47. Celah Hati

Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Tepat saat ia membuka mata, aroma semerbak mengugah selera memenuhi indera penciumannya. Naruto duduk dari sofa yang hampir tiga bulan ini ia jadikan tempat tidur, menoleh ke arah dapur, dan mendapati istrinya tengah memasak. Ia tersenyum tipis, perutnya berteriak saat aroma masakan itu menembus ke hidungnya. Ia belum makan sejak siang, setelah dipecat dari perusahaan Uchiha ia menerima banyak tawaran menjadi stuntman di rumah produksi lain, lalu panggilannya menjadi badut juga sedang ramai-ramainya, belum lagi pekerjaan baru yang menguras hampir seluruh tenaganya, menjadi petarung liar.

Namun ia menunduk, menahan kecewa, ia tahu Hinata hanya memasak untuk dirinya sendiri.

"Mandilah, aku sudah siapkan air hangat, setelah itu sarapan."

Naruto mendongak tidak percaya, menoleh ke arah Hinata, dan menatapnya dalam. Apa ia sedang berhalusinasi saat ini.

"Kenapa menatapku seperti itu.... Cepat mandi, airnya bisa dingin, lalu sarapan."

Kendati masih fokus pada kegiatannya membentuk adonan gyoza, Naruto tahu itu adalah suara Hinata dan bukan halusinasinya. Hinata memasak air hangat untuknya dan memasak sarapan untuknya.

Senyum mengembang dari bibir merah kecokelatannya, rasa sakit akibat tubuhnya yang remuk redam sirnah seketika, senyum tipis Hinata yang ditujukan untuknya, suara lembut Hinata yang dipedengarkan untuknya, dan yang lebih penting, perhatian yang dihadiahkan untuknya menghapus semua perihnya. Perjuangannya tak sia-sia Hinata bersamanya.

...

"Makanlah..."

Naruto menggaruk tengkuknya kikuk ketika keluar dari kamar, Hinata masih setia duduk di depan meja makan, menunggunya. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Hinata. Tak sampai disitu, keterkejutan Naruto semakin bertambah, Hinata menyendokkan nasi dan meletakkan lauk di piring lalu menyodorkan padanya.

Ia mencuri pandang, namun dengan cepat Hinata menunduk. "Hari ini tak perlu mengantarku ke kampus, aku sudah cuti.." ucap Hinata seraya tetap menunduk sembari mengambil se sendok nasi untuk dirinya. "Aku juga menambah jadwal senam hamil, tiga hari dalam sepekan, dan dimulai hari ini."

Kelopak mata cokelat Naruto berkedip berkali-kali, ini adalah kalimat terpanjang yang Hinata ucapkan tepat di hadapannya setelah mereka menikah.

"Kau tak perlu khawatir, hari ini aku bisa pergi sendiri naik taxi." Jawab Hinata yang mengira Naruto enggan direpotkan olehnya.

"Maaf..." Satu kata lolos dari bibir Naruto. "Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini." Ia tidak bohong, hari ini ada take video adegan jatuh dari kuda yang harus ia kerjakan, lalu menjadi badut di acara peresmian minimarket baru. Namun beruntung malam ini tak ada jadwal tarung liar untuknya. "Tapi kupastikan aku akan menjemputmu nanti, setelah itu kita pergi membeli perlengkapan bayi..." Naruto menjeda kalimatnya, ia merasa terlalu banyak bicara dan takut Hinata akan bosan. "Jika kau mau..." Ia juga tak ingin memaksa Hinata menghabiskan waktu bersamanya.

"Terserah."

Naruto tak dapat menutupi perasaan bahagianya yang berbunga-bunga walau hanya jawaban singkat yang keluar dari bibir tipis Hinata.

...

"Baiklah, kepada para suami dengarkan instruksi baik-baik... Duduk belakang istri kalian, dan biarkan para istri bersandar pada dada kalian, lalu perut perut istri kalian, dan rasakan pergerakan buah hati kalian mencari jalan lahir..."

Iris bulan Hinata mengedar pada seisi ruang senam itu, semua yang berada di dalam ruangan itu memiliki pasangan, kecuali dirinya dan sang instruktur. Ia tersenyum miris meratapi kesendiriannya, salahkan egonya sendiri yang enggan meminta Naruto menemaninya.

"Sekarang, para calon ibu, lebarkan bahu kalian dan tarik nafas serta hembuskan perlahan, para suami tetap menyangga bahu istri kalian, ya..."

Hinata menegakkan posisi duduk bersilanya, dan mengikuti instruksi sang instruktur. 'Tak apa, bukankah aku sudah terbiasa sendiri....'

...

Naruto menatap heran dari kaca besar itu, ia mendapati banyak pria di ruang senam hamil tersebut, batinnya bertanya semua ibu hamil di ruangan itu di temani oleh suaminya lalu mengapa Hinata sendirian. "Mengapa Hinata tak bicara padaku, bila calon ayah juga harus mengikuti kelas ini."

Satu persatu ibu hamil keluar dari ruangan bersama suami mereka, Naruto tetap menunggu di depan pintu sampai Hinata keluar paling terakhir bersama sang instruktur.

"Kau Namikaze-sama?" Sang instruktur menunjuk wajah Naruto saat ia mendapati seorang pria mengambil tas besar dari bahu Hinata.

"Ya aku suaminya." Ujar Naruto seraya mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.

"Kau selalu sibuk ya, sampai tak pernah punya waktu untuk menghadiri kelas?" Tanya instruktur itu prihatin. Sementara Hinata menunduk akhirnya Naruto tahu dan itu bukan dari mulutnya.

"Beberapa pekan ini ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, tapi besok ku pastikan kehadiranku." Ucap Naruto pasti sembari melirik Hinata.

...

"Kau tidak pernah bicara padaku tentang kelas itu?" Naruto memulai pembicaraan mereka di dalam mobil seraya mengganti gigi mobilnya.

"Aku pikir hal itu tak penting untukmu." Jawab Hinata datar. Ia kembali membuang muka ke arah jalan.

Lampu merah tepat di hadapan mereka, Naruto dengan hati-hati menginjak rem, ia takut perut Hinata yang sudah sangat besar itu membentur dashboard seperti saat itu. "Dengar..." Naruto menarik tangan Hinata dan meletakkan pada dadanya. "Mulai sekarang, belajarlah untuk memberitahu semua yang kau rasakan... Kita akan menjadi team yang hebat, bukan?"

Hinata menoleh, dari dada Naruto, pria itu memindahkan tangan mereka ke perut besar Hinata.

"Untuk mereka...." Sambung Naruto seraya menempelkan tangannya dan tangan Hinata di atas tempat dimana buah hati mereka bergelung nyaman.

"Terserah kau saja..." Jawab Hinata seraya menunduk.

Naruto tersenyum lebar, ia bisa melihat Hinata yang tersenyum tipis walau menunduk.

"Terimakasih, Hime..."

Hinata tak lagi menolak ketika sang suami memanggilnya Hime, perlahan tapi pasti usaha Naruto mulai membuahkan hasil.

...

"Kau menyukainya...."

Hinata melepaskan pegangannya pada baby boucher khusus bayi kembar yang terpajang apik di etalase. "Kita sudah membeli banyak pakaian dan perlengkapan bayi..." Jawab Hinata lirih.

"Ambil yang kau suka... Tak pernah ada kata tidak untukmu...." Naruto mengelus lembut pucuk kepala Hinata.

...

"Kita makan malam dulu, ya..." Mobil itu terparkir di area parkir deretan restoran yang berjejer di distrik Shibuya.

Ketika Naruto membukakan pintu mobil untuknya, Hinata setengah terperanjat, ia menoleh ke arah Naruto, meminta keyakinan pada suaminya apa benar mereka akan makan di restoran itu. Ingatan Hinata kembali ke masa lalu, saat pertama kali mereka kencan, Naruto membawanya berkeliling pusat fashion di distrik Shibuya, membelikannya semua pakaian mahal, make-up, dan skin care.

Hari ini juga, Naruto mengajaknya berkeliling distrik Shibuya, membelikannya semua perlengkapan bayi, bahkan beberapa peralatan yang sebenarnya tak terlalu dibutuhkan, dan seperti kencan pertama mereka dulu, Naruto mengakhirinya dengan makan malam di Ichiran Ramen, tempat dimana kencan pertama dan terakhir mereka yang benar-benar tulus, karena di tempat inilah terjadi petaka besar dimana Neji membabi buta memukuli Naruto dan berakhir dengan kelumpuhan Sakura.

"Kau yakin kita akan makan disini...?" Hinata mendongak, menatap Naruto yang menjulang tinggi di sisinya.

"Bukankah ini tempat kencan pertama kita...?" Naruto merangkul bahu Hinata, ia menunduk dan tersenyum lembut, ia mengeluarkan banyak uang untuk membahagiakan Hinata dan bayi mereka hari ini dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari belas kasihan Uzumaki Mito, dan hal itu membuatnya merasa bahagia.

"Tapi di tempat ini..." Hinata menunduk seraya berujar lirih.

"Di tempat ini aku berniat menyatakan cinta padamu, tapi di tempat ini pula awal penderitaanmu karena ku dimulai. Maka dari tempat ini pula kita akhiri semua rasa sakit kita, memulai lembaran baru... Hanya ada kau dan aku...., Dan tentu saja Neji tak akan menggrebek kita, karena kau sah miliku sekarang."

...

Hinata membuka kunci appartement mereka, membiarkan Naruto lebih dahulu masik, karena suaminya itu membawa semua barang belanjaan mereka, setelah menutup pintu utama, Hinata membukakan pintu gudang yang akan Naruto rombak menjadi kamar bayi mereka. Meletakkan barang-barang belanjaan itu, lalu mengikuti Hinata keluar.

"Aku permisi mengambil pakaianku..." Naruto meminta izin masuk ke dalam kamarnya sendiri mengikuti Hinata yang berjalan di depannya.

Hinata masuk ke dalam kamar mandi di kamar mereka, lalu keluar dan mendapati Naruto sedang mengambil beberapa helaian pakaiannya.

"Mandilah disini, aku sedang mempersiapkan air hangat...."

Naruto menampar pipinya pelan ketika Hinata keluar dari kamar, Hinata mengizinkannya mandi di kamar mandi di kamar. Terasa sakit, dan itu artinya dia sedang tidak bermimpi.

...

Hinata baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Naruto telah lama selesai lebih dahulu, suaminya itu sedang duduk di balkon sambil merokok. Biasanya itulah yang Hinata lihat selama ini.

Ia mengambil posisi duduk di ranjang, melihat ke arah nakasnya. Biasanya sudah tersedia susu hamilnya disana, Naruto selalu mengantarkannya tiap malam.

Pucuk dicinta ulampun tiba, kenop pintu diputar dan sang suami hadir dengan segelas susu hamil di tangannya. Naruto selalu melakukan itu setiap malam, tapi dia mengabaikannya, hingga beberapa hari belakangan ini saat Naruto selalu pulang dini hari, membuatnya merindukan hal itu.

"Jangan lupa minum susu hamilnya, dan tidur yang nyenyak..." Akhirnya Hinata kembali mendengar ucapan itu, ucapan yang selama ini abaikan.

Naruto berjalan menuju pintu kamar, namun....

"Mulai malam ini tidurlah disini...."

Naruto menghentikan langkahnya, ia menoleh dan kembali memastikan.

"Bisa kau ulangi, Hime..."

Hinata menunduk malu mendengar permintaan suaminya.

"Mulai malam ini, tidurlah disini..." Cicitnya pelan.

...

Hinata sedikit merasa canggung ketika harus kembali melakukan kontak fisik dengan Naruto, bukankah dia sendiri yang membuat perjanjian itu. Tapi lihatlah hari ini, sesuai janjinya kemarin, Naruto benar-benar ikut masuk bersama Hinata ke dalam kelas senam hamil, dan mengikuti dengan patuh semua instruksi yang diarahkan oleh instruktur.

Naruto duduk di belakang Hinata yang telah bersiap duduk dengan posisi bersila, memberikan sandaran dada bidangnya pada Hinata sesuai  arahan sang instruktur.

"Bersandar pada calon ayah.... Lalu perlahan buka ke dua kaki..., Lalu tarik nafas dalam dan hembuskan.... Para calon ayah memberikan elusan lembut pada bayi, lalu melakukan pijatan pada bahu sang ibu..."

Dengan sangat lembut dan hati-hati Naruto melakukan setiap instruksi, diam-diam di sela kegiatan Hinata mengatur pernafasannya, Naruto mencuri pandangan, menatap wajah tenang Hinata. 'Hime... Apa aku bisa menjadi ayah yang baik....?'

...

"Apa kau mau pergi lagi?"

Naruto menoleh ketika membuka pintu apartement, mereka baru pulang dari kelas senam hamil. "Aku ada beberapa pekerjaan." Jawabnya lembut sambil mempersilahkan Hinata masuk lebih dahulu.

"Nanti sore teman kakakku, Shikamaru, mengundang ke pesta ulang tahun pertama anaknya, jika tak keberatan apa kau mau menemaniku ke sana..." Cicit Hinata pelan seraya menunduk.

Naruto tersenyum bahagia, untuk pertama kalinya setelah menikah Hinata meminta sesuatu padanya. "Maaf Hime, aku akan mengantarmu ke rumah Ayah, kau pergi bersama Neji dulu...." Akulah yang akan menjadi badut di pesta itu.... Bagaimana aku akan datang ke sana sebagai tamu...'

Hinata mengangguk mengerti walau sedikit kecewa, kendati rasa curiga menghampiri hatinya, takut bahwa Naruto akan menemui Sakura, namun ia tepis perasaan itu.

...

"Kau merasa bosan dengan pestanya, ya?" Tenten menepuk pundak Hinata yang duduk di kursi tamu. Pesta ulang tahun pertama anak Shikamaru bertema pesta taman, tenda putih dibentangkan di atas taman berlapis rumput hijau.

Hinata tersenyum kecut, tadinya ia ingin mengajak Naruto ke acara ini untuk memperbaiki hubungan mereka, namun penolakan Naruto membuat mood nya seketika memburuk. Hingga pandangannya tertuju pada seorang badut yang memasuki arena pesta. Badut itu masuk diikuti oleh anak-anak kecil karena si badut membagi-bagikan permen.

Entah apa yang Hinata rasanya hatinya berdetak ketika melihat badut itu. 'Mengapa dia mau bekerja menjadi badut, pasti ada keluarga yang harus ia hidupi, apakah pendapatannya cukup dengan menjadi badut.' Hinata menghapus air matanya yang tiba-tiba meleleh. "Hormon kehamilan membuatku menjadi sangat sensitif..." Umpatnya seraya mengerjapkan kelopak matanya untuk mengurangi kemerahan di sekitarnya.

Biru mata sang badut terus memandang pada wanita hamil yang duduk di bangku tamu, ia membuka atraksinya dengan menghampiri wanita itu.

Naruto memulai sulapnya, ia mendatangi Hinata. Hingga wanita hamil itu terkejut, lalu si badut menunjukkan telapak tangannya menandakan bahwa tak ada apa-apa disana. Ia menggumpal-gumpalkan tangannya lalu menangkup kedua tangannya dan ketika membuka kedua tangannya, muncul setangkai bunga mawar merah. Si badut berlutut di hadapan Hinata dan memberikan bunga mawar merah itu.

Hinata tak bergeming, ia hanya menatap dalam pada mata si badut, iris biru yang begitu meneduhkan sama persis dengan milik suaminya. Ia tersenyum, lalu menerima bunga mawar itu.

...

Hinata tak hentinya tergelak saat melihat atraksi si badut di panggung, ia tertawa hingga setitik air mata menetes di sudut matanya. "Nee-sama aku harus berfoto dengan badut itu diakhir acara...." Pinta Hinata seraya menghapus air mata karena tawanya.

Pesta ulang tahun Shikadai telah usai, Hinata dituntun Tenten berjalan menuju panggung menghampiri si badut yang memberi hormat penutup pada para tamu. "Permisi Badut-san... Adik ipar ku sedang hamil, dia mengidam ingin perutnya di elus olehmu...."

Si badut menatap sendu pada Hinata, tanpa ragu ia mengangguk tanpa menunggu. Tangannya terulur dan menyentuh perut bulat itu.

Dug

Dahi Hinata berkerut, bayinya menendang sangat kencang saat si badut menyentuh perutnya. Hal ini hanya akan terjadi bila Naruto yang menyentuh perutnya.

Sementara si badut hanya bisa tersenyum tipis saat sentuhannya disambut oleh tendangan sang bayi. 'Kalian tahu ini Tou-chan nak...?' gumamnya dalam hati.

"Boleh aku berfoto dengan anda Badut-san..." Pinta Hinata dengan lirih membuat Naruto sulit menolak, kendati ia harus segera ke arena tarung liarnya.

Naruto mengangkat telapak tangannya, memanggil juru foto dari EO tempatnya bernaung, ketika Tenten ingin mengabadikan moment mereka.

Tenten yang mengerti menunggu untuk mengambil foto, ia mengira foto itu hanya untuk dokumentasi EO, Tenten tidak mengetahui bahwa si badut ingin menyimpan untuk koleksi pribadinya.

Naruto memasang pose membusungkan perut palsunya hingga menyentuh perut hamil Hinata, lalu Tenten dan sang juru foto mengabadikan hal itu dalam kamera mereka masing-masing.

"Badut-san, boleh aku memelukmu...." Hinata meminta sambil mencicit seperti anak kecil, sontak sang badut yang adalah suaminya sendiri merentangkan tangannya, memeluk Hinata.

'Hime...Jika hanya dalam balutan pakaian ini aku bisa terus memelukmu seperti ini, maka aku rela bila harus memakainya setiap hari....'

"Ehem..." Suara batuk disengaja Neji membuat Hinata melepaskan pelukannya. "Maaf badut, adikku ini sudah memiliki suami, dan suaminya bisa membunuhmu bila dia tahu kau memeluknya. Ayo Hinata.... Naruto akan menjemputmu di rumah."

Naruto tersenyum kecut membiarka Neji menggiring Hinata pergi. "Kau tidak tahu, badut ini lah suami adikmu Neji."

...

"Bagaimana pestanya...?" Naruto meletakkan susu hamil di atas meja nakas, lalu menyusul duduk di ranjang, tepat di sisi Hinata.

"Seperti pesta kebanyakan." Ucap Hinata dengan fokus pada ponselnya.

Naruto yang merasa penasaran mendekat pada Hinata, agar dapat melihat layar ponselnya. Ia terkekeh geli. "Kau berfoto dengan badut?"

"Memang apa yang salah..." Hinata kesal lalu menggembungkan pipinya dengan bibir yang mengerucut.

"Tidak ada yang salah..." Naruto mengusak pucuk kepala Hinata. "Tidurlah sudah malam..."

"Kau tidur saja lebih dahulu... Aku belum mengantuk..."

"Ibu hamil tak boleh tidur terlalu malam..."

Hinata menghela nafas kasar, lalu berbaring disusul oleh Naruto. "Cerewet."

Naruto terkekeh pelan, lalu berbaring menghadap Hinata. "Terimakasih...." Naruto menggapai tangan Hinata lalu menempelkan pada rahang tegasnya.

"Untuk apa?"

"Karena telah mengizinkanku tidur disini..."

Dahi Hinata berkerut, ia merasakan uap panas pada telapak tangannya yang menempel pada pipi Naruto. "Kau demam?"

"Tidurlah tak usah kau pikirkan...." Jawabnya seraya memejamkan mata.

...

"Kaa-chan.. eeengghhhh....."

Hinata terjaga ketika suara lenguhan seseorang mengusik tidurnya, membuka matanya, hal pertama yang menyambut pandangannya adalah cucuran keringat yang membasahi sekujur tubuh Naruto. Jepang memang sedang berada dalam musim semi, tapi dengan pendingin udara yang dipasang di kamar mereka rasanya akan sangat mustahil bila keringat sebesar biji jagung itu membasahi wajah dan sekujur tubuh suaminya.

Telapak tangannya ia tempelkan pada dahi sang suami, dan alangkah terkejutnya ia saat telapak tangannya merasakan uap yang lebih panas dari sebelumnya. "Dia demam tinggi."

...

Hinata membawa baskom kecil berisi air dan kain kompres dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain menopang pinggangnya yang mulai terasa sakit karena harus menahan dua bayi sekaligus. Ia duduk di sisi Naruto yang terus mengigau memanggil sang ibu. Meletakkan baskom kompres itu di nakas, lalu dengan susah payah ia mendudukkan sang suami yang demam tinggi, menarik kaos putih Naruto yang sudah basah akibat keringatnya, lalu ia memakaikan kaos putih yang baru.

Hinata kembali membaringkan Naruto, dan mulai mengompresnya. Iris bulannya memandang tiap jengkal tubuh sang suami, luka lebam dan memar memenuhi tubuh tegap itu. Hinata meraih salep antibiotik dari laci nakas dan mulai mengoleskannya pada tiap jengkal tubuh sang suami yang terluka.

"Pekerjaan seperti apa yang kau lakukan untuk kami....?"

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top