versi Gdoc.
30 September 2021
Sekali ini bikin yang sedikit sadis kayak masternya🥺
Thank you Akumukairu udah mau dimintai sedikit saran walaupun ujung-ujungnya aku disuruh banyak baca cerita thriller, tapi dari sana semangatku berkobar hehe, karena yang awalnya cerita ini cuma cermin akhirnya bisa jadi cerpen.
Walau enggak maksimal, tapi aku senang bisa menyelesaikannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top