50. Bukti
Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Brakk
Pintu besi itu terbuka lebar akibat terjangan kaki Naruto, safir birunya terbelalak lebar melihat pemandangan di hadapannya. "Hime!!!!"
Ia berlari, mendekat pada sang istri, safir birunya memanas melihat kondisi mengenaskan sang istri. Istrinya dibaringkan terlentang dengan kondisi tangan diikat ke kepala ranjang, lalu kaki ditekuk mengangkang dan saling terikat, belum lagi darah yang menggenang di sprei yang berasal dari lubang kewanitaan sang istri yang terus mengalir deras, juga luka memar hasil tamparan Mito pada perut bulat Hinata.
"Hime.... Hime....." Naruto meracau ketakutan, ia terlebih dahulu melepas ikatan pada kaki Hinata agar kaki itu dapat membujur, lalu melepaskan ikatan pada tangan Hinata.... "Hime...." Naruto naik ke atas ranjang memeluk wajah pucat pasi Hinata. Mata Hinata tertutup rapat dengan mulutnya yang sedikit terbuka dan mengalirkan air liur.
Bola mata ungu di balik kelopak mata putih itu bergerak tidak nyaman, rasa tenang yang ia kira akan membawanya kepada peristirahatan terakhirnya ternyata hanya ilusi, ia masih harus berjuang, rasa sakit dari dalam perutnya kembali mendera, ia ingat ada satu nyawa lagi yang harus ia perjuangkan.
Dug
Satu tendangan dari dalam perutnya sontak membuat kelopak matanya terbuka.
Meraih pergelangan tangan Hinata yang lecet akibat ikatan kuat itu, Naruto memeriksa denyut nadi sang istri. Sangat lemah, membuat ia semakin kalut. "Hime... Yokatta... matamu terbu ka... Kita kerumah sakit....." Naruto tak mempedulikan bahwa tatapan pertama yang Hinata arahkan padanya adalah tatapan penuh kebencian, yang ia tahu ia harus menyelamatkan Hinata dan bayi mereka yang ia yakini masih berada dalam perut Hinata. Ia baru saja akan mengangkat tubuh Hinata, namun...
Plak
Sebuah tamparan halus ia dapat pada pipi tannya. Pelan memang, namun dapat menyuarakan isi hati sang penampar. "Biadab!!!" Ucapnya lirih namun penuh penekanan.
Naruto tersentak, kata kasar itu keluar dari mulut Hinata, ia ingat terakhir kali ia bertemu dengan Hinata dan berakhir dalam keadaan yang buruk. Ia menulikan telinga dari kalimat kasar Hinata, mencoba kembali mengangkat wanita itu, namun.
"Lepaskan aku....!!!" Entah kekuatan dari mana Hinata berteriak kencang, sakit pada keseluruh tubuh terutama pada perut dan liangnya, membuat dirinya melepaskan semua amarahnya.
Naruto tersentak, tubuh Hinata menolak untuk diangkat, dan Naruto tak mau menyentaknya kuat.
"Nenek dan sepupumu membawa puteraku!!!! Mereka mau membunuh kami, kau tahu mereka menekan dan menampar perutku yang kontraksi!!! Kau tahu rasa sakitnya itu, aaaagggghhhhhhh..." Hinata kembali mengerang dalam dekapan Naruto, ia memeluk perutnya yang masih membesar itu.
Naruto diam tersentak, satu bayinya telah lahir, dan ia telah menjadi seorang ayah sekarang. Ia melirik sendu pada perut Hinata hingga pada antara dua kakinya, tali pusar sisa kelahiran sang putera.
"Aaggggghhhhh..." Hinata kembali mengerang sambil menggelinjang, perutnya kembali keras, satu bayinya harus ia keluarkan lagi.
"Hinata!!!" Bersamaan dengan rasa sakitnya satu orang kembali berteriak, Sakura bersama Ino dan yang lainnya berada disana.
"Kau datang..." Lirih Hinata sendu melihat ke datangan Sakura. "Setelah nenekmu membawa putra ku untuk ahli waris, lalu kalian berdua akan membawa putriku, setelah aku mati...." Ia menatap Naruto dan Sakura bergantian. "Aaagggggghhhhhhh...." Hinata kembali mengerang.
Sakura menekan tombol otomatis kursi rodanya, ia mendekat pada Hinata, "Kami-sama!!!" Sakura berteriak terkejut, tali pusar masih terjulur dari liang Hinata. "Plasentanya masih belum di keluarkan...." Sakura berusaha mengelus perut Hinata. Namun...
Plak
Hinata menepis kasar tangan Sakura. "Jangan sentuh puteriku...."
Sakura menatap perut yang dipenuhi lebam itu, sangat kencang dan terlihat mengkilat menandakan masih ada satu bayi disana, tapi tali pusar yang menjulur juga menandakan bahwa ada bayi juga yang baru dilahirkan.
"Hinata mengandung bayi kembar." Suara Neji terdengar membuat Sakura menoleh.
"Hinata kau harus segera melahirkan bayi keduamu, dia bisa mati di dalam perutmu...." Jiwa dokter Sakura terpanggil.
"Lalu membiarkan kalian berdua membawanya untuk melengkapi pernikahan kalian, khe..."
"Hinata, aku mohon, percayalah aku dan Sakura, kami tak seperti yang kau bayangkan...." Naruto memohon frustasi.
"Hinata, Nii-san ada disini...., " Neji menggenggam tangan Hinata. "Tidak akan terjadi hal buruk padamu dan bayimu... Kau percaya pada Nii-san, 'kan?"
Hinata menatap penuh harap pada Neji, ia baru menyadari keberadaan sang kakak, sedikit merasa tenang, ia tahu Neji tak akan membiarkan hal buruk terjadi padanya. Ia kembali membuka kakinya, membiarkan Sakura memeriksa jalur lahirnya.
Kakashi dan Sai bergegas keluar dari ruangan itu, sebelum pintu tertutup Neji berniat menyusul, namun genggaman tangan Hinata menghalaunya. "Jangan tinggalkan aku bersama mereka Neji-nii. Sampai mati pun aku tak akan percaya pada mereka."
Neji mengangguk, ia meraih kursi besi di dekat ranjang dan duduk sambil memegang erat tangan Hinata.
...
Sakura menyeka keringat di dahinya ia baru saja mengeluarkan plasenta pertama Hinata.
"Nggggghhhhh... Ahkk...." Hinata kembali mengerang, hantaman dari dalam perutnya kembali menghantam. Kepalanya mendongak, hingga surai kelamnya yang basah akibat keringat mengenai dada bidang Naruto yang menjadi sandarannya.
Naruto yang duduk di belakang Hinata menjadi sandarannya, memijat bahu Hinata pelan, ia mempraktekan apa yang pernah ia pelajari dari kelas senam hamil. Sesekali ia mengelus perut hamil Hinata mengurangi rasa menegang disana. Berbeda dari persalinan pertamanya, Hinata tak merasa tersiksa sama sekali, baik Sakura ataupun Ino memperlakukan kandungannya dengan lembut.
Beberapa kali Ino yang berdiri di sisi kanannya menekan kandungannya, namun begitu lembut, membiarkan Hinata menarik nafas lalu kembali memijatnya lembut. Belum lagi tangan kirinya yang digenggam oleh Neji, dan walaupun ia menyangkal pijatan lembut Naruto pada pinggangnya membuatnya jauh lebih ringan untuk mengejan.
"Hhhhhhh...hhhh...." Hinata masih terengah hebat, kendati semuanya terasanya nyaman, namun sudah hampir dua jam ia mengejan dan bayinya tak kunjung keluar. "Agrkkkkkhhhhh...." Kontraksi kembali mengantam isi perutnya. Hinata kembali mengejan. "Ngghhhhhh...." Hinata mendorong keras bayinya.
"Hime kau kuat, sayang..." Naruto berbisik lembut tepat di telinganya.
Namun Hinata tersenyum remeh ditengah sakitnya. "Jika kau mencintaiku, ceraikan aku setelah bayi ini lahir..."
"Akan aku lakukan asal kau bahagia...." Ujar Naruto berat. Bila memang perpisahan membuat Hinata dan bayi-bayinya menjadi lebih aman, ia akan melakukan itu, walaupun kebahagiaan itu tanpa dirinya.
Aaaaggghhhhhh....!!" Kontraksinya menguat, Hinata kembali mendorong bayinya, sesuatu yang panjang melintasi liangnya.
Sakura terperanjat melihat dua kaki rapat, keluar dari liang Hinata, wajar bila Hinata mengalami kesulitan saat melahirkan. "Bayi kalian sungsang..."
"Nggghhhhh.... " Mendengar hal itu Hinata semakin kuat mengejan, ia tak mau bayinya itu semakin banyak menelan air ketuban karena posisinya yang diatas. "Aggrhhhhh..." Ia sudah diambang batas lelahnya, dorongan terakhirnya gagal, bersama dengan erangan kuatnya, kesadarannya pun kembali lenyap.
...
"Naruto pendarahan Hinata semakin deras..." Sakura mengeluarkan kepala nya dari balik selimut berlumur darah yang menutupi selangkangan Hinata. "Kita harus mengeluarkan bayi kalian, jika tidak dia bisa keracunan ketuban....."
Wajah ketakutan seketika tampak jelas pada wajah Naruto, "Hime... Bangun..." Naruto menepuk pelan pipi Hinata. "Hinata kau mendengarku....." Bisiknya lirih, "aku akan membawa putera kita kehadapanmu, aku berjanji untuk itu.... Hinata... Bangun Hinata.... Puteri kita ingin melihat dunia... Bangunlah, akan ku kabulkan semua permintaanmu... Termasuk perpisahan kita..."
"Naruto, ini bukan waktunya untuk drama..." Sakura mengambil perannya sebagai satu-satunya dokter disini. "Kita harus mengeluarkan satu bayimu disini, tekan dan dorong perut Hinata!"
"Sakura kau gila!" Neji berteriak tidak terima adiknya diperlakukan seperti itu.
"Ini satu-satunya cara, Hinata sudah tidak mampu mengejan lagi, membawanya untuk operasi Caesar akan memperlama waktu, keduanya bisa mati di perjalanan.
"Tidak Sakura-chan, aku tidak akan menyiksa Hinata seperti itu..." Naruto menggeleng ketakutan.
"Naruto, ini satu-satunya kesempatan kita untuk menolong Hinata...." Sakura berujar lirih, ini adalah kesempatan terbesarnya untuk menebus rasa bersalahnya pada Hinata.
Neji mendesah nafas dalam, ia melepaskan genggaman Hinata yang melemah, dan berdiri di samping Hinata. "Kau tangkap bayinya." Neji menempelkan telapak tangannya pada perut buncit Hinata.
"Neji kau gila!!!" Naruto murka dan menepis tangan Neji.
"Kalau begitu kau yang lakukan!" Balas Neji.
Naruto bangkit, ia menidurkan Hinata di pada ranjang yang dikotori noda darah itu. Tangannya gemetar, lalu perlahan ia tempelkan tangan itu pada perut bulat milik sang istri. Mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dan menekan perut berisi bayi itu.
Usaha mereka berhasil, kaki bayi sampai pinggang berhasil keluar, dorongan terus berlangsung dan dengan sigap Sakura menarik tubuh bayi mungil berambut indigo yang dipenuhi lumuran darah itu. Wajah Sakura pucat pasi ketika bayi itu berada dalam pelukannya, dingin, tak seperti bayi lain yang baru dilahirkan, kulitnya membiru, dan..
"Sakura-chan mengapa bayiku tidak menangis...?" Naruto menghampiri Sakura yang terlihat panik. Calon dokter itu memegang dada kecil bayi itu. Tak ada pergerakan, menandakan bayi itu tak bernafas. "Dia meminum banyak air ketuban..."
Sakura membalik bayi itu dengan posisi telungkup dalam dekapannya lalu menepuk-nepuk bahu bayi itu, bayi kecil itu terbatuk kecil dan cairan bening keluar dari mulutnya. "Kau kuat sayang, kau kuat nak..." Ucap Sakura yang kini menepuk-nepuk kecil pantat bayi itu.
"Oek oek oek..."
Naruto mengusap wajahnya lega Puteri kecilnya akhirnya berhasil menangis dan itu berarti ada tanda kehidupan padanya.
"Kita harus segera membawa Hinata ke rumah sakit, perdarahannya semakin deras." Perintah Sakura.
...
Neji keluar lebih dahulu, di belakangnya Naruto berjalan cepat dengan menggendong Hinata.
"Naruto aku membawa Ambulance." Sakura yang sudah tahu mobil macam apa yang dibawa oleh Naruto, memang sengaja membawa ambulance yang dikendarai oleh Sai.
Sai maju, mengambil kesempatan, mendekat pada Neji. "Aku tak mahir membawa ambulance, kau saja yang bawa," Sai menyerahkan kunci mobil ambulance itu, "biar aku membawa Lamborgini Naruto."
Neji yang memikirkan keadaan Hinata menurut saja, lalu menyerahkan kunci mobil sport itu, tanpa tahu niat Sai yang enggan membawa ambulance.
"Ino kau ingin ikut pacarmu dengan mobil itu." Sindir Sakura.
Ino menggeleng, "aku ingin menebus rasa bersalahku pada Hinata."
...
Ambulance itu melaju serampangan membelah jalanan kota Tokyo, berkali-kali bunyi klakson bergema kendati dibebaskan dari lampu merah, tapi berkali-kali pula ambulance itu hampir menabrak pengguna lain. Menuju rumah sakit terbaik di kota ini, Neji bersama Naruto, Kakashi, Ino, dan Sakura mengejar waktu membawa Hinata ke rumah sakit. Darah terus mengalir deras dari area kewanitaan Hinata, dan bayi kecil berlumur darah dalam rengkuhan Sakura yang menangis kencang karena kedinginan.
Tiba di Tokyo Hospital ambulance mereka disambut oleh satuan petugas medis ketika berhenti tepat di unit gawat darurat. Tubuh lemah Hinata langsung digendong Naruto, dan dibaringkan ke atas brankar. Sakura dengan didorong oleh Ino menuju sisi lain unit gawat darurat, mereka akan membawa bayi kecil itu untuk mendapat perawatan intensif.
...
"Hime... Bertahan lah... Bertahnlah, kumohon..." Sambil mendorong brankar, Naruto menggenggam tangan wanitanya, iris birunya tak henti menderakan air mata, menatap dalam pada dada Hinata yang kembang kempis, memastikan ibu dari anaknya itu masih bernafas. "Kau bahkan belum melihat mereka, memeluk dan menyusui mereka..." Bisiknya lembut, "a...aku akan melepaskanmu, tapi ku mohon bertahanlah...."
...
"Aku suaminya!!!!" Naruto tersentak saat dirinya halau oleh petugas medis untuk masuk ke dalam ruang penanganan.
"Hmmm, drama macam apa lagi yang keluarga kalian buat." Suara Orochimaru terdengar dari dalam ruangan. "Biarkan saja dia masuk."
Naruto menerobos masuk mengikuti para medis yang akan melakukan pertolongan pertama pada Hinata.
"Naruto, duduk diam disana, dan jangan mengganggu kami jika kau masih ingin tetap berada disini!" Orochimaru menunjuk pada kursi besi di pojok ruangan. Naruto mengangguk menurut, ia duduk disana, melihat bagaimana kedua kaki istrinya dibuka lebar dan dikaitkan pada penyangga di ranjang khusus melahirkan.
Selang beberapa menit, Naruto mulai khawatir saat melihat Orochimaru tampak gelisah. Dokter kandungan itu mengangguk, mempersilahkan perawat merapatkan kembali kaki Hinata, ia berjalan ke arah Naruto. "Istrimu dipaksa melahirkan, ada tekanan dari luar yang membuat liangnya terluka parah."
Tinju Naruto mengepal kuat saat mendengar penjelasan Orochimaru. Entah penderitaan apa yang dilalui Hinata berjam-jam di dalam laboratorium laknat itu. Apa yang dilakukan oleh nenek dan sepupunya sampai Hinata terkulai tak berdaya dengan satu bayinya entah dimana dan satu bayinya lagi masih terjebak di dalam rahim.
"Kami sudah menjahit lukanya, tapi dia kehilangan banyak darah, saat pendarahan tadi. Kita membutuhkan donor darah." Tambah Orochimaru.
"Neji." Dia bersyukur mengajak kakak kandung Hinata itu, Naruto berlari berhamburan keluar dari ruangan itu.
...
"Neji!!!" Naruto langsung berteriak saat keluar dari ruangan, pandangan mata birunya mencari ke segala arah mencari sang kakak ipar.
"Ada apa Naruto?"
Naruto menoleh saat kakak iparnya menepuk bahu tegapnya. "Neji, Hinata kehilangan banyak darah, dia membutuhkan donor.."
Neji menghela nafas, tampak raut kekecewaan dari wajahnya. "Aku tak bisa Naruto."
Plak
Naruto yang sudah kalap menampar pipi Neji kasar, "kau bilang kau menyayanginya Hah!!! Kau mau melindunginya dari apapun, sekarang kau lihat, dia terbaring lemah dan membutuhkan darahmu!!!" Naruto menunjuk ruangan dimana Hinata ditangani.
Sakura dan Ino tak percaya dengan pemandangan di hadapannya, Naruto berani menampar Neji.
"Naruto dengar aku!!!!" Neji mencengkram kerah jaket Naruto. "Hinata berbeda dengan aku, Ayah dan Hanabi, gen Ibu mengalir deras pada tubuhnya, golongan darah Hinata O, sama seperti mendiang Kaa-sama, sedang golongan darah kami sekeluarga A."
Naruto kembali melesat ke dalam ruang pertolongan pertama. Ia menyodorkan lengannya di hadapan Orochimaru. "Ambil darahku sebanyak yang Hinata butuhkan."
Tubuh tegap itu berbaring di samping sang istri, transfusi darah tengah berlangsung, Naruto menoleh, mencuri pandang untuk menatap wajah pucat sang istri. Hinata begitu pucat dengan bibirnya yang membiru, ia tak tahu kesakitan macam apa yang di derita Hinata selama disandera oleh neneknya. Hime, dengarkan aku... Bukalah matamu... Aku akan membawa putera kita ke pelukanmu, menyelesaikan semua penghalang diantara kita, bukalah matamu, sayang....
...
"Namikaze-sama....." Suara itu berdengung di telinga Naruto, kesadarannya menipis, ia telah banyak mengeluarkan tenaganya hari ini, ditambah lagi beban pikiran yang ia terima, tak seharusnya ia mendonorkan darah untuk Hinata saat ini. Tapi Naruto tak ingin, ia tak ingin Hinata terlalu lama menunggu darah dari palang merah, disini ada dirinya, 'Bahkan duniaku pun rela ku bagi untukmu, Hime....'
"Orochimaru-sama, Namikaze-sama kehilangan kesadarannya!!!" Seorang perawat berteriak kencang.
"Hentikan transfusi darah!!" Suara Orochimaru bergema di telinganya, seketika safir biru itupun terbuka.
"Siapa yang mengizinkan kalian untuk berhenti."
"Naruto, kau bisa mati, kami akan meminta darah dari palang merah." Orochimaru panik.
"Ambil milikku, ambil sebanyak yang Hinata butuhkan!!! Kau dengar itu!!!" Naruto menarik kerah jas dokter Orochimaru, hingga ia hampir duduk.
"Baik... Baik..." Orochimaru mengibaskan telapak tangannya, menginstruksikan agar transfusi tetap berlangsung.
...
"Naruto!!!"
Semua orang yang menunggu di luar ruangan sontak menghampiri Naruto yang berjalan keluar ruangan. Ia bahkan menolak memakai kursi roda kendati tubuhnya sudah lemas.
"Sakura-chan..." Sakura orang pertama yang Naruto hampiri, pria itu mengukung gadis itu dengan ke dua tangannya yang bertengger di pegangan kursi roda.
"Na... Naruto... Apa yang kau lakukan...?" Tanya Sakura ketakutan saat Naruto tengah menatapnya seolah ingin mengulitinya.
"Doping aku dengan Cera!"
"Kau gila Naruto!"
Semua orang yang berdiri di sana tak mengerti dengan yang Naruto dan Sakura bicarakan.
"Kau ingin menebus kesalahanmu pada Hinata, 'kan...?"
Sakura terisak sambil menutup mulutnya, "kau bisa mati bila memakai doping itu dalam keadaan seperti ini..."
CERA adalah salah satu jenis doping dengan konsentrasi tinggi yang biasanya digunakan atlet untuk meningkatkan daya tubuh, mempercepat proses pemulihan sakit dan luka pada tubuhnya, sekaligus, merangsang produksi sel darah merah di sumsum tulang yang dapat memicu kemampuan energi otot. Doping ini sangat berbahaya karena jika berlebihan bisa menyebabkan sakit jantung, stroke, paru-paru hingga kematian.
"Aku mohon Sakura-chan..." Naruto berlutut di hadapan kursi roda Sakura, "aku ingin mengambil puteraku di rumah keluarga Uzumaki...."
"Hiks..." Sakura mengangguk sambil terisak. "Baka... Kenapa kau begitu bertanggung jawab..."
Naruto dan Sakura berada di balik tirai salah satu ruangan di unit gawat darurat, mereka menggunakan satu ranjang pasien kosong disana. Sakura tersenyum miris ketika Naruto membuka kaos putihnya, luka dan lebam berterbaran disana, ia mengambil suntikan dari tangan Naruto.
"Kau sering menyuntik dopping ini...?" Tanya Sakura seraya mengoleskan tengkuk Naruto dengan alkohol medis.
"Temanku bernama Jugo sering menyuntiknya sebelum aku bertarung, di hostel kemarin." Naruto yang memunggungi Sakura tersenyum miris.
"Hinata tidak tahu...???"
"Dia hanya perlu tahu aku mencintainya... Arrrggghhhh..." Naruto mengerang tertahan, jarum itu menusuk kulit tengkuknya.
...
"Aku titipkan Hinata dan puteriku pada kalian..." Naruto berbalik, menuju jalan keluar dari rumah sakit, membawa kembali puteranya yang direnggut paksa oleh sang nenek.
"Naruto."
Suara Kakashi mengurungkan langkahnya. Pria paruh baya itu menghampirinya dan menepuk punggungnya. "Ikut aku.."
...
Aku tahu Naruto, kau bisa menembus barikade penjagaan rumah Uzumaki, tapi kau tak akan mendapatkan apapun jika bukan Mito-sama sendiri yang menyerahkan puteramu, dia bisa menyembunyikan anakmu dimana saja. Naruto, ada satu rahasia yang harus kau ketahui. Kakekmu, Senju Hashirama berwasiat sebelum meninggal bahwa lima puluh persen sahamnya yang tertanam pada Uzumaki corp sebagai hasil dari merger, tidak berhak dimiliki Mito-sama dan ibumu, sebagai kompensasi atas pemberian marga Uzumaki pada nama ibumu, dan adiknya, Tapi saham itu akan diberikan kepada cucu lelakinya yang memiliki marga selain Uzumaki. Itulah alasannya kenapa selama ini dia mau merawatmu kendati dia sangat membenci ayahmu. Naruto kau punya hak atas saham terbesar di Uzumaki corp, satu alasan mengapa nenekmu ingin kau kembali padanya dan menginginkan anak lelaki mu, dia ingin memberi marga Uzumaki pada anakmu, setelah membiarkanmu memakai marga Namikaze agar saham itu tak di bekukan. Dan mengenai Hinata, Ibu Hinata adalah wanita yang menyebabkan adik dari Ibumu, Uzumaki Sasori bunuh diri karena dia lebih memilih menikahi Hiashi.
Naruto tersenyum tipis mengingat pesan Kakashi sebelum mereka sampai di tempat ini, ia berdiri di depan gerbang rumah keluarga Uzumaki, rumah neneknya yang selalu menjadi momoknya untuk ia datangi semasa kecil. Naruto dapat merasakan itu, merasa bahwa kehadirannya dan keluarganya tak pernah diterima di rumah ini. Dan hal buruk ketika kematian kedua orang tuanya dimana Mito menjadi satu-satunya wali sah di mata hukum untuk dirinya.
Sesuai prediksi Kakashi, Naruto berdiri di gerbang itu, melihat puluhan algojo berdiri disana.
"Kau fokus ke gerbang, aku dan yang lain akan mengecoh." Kakashi berbisik sambil menepuk bahunya. Ayah asuhnya itu tak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan tersulit.
Naruto memasang kuda-kudanya menantang para algojo itu.
...
Mito menimang lembut bayi pirang itu, sesekali ia tersenyum lembut saat sang cicit sedikit bergerak, atau mengecap. "Aku beruntung kau sama sekali tidak mirip jalang itu, ya walaupun kau tidak berambut merah, dan lebih banyak gen Namikaze, tapi itu bukan masalah, aku akan menyematkan Uzumaki pada namamu..." Mito mengadu hidung mungilnya pada hidung bayi kecil itu.
"Kau tahu...?" Mito kembali bermonolog pada bayi yang baru beberapa jam dilahirkan itu. "Ibumu... Wajah dan rambutnya mengingatkanku pada si jalang Hikari, nenekmu yang telah membuat putera ku bunuh diri..., Tapi kau tidak mirip dengannya, kau mirip dengan Naruto si pembangkang itu, tapi tak apa, dia akan kembali ke sini, hanya ada, aku, kau, dan ayahmu... Biarkan adik dan ibu jalangmu pergi ke neraka... Hahahahhahahaha..."
Tawa Mito terhenti saat Nagato masuk ke ruangannya tanpa permisi. "Ba-san Naruto bersama Kakashi dan orang-orangnya tengah menghajar anak buah kita."
...
Bruk
Naruto membanting, salah seorang algojo yang menghalangi jalannya. Satu lagi datang berusaha meninjunya, ia menangkap tangan algojo itu lalu memelintirnya.
Brak
Satu tendangan pada bokong algojo itu membuat jalan Naruto terbuka memasuki pagar besar rumah Uzumaki.
Dari balkon mengintip sambil menggendong bayi pirang itu. "Kau lihat... Ayahmu datang.." ia menoleh untuk berbicara pada Nagato. "Biarkan Naruto masuk, jangan ada yang menghalangi..."
"Tapi nek..." Karin ketakutan setengah mati, bagaimana tidak tangannya yang menekan kandungan Hinata sampai wanita itu pendarahan hebat, ia takut Naruto akan memutuskan tangannya.
"Biarkan Naruto masuk, rumah dan semua harta ini adalah miliknya... Hahahaha... Cucu dan cicitku sedang berkumpul."
...
"Kembalikan puteraku!" Naruto berdiri di hadapan sang nenek yang berdiri di tangga.
"Kau tidak mengucap salam pada nenekmu...."
Mata Naruto menyipit, menyampaikan banyak kebencian. "Aku bilang mana puteraku!!!" Ia berteriak lebih kencang.
"Tutup semua pintu dan gerbang, jangan biarkan siapapun masuk dan keluar!" Titah Mito langsung terjadi. "Kau boleh menemui putramu, tapi tidak membawanya, karena kau pun tidak boleh keluar dari rumah ini."
"Kalau begitu kau dan Uzumaki yang lain yang akan keluar dari rumah ini." Naruto menatap nyalang pada Karin dan Nagato yang berdiri di belakang Mito. "Kakashi ada di luar, kapanpun dia bisa mengajukan klaim atas hak waris ku terhadap saham kakek, dan itu termasuk rumah ini."
...
Naruto melenggang pergi tanpa adanya perlawanan, di dalam dekapannya bayi mungil yang merupakan cetak salinan dirinya tengah terlelap nyaman. "Kita akan bertemu Kaa-chan, nak..." Ucapnya lembut seraya mengecup pucuk kepala yang dihiasi ahoge itu sebelum masuk ke mobil Kakashi.
...
"Dimana Naruto?!" Orochimaru keluar dari ruangan gawat darurat sambil mencari Naruto.
"Aku disini!" Naruto datang dengan bayi lelaki di tangannya.
"Ikut aku, ini tentang istrimu."
Naruto menyerahkan bayi merah itu pada Sakura untuk di rawat di dalam inkubator sama seperti bayi perempuannya. Lalu ia berjalan mengikuti Orochimaru.
...
"Hinata koma."
Dua kata dari Orochimaru membuat tubuh Naruto seketija menyandar pada tembok, lalu merosot. Wajahnya pucat pasi menandakan ketakutan yang amat mendalam.
"Kita harus melakukan operasi pengangkatan rahim, organ intim dan rahim Hinata rusak parah akibat cairan kimia yang masuk dalam rahimnya. Beruntung plasentanya cukup tebal hingga bayi kalian dipastikan selamat. Tapi saat ketubannya pecah, cairan kimia itu masuk ke dalam rahimnya, kita harus mengangkat rahimnya sebelum organ vital lain di bagian perutnya terkena racun itu."
"Lakukan apapun.... Lakukan apapun kumohon...." Naruto mengiba menangkupkan tangannya di hadapan Orochimaru.
Orochimaru menarik nafas dalam. "Biayanya tidak sedikit Naruto "
"A... Akan ku bayar, berapapun akan ku bayar....."
"Seandainya aku bisa mengoperasi Hinata tanpa alat-alat dari rumah sakit ini, sudah ku pastikan kau tak akan membayar sepeserpun." Lirih Orochimaru kecewa.
...
"Naruto, bagaimana, Hinata...?" Sakura di dorong oleh Ino menghampiri Naruto setelah mereka memastikan bayi laki-laki Naruto juga mendapat perawatan intensif seperti bayi perempuannya.
"Apa keadaan Hinata baik-baik saja....?!" Neji langsung menghampiri Naruto, menarik kerah kaos putih ayah baru itu. "Katakan Naruto!!! Semua ini karena nenekmu, kau tidak menjaga Hinata dengan baik!!! Katakan apa yang terjadi pada adikku?!"
"Hinata koma."
"Apa yang terjadi pada Hinata?" Suara lain menginterupsi, Hiashi datang bersama Tenten di jemput oleh Sai.
Seluruh mata tertuju pada Sai, "hei... Memang aku yang memberi tahu Hiashi-sama, aku bertemu saat kita berpencar, dan ku ceritakan yang sebenarnya..." Ujar Sai tanpa dosa, saat ia mendapat tatapan intimidasi dari teman-temannya.
Ino menepuk jidatnya kesal, sementara Sakura membuang muka, Neji tengah menahan mengepalkan tinjunya, sedang Naruto, ia hanya mengusap kasar wajahnya. "Hinata harus operasi pengangkatan rahim." Suara Naruto terdengar lirih.
"Lakukan tunggu apalagi, Baka!" Neji kembali berteriak memaki Naruto.
Naruto menunduk lesu. "Uang tabunganku tidak cukup."
"Khe sejak kapan uang menjadi masalah Dobe."
"Sasuke-kun...." Sakura berteriak riang mendengar suara sang kekasih, Sasuke langsung terbang dari Asakusa saat mendengar berita dari Sakura.
"Aku memang tak punya banyak uang sekarang, tapi bayaranku dari Uchiha Corp ku rasa cukup."
"Kami memiliki tabungan...." Hiashi angkat bicara.
"Pakai semua tabungan keluarga Hyuuga, semua itu untuk Hinata," sambung Neji.
"Ambil tabunganku juga Naruto." Sakura tak mau kalah.
"Kau juga boleh memakai tabungan kami... Iya kan Sai-kun..." Tawar Ino walau setengah hati, ia pun kasihan dengan Hinata.
"Tolong libatkan kami, kami juga temannya Hinata." Suara Kiba terdengar, dia datang bersama dengan Tamaki dan Shino.
Air mata merembes dari safir biru Naruto, ia membungkuk sembilan puluh derajat. Mengucap terimakasih pada teman-teman yang tak pernah meninggalkannya.
...
"Jadi, jalang itu akan dioperasi?" Tanya Mito angkuh.
"Bayi perempuannya juga berhasil diselamatkan." Jawab Karin datar.
Brak
Mito menggebrak meja kerjanya, setelah Naruto memasuki rumahnya dengan congkak, lalu berani mengancam akan menarik saham warisan dari mendiang suaminya Senju Hashirama yang kini menjadi hak atas Naruto, agar mengembalikan bayi lelakinya. Kini Mito tak punya harapan lagi untuk memiliki harta saham Senju yang membeku di perusahaannya.
"Nagato, non aktifkan seluruh sistem pembayaran digital di Tokyo Hospital, pembayaran hanya akan dilakukan secara tunai. Kita lihat bank mana yang buka larut malam seperti ini untuk mencairkan uang sebanyak itu."
...
"Maaf tuan sistem banking kami sedang mengalami gangguan malam ini...." Seorang petugas administrasi untuk uang jaminan pertama anda bisa membayar secara tunai..."
Naruto memutar matanya kebingungan, jumlah uang muka operasi Hinata sangat besar, ia hanya sebagian dari tabungannya yang belum ia setor ke bank, pun juga dengan bantuan dari teman-temannya mereka semua mentransfer ke rekening Naruto.
"Tapi biayanya sangat besar, istriku harus segera di operasi....." Naruto membuka tas ranselnya dan menyerahkan sejumlah uang tunai yang ia miliki.
"Maaf tuan kau harus membayar separuhnya, dan jumlah ini tidak mencukupi..."
"Tambahkan dengan ini..." Kakashi berdiri di belakangnya dan menyodorkan sejumlah uang. "Itu limit tertinggi dari rekeningku yang bisa ditarik."
"Maaf tuan ini masih kurang."
"Pakai ini Naruto." Sasuke datang dan menyerahkan sejumlah uang. "Kami menarik limit terakhir dari rekening kami...."
Naruto memandangi satu persatu orang-orang di belakang Sasuke, Sakura, Neji, Tenten, Tamaki, Kiba, Shino, Hiashi, bahkan Ino dan Sai sepasang manusia paling pelit itu, mereka semua berkorban untuk Hinata.
...
"Total yang terkumpul empat juta Yen, masih kurang tiga juta Yen, untuk separuh uang muka."
"Aku mohon nona, izinkan para dokter itu memberi tindakan pada istriku, aku akan membawa sisanya...." Naruto mengiba seraya menangkupkan tangannya.
Petugas administrasi itu menoleh ke belakang, melirik pada salah satu temannya, tapi temannya menggeleng. Ia menghela nafasnya kasar, kasihan pada pria pirang di hadapannya ini. Ia heran biasanya bila terjadi kekurangan sedikit rumah sakit akan tetap memberikan keringanan pada pasien, kenapa masalah ini hanya terjadi pada kasus Naruto, dan tiba-tiba malam ini jaringan banking rumah sakit dimatikan. "Saya akan mengantar anda pada kepala bagian administrasi rumah sakit ini."
...
"Salah satu syarat agar Uzumaki corp menjadi donatur rumah sakit ini adalah dengan menggunakan bank milik keluargamu sebagai satu-satunya rekening pembayaran." Ketua bagian administrasi rumah sakit itu menghela nafas berat dan memberi penjelasan pada Naruto yang duduk di hadapannya di ruangan kerjanya.
"Dia mematikan jaringan banking rekening rumah sakit ini." Tebak Naruto, ia sudah mengira neneknya dalang dari semua ini
Orang ber- name tag Sabaku Raasa itu mengangguk.
"Uangku hanya kurang tiga juta Yen, kenapa istriku tak bisa mendapat tindakan???!!!"
"Naruto dengar, nenek mu mengancam mematikan serentak semua aliran listrik rumah sakit ini bila kami melakukan tindakan pada istrimu. Dalam dunia medis satu nyawa berkorban untuk banyak nyawa adalah wajar."
"Wajar, kau bilang wajar???" Naruto berdiri dari kursinya, "dengar baik-baik." Ia menunjuk wajah pria bersurai cokelat muda itu. "Saat aku menjadi pemimpin tertinggi Uzumaki corp, kau orang yang pertama aku tendangan ke jalanan."
...
"Naruto, bagaimana?" Hiashi orang yang lebih dahulu menyambut Naruto saat keluar dari ruangan tersebut.
Naruto menghela nafas berat, ia tak berbicara apapun dan hanya berjalan terus menuju unit gawat darurat.
"Naruto, apa kami bisa mengoperasi istrimu..." Orochimaru langsung menyambut Naruto.
"Berapa lama....?" Tanyanya dingin dengan tatapan tertuju ke arah pada sang istri yang terbaring dengan bantuan alat pernafasan.
"Sampai tengah malam, aku sudah memberi suntikan untuk memperlambat racun itu menyebar, jika sampai tengah malam..."
"Ssssttt..." Naruto mengangkat tangannya, meminta Orochimaru tutup mulut. Ia keluar dari unit gawat darurat. "Neji aku titip Hinata padamu, sebelum tengah malam, uang itu sudah sampai disini, kau berikan semuanya pada rumah sakit laknat ini." Naruto menyerahkan tas ranselnya.
Ia berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, sekarang baru pukul delapan malam, masih ada satu jam untuknya sampai di arena pertarungan. 'Hime... Bahkan nyawa pun akan aku pertaruhkan untuk dirimu.'
...
"Kenapa Hinata belum juga mendapat tindakan?" Hiashi menatap ruangan gawat darurat itu dengan hati miris.
Orochimaru keluar dari ruangan itu, dan disambut oleh cengkeraman Neji pada kerah jas dokternya. "Kau keluar masuk terus dari tadi, hah! Lakukan sesuatu untuk adikku!!!"
"Kami dilarang melakukan tindakan apapun yang menggunakan peralatan rumah sakit, sebelum Naruto membayar uang muka rumah sakit." Jawab Orochimaru kecewa.
Tangan Neji merosot dari jas dokter itu, ia menjambak surai cokelat panjangnya dengan kasar. "Jika tahu begini aku akan membiarkan Hinata untuk tidak menikahi siapapun!!!!" Ia berteriak frustasi.
"Orochimaru-san kita pindahkan Hinata ke Haruno Hospital." Sakura berujar percaya diri.
Namun Orochimaru menggeleng. "Rahim Hinata harus diangkat, dan untuk operasi itu, hanya Tokyo Hospital yang memiliki peralatannya di kota Tokyo."
"Dimana si brengsek itu sekarang?!" Neji murka.
"Berhenti menghina anakku seperti itu Neji!" Kakashi berteriak jauh lebih murka. "Dia sedang bertarung nyawanya untuk mendapatkan uang biaya operasi...." Tanpa sadar air mata Kakashi jatuh. "Aku akan kehilangan anakku lagi...." Kenangnya sendu.
...
"Kau ingin dapat Fee tiga juta Yen, khe?" Sang bandar tarung itu terkekeh remeh.
"Apa kau mengira aku main-main?" Jawab Naruto tanpa keraguan.
"Jikapun kau menang kau akan mati setelah mengalahkannya, kau harus mengalahkan juara bertahan untuk mendapatkan fee sebesar itu."
"Naruto, pilih pertarungan kelas menengah saja, seperti biasanya..." Jugo menarik pundak Naruto, mencoba mengurungkan niatnya.
"Aku tidak peduli nyawaku, aku hanya butuh tiga juta Yen."
"Baiklah..." Bandar itu meraih ponselnya dan menghubingi seseorang. "Turunkan A ada yang menantangnya malam ini."
...
Hiruk pikuk teriakan menggema ketika ia memasuki ring pertarungan, Naruto membuka kaos putihnya dan menampakkan susunan otot tannya yang mengkilap dibasahi oleh keringat. Ia melengkungkan kedua tangannya ke atas memamerkan otot-ototnya sebagai bukti atas kegagahannya.
"A!!! A!!!! A!!!"
"Naru!!!! Naru!!!
Para penonton meneriakan namanya dan sang lawan, membuat Naruto memandang ke segala arah. "Sehebat apa A, itu?" Gumamnya pelan seraya mengeluarkan kain putih panjang dari saku celana jeans-nya lalu melilitkan di telapak tangannya.
Efek doping Cera itu masih bekerja hebat dalam tubuhnya, ia hanya menggunakan sedikit tenaganya saat di rumah keluarga Uzumaki.
Kerak
Suara lehernya ketika digerakkan menandakan betapa ia siap untuk bertempur.
Sesosok tubuh besar dengan kulit cokelat gelap mengkilat, naik ke atas ring, Naruto menyipitkan pandangannya, meneliti orang yang berdiri di hadapannya, dan mulai menyimpulkan. Inilah lawan ku.
Mengabaikan sendi tangan kanannya yang masih bergeser, Naruto melakukan pemanasa.
Krakkk
Gemeretak tulang tangannya kuat bersamaan dengan kedua tangannya yang ia angkat.
A hanya tersenyum arogan melihat Naruto yang melakukan pemanasan, baginya Naruto hanyalah anak kemarin sore, sedang ia adalah juara bertahan di area ini. Ia sedikit berjongkok, memajukan satu tangannya lalu menggerakkan empat jarinya memberi isyarat Naruto untuk mendekat. "Majulah anak muda."
...
Naruto maju, melayangkan tinjunya, namun ditangkis oleh A, lalu A membalas, berniat menghantam dadanya, namun dengan gesit Naruto menunduk, melesat ke belakang A. Tak tinggal diam pria berotot tinggi tu mengangkat kakinya untuk menerajang Naruto.
Bruk
Naruto jatuh tersungkur, sudut bibirnya dinodai bercak merah darah, ia bangkit, mengusap kasar darah di bibirnya dengan menggunakan kain yang membalut telapak tangannya. Berlari berusaha menerjang A, namun.....
"Aggghhhhh!!!" Ia kalah tinggi, A menangkap kakinya lalu membantingnya ke ring tanpa ampun.
Tak berputus asa, Naruto kembali bangkit, memasang kuda-kuda, lalu berlari, ke belakang, memanjat punggung A lalu...
"Aaggggh..." Naruto berhasil duduk dipundak A, lalu memukul kepala A kuat.
A mengamuk, ia membanting tubuh Naruto, Naruto pun bangkit, A berlari lebih kencang dan.
Duakkkk
Naruto kalah cepat, A menerjang bahu kanannya.
Krakkkk
Tepat pada tempat dimana sendinya bergeser. Ia mengigit bibir bawahnya menahan sakit, kembali memasang kuda-kuda, menggunakan ilmu taekwondonya, Naruto menendang dada A, A jatuh terlentang, Naruto mengambil kesempatan, ia menduduki tubuh A, dan memukul wajahnya bertubi-tubi.
"Naru Naru Naru!!!" Teriakan dukungan terhadap dirinya bergema, dalam lima kali hitungan mundur tiga juta Yen berada di tangannya.
Namun mendengar teriakan para penonton, telinga A serasa panas, ia dikalahkan anak baru,
"Aaaaaggghhh.." A bangkit, mengangkat tubuh Naruto sebelum pria itu siap, dan...
Brukkkk, Krakkk,"agghhhh!!!" Naruto berteriak saat gemeretak tulang punggungnya berbunyi. A membantingnya kembali di ring. Ia berbalik, berusaha bangkit dengan dari posisi terlungkup, menahan beban tubuhnya dengan satu tangan yang dipastikan patah.
A tersenyum penuh kemenangan, ia mendekat ke arah Naruto yang kesulitan bangkit, lalu.
Brak Krak, suara hantaman disertai gemeretak tulang itu bergema, A menginjak punggung Naruto. A tertawa hebat, kaki besarnya masih menekan punggung Naruto.
Tangan Naruto memukul-mukul lantai ring, darah bercucuran dari mulut dan hidung nya lengkap dengan luka di pelipis dan kelopak mata cokelatnya. Ia berusaha bangkit, namun A terus menguatkan injakannnya. Pandangannya tiba-tiba meredup. "Hime... Aishiteru...."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top