46. Hati Yang Tertutup
Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Malam itu tak seperti biasanya, Hinata merasakan kerongkongannya benar-benar kering, ia sudah menghabiskan satu liter air malam itu. Terjaga dari tidurnya, susah payah dengan perutnya yang sudah membesar ia akhirnya berhasil duduk. Tangannya terulur meraih botol air mineral di atas nakas, akhirnya ia menyadari bahwa botol air yang ia bawa ke kamar sudah kosong.
Mau tidak mau Hinata harus bangkit, ia berjalan tertatih sambil membawa botol air kosong berwarna lylac itu. Harusnya ia berjalan begitu saja menuju pintu dapur. Namun entah kenapa kakinya seolah berhenti, tepat di belakang sofa yang selama dua pekan ini menjadi tempat tidur Naruto. Hatinya tergelitik entah perasaan macam apa Hinata begitu penasaran ingin melihat Naruto tidur.
Hinata terperanjat, kendati di bawah temaramnya lampu, ia dapat melihat memar di dahi Naruto, pun sama halnya dengan lengan berotot yang juga dihiasi memar biru. Hampir satu pekan ini Naruto keluar dari rumah dengan dalih pekerjaan sampingan, dan hampir satu pekan ini juga Hinata bisa melihat bekas-bekas luka di wajah ataupun tangan Naruto.
Peduli? Jangan harap karena membuka mulut saja Hinata hanya bicara seperlunya pada Naruto. Tapi melihat luka-luka yang tak sengaja ia lihat, membuat batin Hinata bertanya. Jangankan pekerjaan sampingan, bahkan pekerjaan utama Naruto saja dia tidak mengetahuinya.
Yang ia tahu Naruto bekerja dari setiap hari, di hari Senin sampai Jum'at ia berangkat teramat sangat pagi, lalu menyempatkan diri kembali ke apartement pukul tujuh tiga puluh untuk mengantar dirinya ke kampus pun juga ketika pukul lima tiga puluh sore mobil sederhana Naruto sudah terparkir disana.
'Sebenarnya pekerjaan macam apa yang kau kerjakan, kemana mobil mewahmu, dan mengapa tak pernah ada lagi petugas kebersihan datang ke sini...'
Terlalu banyak tanya yang ingin ia sampaikan pada Naruto, namun ego dan rasa dendamnya pada sang suami, membuatnya hanya mampu memendam rasa penasarannya.
Tanpa ia sadar tangannya bergerak, mengelus rahang tegas itu, ada goresan luka terbuka disana. Sebuah rasa nyeri menghantam batinnya, 'Aku sudah berusaha... Tapi melihatmu terluka seperti ini, kenapa hati ini masih terlalu sakit....'
Hinata berjalan menjauh dari sofa meraih kotak P3K di rak televisi, lalu mengambil kapas dan obat merah, sedikit menunduk, Hinata menuangkan obat merah di kapas tersebut. Susah payah ia berlutut di hadapan sang suami, lalu tangannya mendekat ke arah pelipis Naruto, berniat mengurangi rasa sakit disana dengan mengoleskan obat. Namun sekelebat ingatan masa lalu menyapa otaknya.
"Bertanggung jawab, bukan berarti harus menikahimu..., Aku mengenal salah satu dokter kandungan yang bisa melenyapkannya."
"AKU MOHON NARUTO-KUN, AKU TAK AKAN MENYUSAHKAN MU, LAGI, KU MOHON JANGAN BUNUH ANAKKU!!!"
"Kau membodohiku, hm? Jika kau tak mau dengan cara medis, maka aku sendiri yang akan menariknya...."
Kepala indigonya menggeleng kuat, air mata berderai dari mutiara lavendernya. Kata-kata Naruto yang menolak bahkan berniat melenyapkan kedua buah hatinya terus berputar-putar di kepalanya. Kapas itu terlepas dari tangannya yang bergetar, Hinata terisak pelan, ia urungkan niatnya untuk mengobati sang suami. Tanggannya betumpu pada pegangan sofa, membantunya berdiri dari posisi berlutut di hadapan sang suami.
"Kau pikir semudah itu aku akan menerimamu dalam hidupku kembali..." Hinata berbicara di hadapan Naruto yang ia kira terlelap, pada kenyataannya sejak Hinata menyentuh rahang tegasnya, ia sudah sepenuhnya sadar dan menikmati tiap sentuhan jemari lentik sang istri di tiap jengkal wajahnya.
"Kemana kau saat kami benar-benar membutuhkanmu? Dimana kau saat kami terlunta di jalanan....?" Hinata meringis sambil memeluk perut besarnya rasanya begitu menyesakkan mengingat perjuangan mempertahankan dua buah hatinya. "dan sekarang, kau ingin kembali masuk ke dalam kehidupanku.... Dengan susah payah aku membangun benteng pertahananku, berhenti mengharapkanmu dan melupakanmu, kau pikir semua itu mudah?"
Dahi Naruto berkerut, ia masih mempertahankan posisinya yang seolah terlelap nyenyak. Hinata tak akan pernah mau mengungkapkan isi hatinya di hadapannya, dan inilah kesempatannya untuk mendengar suara dari hati yang terdalam Hinata.
"Bak pahlawan, yang selalu datang terlambat, kau mencoba kembali mencari arti dalam kehidupanku.... Kau tahu Naruto-kun, kaca yang telah hancur tak akan mudah untuk kembali seperti semula..."
Kelopak cokelat Naruto memejam erat, ia tidak tertidur, telinganya mendengar dengan jelas setiap rasa benci Hinata yang meluap untuk dirinya.
Akan ku susun kembali tiap serpihan hatimu yang retak, Hime... Kendati aku harus melakukannya seumur hidup, aku akan kembali menata hatimu yang hancur, dan mengukir kembali namaku di nafasmu....
...
"Kau sudah seharusnya cuti kuliah Hinata. Perutmu semakin membesar."
Hinata menghela nafas kasar ketika Tsunade langsung mengutarakan alasannya dipanggil ke ruang rektorat. "Tapi Tsunade-sama, masih tiga bulan lagi..."
Hinata sudah memikirkannya masak-masak ia akan mengambil cuti kuliah di smester depan, dan beruntung donatur yang membiayai kuliahnya tak keberatan.
Tsunade kembali menghela nafas berat. "Ku harap kau tak melahirkan di kampus Hinata, terlebih suami mu sudah tidak lagi kuliah disini, itu pasti akan sangat merepotkan."
"Naruto tak lagi kuliah disini?" Hinata memastikan pernyataan Tsunade yang mengundang rasa penasarannya.
"Kau tidak tahu...? Dewan Universitas memberhentikan Naruto secara tidak hormat atas perbuatan asusilanya yang menghamilimu, tapi mengapa semua itu terjadi setelah kau menikah. Bahkan berita pernikahanmu langsung heboh di grup internal kampus, satu hari setelah pernikahanmu."
Hinata tidak heran dengan berita pernikahannya yang tersebar dengan cepat dan luas di kampus. Ino yang saat itu menghadiri pernikahannya banyak sekali memposting foto pernikahannya dengan Naruto, lengkap dengan suasana kuilnya.
'Apalagi ini kau bahkan diberhentikan dari kampus....'
Keputusannya untuk tak mau mengetahui satu hal pun tentang Naruto, hari ini membuat banyak tanda tanya besar dalam dirinya. Ia menutup rapat mata dan telinganya tentang semua hal yang berkaitan dengan Naruto.
...
"Camera, rolling, action!!!" Sang sutradara berteriak denga toa nya, menginstruksikan sang pemeran utama untuk bersiaga.
Naruto menggenggam kuat gas motor sport yang ia tunggangi, bunyi deru kencang suara gas itu hingga memekakkan telinga. Mengenakan jaket hitam, celana jeans dan helm sport yang sama persis dengan yang dipakai oleh sang pemeran utama, Naruto buru-buru menutup wajahnya dengan riben pelindung helm.
Deru suara gas semakin mengencang, Naruto siap melakukan video take, hari ini ia mendapat peran mengendari motor sport, dan jatuh di tengah arena balapan, menggantikan sang pemeran utama yang tak ingin seujung kukunya pun lecet.
...
Brak
Tranggg
Naruto dengan sengaja menabrak pembatas jalan, tidak keras, namun cukup untuk membuatnya terjatuh.
"Cut...!!!" Sang sutradara berteriak kencang, "ulangi lagi, posisinya jatuhmu kurang natural!" Teriak pria itu lagi.
Naruto bangkit, mendirikan motor sport property shooting lalu kembali menaikinya. Ia menghela nafas, kesal karena ini pengambilan video yang ke lima puluh kalinya untuk adegan jatuh dari motor, dan dia sudah jatuh berulang-ulang. Ia mendengus kesal seraya memalingkan wajah, jika saja tak memikirkan tunggakan iuran listrik, dan biaya kelas senam hamil Hinata ia tak akan mengambil pekerjaan ini. Gaji dari pekerjaan sebagai office boy sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
...
"Tadaima..." Seperti yang sudah-sudah, ucapan salam itu tak dijawab. Hinata, sang istri tak bergeming, wanita hamil itu malah asyik duduk di meja makan menyantap makan malamnya.
Naruto tetap tersenyum lembut, ia menghampiri sang istri yang sedang menyuapkan sesendok nasi dengan kuah sup misso yang menggoda selera. "Kau memasak, hmmm...?" Ia mengusak pucuk kepala wanita itu, namun lagi-lagi sang istri tak bergeming.
Hinata menyelesaikan makan malamnya dengan cepat, lalu beranjak dari meja makan. Naruto tersenyum tipis melihat reaksi istrinya itu, Hinata akan menghindar ketika ia mendekat. Safir birunya mengikuti gerak-gerik sang istri menuju ke wastafel cuci piring, Hinata mencuci piring dan mangkuk bekas makannya lalu berlalu.
Ekor mata Naruto lalu menuju ke arah meja makan. Bersih. Tak ada satu makanan pun yang tersisa. Hinata hanya memasak untuk dirinya sendiri, seperti biasa Naruto akan memasak Ramen instant untuk mengganjal perutnya seperti yang sudah-sudah.
Ia memang memiliki istri sekarang, namun keadaannya tak jauh berbeda seperti saat ia masih bujangan. Bahkan yang lebih parah lagi demi menghemat biaya sehari-hari ia terpaksa memakan Ramen Instant. Hinata bahkan hanya berbelanja bahan masakan ketika ia akan memasak untuk dirinya sendiri dan dalam jumlah yang sedikit.
Tak ingin pikiran buruk merajai hatinya, Naruto kembali tersenyum.
"Hinata..." Naruto memanggil sang istri sebelum Hinata menutup pintu kamar. Hinata menoleh sekilas, dan dengan tatapan datar. "Besok kita akan melakukan USG empat dimensi, bersiaplah ya, kita akan bertemu aka-chan..."
Hinata tersenyum sinis lalu masuk ke dalam kamar. 'Sampai kapan kau akan menutupi kebusukanmu Namikaze Naruto?'
Naruto kembali tersenyum tipis menanggapi ucapan ketus sang istri, ia lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mandi air hangat sebelum memasak ramen instantnya. Tubuhnya serasa remuk setelah berulang kali menjatuhkan diri dengan sengaja dari motor.
"Aghhh...." Ia menahan sakit ketika berusaha melepaskan sendiri jaketnya. "Sepertinya bahuku terkilir." Keluhnya seraya menggerak-gerakkan bahunya. Naruto masuk ke dalam kamar mandi untuk mempersiapkan air hangatnya sendiri.
Bahkan setelah menikahimu aku belum juga bisa merasakan kembali arti keluarga yang sesungguhnya.
...
"Kalian bisa melihat wajahnya mereka? Lihat bahkan mereka memiliki hidung mancung nan mungil seperti ibunya."
Dalam posisi berbaring Hinata mendongakkan kepalanya, menatap layar monitor yang menampilkan siluet kedua buah hatinya. Sekilas ia melirik ke arah Naruto yang duduk di sampingnya, pria itu menitikkan air mata haru, membuat tangannya bergerak sendiri menggenggam tangan sang suami.
Tanpa Naruto sadari ia pun membalas genggaman tangan itu, keduanya menitikan air mata haru, melihat rupa hampir sempurna buah hati mereka.
"Posisi kepala bayi kalian masih berada di atas." Orochimaru kembali menjelaskan, dan sontak membuat Naruto dan Hinata sadar tangan mereka saling menggenggam.
Hinata lebih dahulu menepis tangan Naruto dan melepaskan genggaman itu. Ia kembali terfokus pada layar yang menampilkan refleksi empat dimensi isi rahimnya. "Apa itu berbahaya?" Tanya Hinata khawatir.
Orochimaru kembali memutar alat pendeteksi yang menempel pada permukaan perut bulat Hinata yang telah diolesi gel khusus. "Ini sering terjadi dalam kehamilan kembar, maka dari itu kecil kemungkinan persalinan normal terjadi pada kelahiran bayi kembar."
"Jadi harus operasi caesar, ya...?" Tanya Hinata lirih. "Atau mungkin dengan senam hamil posisi bayi bisa berubah?"
"Kemungkinan hanya satu bayi yang berubah posisinya, mengingat ruang janin terbatas di dalam rahim. Tapi tak apa jika kau ingin melakukan senam hamil, kami memiliki program khusus untukmu." Orochimaru menyodorkan selembar kertas pada Hinata.
Naruto menghela nafas lega, Orochimaru menyampaikan pesannya. Dia meminta agar Orochimaru memberikan formulir pendaftaran kelas senam hamil yang telah ia lunasi untuk diisi oleh Hinata. Ia berani bertaruh bila dirinya sendiri, bahkan untuk melirik formulir itu sedikit saja tak akan dilakukan oleh Hinata.
"Hontou?" Hinata menerima formulir itu dengan wajah yang sumringah.
Naruto tersenyum bahagia melihat senyum tulus mengembang dari bibir Hinata, ia rindu senyum itu, senyuman kebahagiaan yang terukir di bibir Hinata dari dalam hatinya.
"Walau kecil kemungkinan dua bayi kalian berubah posisinya, setidaknya dengan melakukan senam hamil, dapat mengurangi nyeri punggung dan pinggangmu." Orochimaru tersenyum tipis seraya melirik ke arah Naruto. Pemuda itu benar-benar membuktikan kesungguhannya sebagai calon ayah dan suami yang baik.
...
"Hati-hati..."
Hinata turun dari mobil mengabaikan pesan sang suami, tanpa menoleh ia masuk ke dalam studio senam Tokyo Hospital.
Naruto kembali tersenyum seraya menunduk, sudah tiga puluh hari sejak hari pernikahan mereka, namun tak ada yang berubah, Hinata masih saja menganggapnya sebagai angin lalu, kendati berbagai hal telah ia lakukan untuk membuktikan kesungguhannya. Kembali pada setirnya, Naruto lalu memutar kuncinya, menuju halaman parkir
...
Mematikan mesin mobilnya, Naruto lalu melirik sekilas pada jam tangan sederhananya. "Masih satu jam lagi dari jadwal take ku, aku ingin melihat Hinata senam hamil sebentar saja..." Ia turun dari mobilnya, melakukan rutinitasnya setiap akhir pekan. Hinata selalu menganggap Naruto selalu pergi usai mengantarnya senam hamil. Wanita itu tak pernah tahu, sang suami selalu menyempatkan waktunya sejenak untuk memperhatikannya saat sedang senam.
Hampir tiga puluh menit menit, Naruto masih tersenyum geli, dari kaca besar ia melihat Hinata dengan perut bulat dan besarnya berjongkok lalu berdiri sambil mengatur nafas. Istri mungilnya itu begitu menggemaskan dengan posisi seperti itu. "Ah sial..." Naruto ingat ia cukup menghabiskan waktu untuk menonton Hinata senam, ia harus kembali mencari uang untuk biaya persalinan Hinata yang tidak sedikit itu.
...
Hampir dua bulan Naruto dan Hinata telah terikat dalam pernikahan, namun tidak ada yang berubah dari hubungan keduanya. Mereka tinggal satu atap namun hanya bicara seperlunya, dan selalu Naruto yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.
Seperti akhir pekan pagi ini Hinata yang tengah berkutat di dapur hanya mempersiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, sedang Naruto yang baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya buru-buru masuk ke kamar mereka untuk berganti pakaian. Seperti akhir pekan yang sudah-sudah, Hinata akan disibukan dengan kelas senam hamilnya, dan Naruto akan menjalani profesi sampingannya yang Hinata sendiripun tak mengetahuinya.
"Hinata..." Naruto memanggil sang istri ketika ia telah mengenakan pakaiannya, kaos oblong navy dipadu dengan jeans hitam.
Hinata mematikan kompornya lalu menoleh, tak ada sahutan, dan Naruto sudah terbiasa dengan kebungkaman Hinata, baginya Hinata berada satu atap dalam lindungannya sudah lebih dari cukup.
"Hari ini naik taxi dulu ya, aku ada pekerjaan mendadak."
Hinata tersenyum simpul. 'Akhirnya tiba pada titik dimana kau lelah dengan pengabaian ku... Dan mulai menyerah.' Ia mengangguk pelan.
Naruto tersenyum tipis lalu melihat piring di tangan Hinata, seperti biasa, istrinya itu hanya memasak untuk dirinya sendiri. "Aku pergi dulu, hati-hati, hubungi aku jika terjadi apa-apa..." Naruto melemparkan senyumnya sambil menyelempangkan tasnya, lalu keluar.
"Tidak akan pernah..." Sahut Hinata ketika memastikan sang suami benar-benar keluar dari apartement.
...
Naruto tersenyum tipis memandang bangunan hotel besar di hadapannya, ini lah pekerjaan tambahan barunya. Proses shooting film yang selama ini menggunakan jasanya kini telah sampai di bagian drama, sehingga beberapa adegan laga mulai berkurang dan menyebabkan bayarannya sebagai stuntman berkurang, ia harus memutar otak agar penghasilannya tidak berkurang dan dapat memenuhi kebutuhan Hinata. Hari kelahiran si kembar semakin dekat, namun tabungannya belum mencukupi untuk membayar biaya persalinan Hinata nanti.
Ia harus memutar otak dan ini lah hasilnya, ia berada di ruang ganti sebuah hotel bintang lima di Tokyo. Tidak, dia tidak bekerja di hotel itu, karena sudah pasti boikot Mito juga berlaku disana.
Naruto membuka tas besar yang ia bawa, mengambil pakaian besar bermotif polkadot, dan rambut palsu warna-warni. Ya keberadaan Naruto di hotel ini adalah sebagai badut penghibur di acara ulang tahun anak-anak.
Mengambil bantal mobil yang ia bawa, Naruto memasukkan bantal itu ke bawah kaos putihnya. Ia menatap pada kaca, perutnya yang tampak gendut mengingatkannya pada Hinata yang tengah mengandung anaknya. Menyudahi angannya, Naruto lalu memakai pakaian badut bermotif polkadot itu, memoles wajah tampannya dengan cat putih, hingga orang tak mengenali wajahnya, lalu memakai hidung palsu merah di dihidung mancungnya. Dan terakhir wig keriting berwarna pink menyala yang menutupi surai pirang cepaknya.
...
Hujan deras mengguyur Tokyo siang itu. Hinata duduk di samping jendela menanti redanya hujan. Satu persatu ibu hamil lainnya melewati dirinya sambil tersenyum. Pandangan iris lylacnya lalu tertuju pada jendela besar di sisi tubuhnya, ia tersenyum miris seraya membelai lembut kandungannya.
Pemandangan yang ia dapati sungguh menyayat hati. Satu persatu-satu ibu hamil itu di jemput dengan menggunakan payung oleh suaminya, lalu dituntun menuju mobil. "Harusnya aku tak terlalu berharap dengan pernikahan ini... Kau masih sibuk dengan di duniamu.... Walau nampak kau sangat berusaha... Tapi tetap bagimu aku bukan prioritasmu.... Kau selalu membiarkanku sendiri, dan menghabiskan waktu bersama gadis merah jambu itu..."
...
Naruto terperanjat bukan main saat dirinya berdiri di panggung untuk melakukan ateraksi. Sejak satu bulan bergabung bersama EO yang ia kenal dari Jugo ia tak pernah tahu siapa client yang diberikan oleh EO kepadanya, hari ini ia benar-benar terjebak.
Happy Birth Day Uchiha Ishihara
Tulisan besar itu tergantung di setiap sudut ballroom, Naruto memandang sekelilingnya. Sasuke, Itachi, Sakura, Fugaku, bahkan Hidan ketua teamnya di perusahaan Uchiha hadir disana, dan yang paling penting adalah kehadiran Uzumaki Mito di acara ulang tahun anak tunggal Itachi, sekaligus cucu tunggal Uchiha itu.
...
Ia menarik nafas dalam, dengan pakaian badut seperti ini Naruto cukup merasa aman karena tak ada satupun orang yang mengenalinya. Memulai atraksi sulapnya, Naruto berhasil membuat anak-anak yang hadir di pesta itu tertawa, dengan kotak besar yang ia bawa, Naruto berhasil mengeluarkan bunga, balon bahkan permen dari dalamnya.
Beberapa kali dia salto dan merangkak menampilkan atraksi seperti hewan agar acara tersebut dipenuhi oleh tepuk tangan gelak tawa anak-anak. Hatinya menghangat, kendati menjadi badut adalah pekerjaan rendah bagi sebagian orang, tapi membuat anak-anak tertawa membuatnya merasakan kebahagiaan tersendiri.
Saat atraksinya hampir selesai, namun seorang anak berlari menuju ke panggung dan minta berfoto bersama dirinya. Tentu saja dengan senang hati Naruto menuruni panggung menghampiri anak itu.
Namun sang anak yang begitu semangat ingin berfoto bersama sang badut berlari kencang, kakinya tak sengaja tersangkut kabel speaker besar hingga ia jatuh tersungkur. Tak hanya itu spekaer besar itu kehilangan keseimbangannya dan oleng.
Naruto berlari kencang, sebelum speaker besar menimpa anak itu, ia memeluk anak itu lalu berguling di lantai untuk melindung anak kecil itu.
Bruk
Spekaker besar itu jatuh kelantai, dan Naruto behasil menyelamatkan anak kecil tadi. Tanpa ia sadar wig dan hidung palsu itu terlepas dari kepala dan hidungnya. Menampakkan surai kuning cepak dan hidung mancungnya nan mencolok.
"Kau tidak apa-apa...?" Naruto berlutut dan memastikan anak itu baik-baik saja. Sang anak mengangguk sambil menangis lalu berlari menuju ibunya.
Naruto menghela nafas lega lalu berdiri.
"Naruto."
Ia mematung saat namanya dipanggil, iris birunya melirik pada wig dan hidung palsunya yang tergeletak di atas karpet.
"Naruto, kau bekerja sebagai badut?" Suara gelak tawa orang itu menggema, ia menoleh, dan mendapati Hidan lah pemilik suara itu.
Tak jahuh di salah satu sudut ballrom, Fugaku menatap Itachi dengan delikan tajam. Sementara Mito tersenyum licik. Sakura dan Sasuke terdiam sembari menunduk.
"Kau mempekerjakannya di perusahaan kita." Ucap Fugaku penuh intimidasi. "Jawab aku Itachi, bagaimana karyawan kita mengenalnya?!"
Itachi masih diam seribu bahasa.
"Baiklah jika kau tak mau bicara aku akan mencari tahu sendiri." Ucap Fugaku kesal. Itachi yang masih diam seribu bahasa memilih menjauh dari sang ayah, bersama Sasuke dan Sakura.
"Maafkan aku Mito-sama, aku lengah." Fugaku membungkuk di hadapan Mito.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan Fugaku-san..." Jawab Mito sembari berlalu sambil tersenyum angkuh.
...
"Maaf Naruto."
Ia tersenyum kecut seraya menunduk, dirinya sangat tahu alasan Itachi pagi ini memanggilnya ke ruangan direktur.
"Aku tahu Aniki, cepat atau lambat ini akan terjadi. Sulit menutupi semua gerak-gerik ku darinya. Jika pun hal kemarin tak terjadi, dia akan mencari tahunya sendiri."
Itachi menarik nafas berat, dengan sangat berat hati ia harus mengeluarkan Naruto dari perusahaan ini. "Ayahku memintaku untuk mengeluarkanmu secara tidak hormat, tapi aku manusia. Tak mungkin aku melakukan itu. Buatlah surat pengunduran dirimu, agar kau mendapatkan pesangon."
"Tapi Ita-nii aku belum tiga bulan bekerja disini."
"Jika Ayahku tak mempertimbangkan keputusannya untuk memecatmu, akupun tak akan mempertimbangkan untuk memakai uang perusahaan demi membayar pesangon mu."
...
Jugo memandang kasihan pada Naruto yang baru saja mengganti seragamnya dengan pakaian biasa. "Dari awal aku sudah tahu, kau bukan orang biasa..." Pria bertubuh tinggi besar itu menepuk bahu Naruto. "Itu sebabnya kau menolak saat PH itu menawarkannya menjadi bintang utama film baru mereka?"
"Nenekku bis mencabut izin tayang film mereka di semua bioskop di Asia Timur."
Jugo mengangguk mengerti. "Nanti malam aku mengajakmu untuk pekerjaan baru. Kita lihat dulu, ku rasa kau akan cocok."
...
Suara hiruk pikuk teriakan menggema tak beraturan di telinganya, gedung itu penuh sesak oleh banyak orang yang menyerukan nama jagoan mereka. Membelah kerumunan, Naruto dan Jugo akhirnya sampai pada pusat pertunjukan.
Tepat di tengah gedung luas itu terdapat ring yang dikelilingi oleh banyak orang yang berdiri bersiap menonton duel dua orang bertubuh tegap dan besar di hadapan mereka. Bukan arena tinju, atau gulat, Naruto dapat menelaah pertarungan macam apa yang ingin Jugo tunjukan padanya, ia menoleh pada pria bertubuh tinggi besar di sebelahnya.
"Kau menawarkanku menjadi petarung liar?"
"Kau bisa menjajalnya."
Naruto mengangguk tanpa pikir panjang.
Jugo mengajak Naruto ke lorong sepi di sisi arena itu, menemui seseorang dengan setelah jas rapi. Dari cara berpakaiannya, Naruto dapat menyimpulkan bahwa pria itu adalah bandar dari taruhan pertarungan liar ini.
"Pemain baru?" Tanya pria berjas itu.
"Dia mau menjajal dulu." Jawab Jugo.
"Kau akan mendapat sepuluh persen dari pertarungan ini." Pria berjas itu meraih ponsel di sakunya dan menelepon seseorang. "Umumkan pertarungan baru, Utakata jagoan baru. Buka taruhan nilai taruhannya Lima Puluh Juta Yen "
Naruto terbelalak mendengar jumlah tersebut
"Ini baru permulaan, jumlah akan terus bertambah seiring banyaknya kemenanganmu."
Sulit bagi Naruto untuk menolak tawaran itu, mengingat ia sangat membutuhkan banyak uang saat ini. "Aku sanggup."
...
"Hhhhhhhhh...." Naruto terengah hebat seraya menghapus darah di sudut bibirnya, wajah dan tubuhnya sudah babak belur, namun tak sia-sia, kemenangan ditangannya, pria Utakata itu tersungkur tak berdaya.
.
.
"Dua juta Yen, ini untuk permulaan, jika kau berniat, lusa ini pukul tujuh malam di tempat ini lagi." Sang bandar menyerahkan amplop berisi uang itu dan diterima dengan senang hati oleh Naruto.
Naruto mengangguk tanpa pikir panjang menerima tawaran itu.
...
Hinata menghela nafas kasar ketika kembali memasuki kelas senam hamil, usia kandungannya sudah memasuki delapan bulan lebih sekarang, sama seperti semua wanita hamil di kelasnya. Dan sudah dua pekan ini kelas senam ini menjadi momok tersendiri baginya.
"Namikaze-sama..." Sang instruktur memanggil nama klan barunya, mau tidak mau ia harus menoleh.
"Suamimu tidak bisa datang lagi pekan ini...?"
Hinata tersenyum miris mendengar pertanyaan ini. Hal inilah yang membuat Hinata merasa risih untuk datang ke kelas ini, mendekati hari kelahiran, kelas tersebut melatih ke kompakan suami istri untuk menghadapi kelahiran, dan semua peserta harus mengajak suami mereka.
Sementara Hinata, bicara pada Naruto saja bisa ia hitung. Apa lagi untuk mengajak Naruto ke kelas ini. 'Bisa besar kepala dia.' Gumam hati Hinata menutupi rasa irinya. Ya, iri, wanita mana yang tak iri ketika semua temannya memperagakan tehnik pernafasan melahirkan bersama sang suami, atau ketika suami mereka membantu melakukan gerakan senam yang semakin sulit dengan perut mereka yang semakin membesar. Namun ego Hinata lebih besar dari rasa irinya. Ia lebih memilih harus melakukan gerakan senam seorang diri kendati kesulitan dari pada harus berbicara dengan Naruto.
...
Ia membuka kasar kelopak matanya yang hampir terpejam, sebuah suara mengusik indera pendengarannya, suara pintu terbuka. Hinata tahu siapa yang baru saja masuk ke dalam huniannya, suaminya.
Iris bulannya menatap jam dinding yang tergantung di atas pintu kamar. Pukul dua pagi, sudah pekan ini Naruto selalu pulang menjelang pagi. Beberapa tetangga di apartemennya juga bertanya padanya 'apa sang suami tak bekerja lagi?' Mereka mendapati Naruto selalu pulang ke apartement setelah mengantarnya ke kampus. Dan setelah menjemputnya dari kampus pun Naruto selalu pamit di sore hari dengan alasan pekerjaan.
Hinata beranjak dari ranjang, dan menggapai pintu kamar, membukanya pelan-pelan. Iris bulannya membulat sempurna ketika ia mengintip dari celah pintu. Sang suami membuka kaosnya, dan Hinata dengan jelas dapat melihat lebam membiru memenuhi hampir tiap inci punggung, bahu dan seluruh bagian belakang tubuh Naruto. Rasa bersalah seketika merajai benaknya, setidak peduli itu kah ia pada suaminya. Ia bahkan tak tahu pekerjaan apa yang Naruto jalani demi menopang semua biaya kehidupan mereka.
Ia langkahkan kaki keluar dari kamar, berniat mengobati luka Naruto, namun sebelum itu terjadi,
"Gugurkan kandunganmu!"
"Aku tak menginginkan anak itu!"
"Hanya Sakura-chan yang aku cintai."
Kalimat-kalimat keji Naruto kembali bergema di telinganya. Ia urungkan niat mulia itu, menutup kembali kamarnya.
"Hiks...hiks..." Air mata mengalir dari iris bulannya, Hinata bersandar pada pintu kamar sambil memeluk kandungannya. "Aku tak boleh lemah... Tak boleh.... Tapi mengapa air mata ini terus mengalir.... Aku benci... Aku benci bila hatiku selalu berkata untuk memaafkanmu, tapi otakku terus mengingat bagaimana kau menolak dan membuang kami...."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top